Drama Teatrikal Kelas 1-A
Akhirnya, hari Rabu pun tiba. Jadwal pertunjukan Kelas 1-A dalam rangka Festival Kreativa Mandalagiri telah dinanti-nanti. Hari itu, ruang kelas 1-A—yang terletak di lantai pertama sisi timur gedung utama, dindingnya dilapisi pelitur damar yang mencerminkan cahaya sore—berubah menjadi panggung mini untuk pentas drama teatrikal bertema Kerajaan dan Cinta.
Para orang tua mulai berdatangan. Jasana, Lutfayana, dan Cathrine duduk di barisan depan, memberi semangat kepada Ishvara yang akan tampil. Meski Cathrine adalah ibu tiri, ia memeluk Ishvara dengan penuh kehangatan, memperlihatkan kasih sayang tulus seorang ibu. Di sisi lain, Kalandra Wisanggeni dan istrinya Inggrita hadir untuk mendukung putri mereka, Kiranti. Inggrita langsung memeluk Kiranti dengan bangga, namun Kiranti justru tersipu dan menyembunyikan wajahnya di balik bahu Ishvara, membuat semua tertawa.
Sebelum pertunjukan dimulai, Kalandra dan Jasana berbincang di sudut aula, mengenang masa kecil putri-putri mereka. “Tak terasa, mereka sudah sebesar ini,” kata Kalandra sambil melipat tangan di dada. Jasana mengangguk, “Dan sekarang, malah jadi pemeran utama dalam drama kerajaan.”
Tak jauh dari mereka, Inggrita, Cathrine, dan Lutfayana larut dalam obrolan ibu-ibu yang riuh dan hangat. Topik mulai dari tata rias pentas, latihan intensif anak-anak, hingga rumor lembut di kalangan bangsawan Mandalagiri.
Di balik panggung, Ishvara menyiapkan pedang kayunya. Wajahnya serius, rambut hitam tergerai dihiasi pita hijau. Kiranti, dengan rambut hitam keunguan yang disanggul rapi, berdiri di sampingnya, memantapkan ikat pinggang kostumnya.
Kiranti memerankan tokoh Putri Kerajaan—peran yang pas untuknya karena keahliannya dalam etika bangsawan dan diplomasi. Sedangkan Agra Dihantara, sang ketua kelas yang tegas dan pendiam, akan memerankan Pangeran Pengkhianat, yang cintanya berpaling pada Puteri Jahat—diperankan oleh Ishvara. Peran yang membuat banyak siswa penasaran karena Ishvara biasanya dikenal tegas dan tangguh, namun kali ini ia tampil dalam karakter antagonis penuh tipu daya.
Rana Kalyana dan Sagara Narapati juga sudah bersiap. Rana dengan senyum lebarnya mengayun-ayunkan gada kayu, sementara Sagara menenangkan napas dengan tongkat panjang di tangannya. Mereka berdua akan menjadi pengawal sang pangeran, menambah kekuatan pada alur cerita.
Langit mulai berwarna jingga, senja menjelang malam. Angin semilir membawa aroma bunga kenanga dari Taman Meditasi, menambah suasana magis sebelum tirai terbuka. Ruangan penuh sesak, sebagian penonton bahkan berdiri di belakang karena kursi tak cukup menampung semua. Anak-anak sibuk di balik panggung, sebagian mengecek kostum, sebagian melatih dialog terakhir mereka.
Rana Kalyana maju ke panggung, berdiri tegap sambil mengangkat tangan.
"Hadirin yang kami hormati, selamat datang dalam pertunjukan drama teatrikal Kelas 1-A! Kisah ini tentang cinta, pengkhianatan, dan keberanian dalam dunia kerajaan Damaloka yang penuh intrik!"
Tepuk tangan membahana. Tirai kain beludru merah pun mulai tersingkap perlahan. Dan kisah pun dimulai…
Pertunjukan Kerajaan dan Cinta
Lampu kristal mengambang di langit-langit aula kelas 1-A meredup pelan. Cahaya keemasan dari jendela tinggi berangsur digantikan oleh sorotan bola kristal ungu pucat yang memusat ke panggung kecil di depan kelas. Para penonton—orang tua, guru, dan murid lain—diam terpukau, bisik-bisik pelan mereda. Tirai beludru merah tua dibuka perlahan.
Suara musik lembut mengalun, dimainkan oleh sekelompok murid di sudut aula dengan alat musik petik kayu, genta angin, dan kendang mini. Suasana berubah seketika menjadi seperti halaman istana dalam negeri dongeng.
Dari balik panggung, muncullah Agra Dihantara—berpakaian jubah pangeran berwarna biru langit, lengkap dengan jubah mantel panjang yang dihiasi lambang singa bersayap. Ia membawa tongkat kerajaan dari kayu yang diukir halus, dan mahkota ringan dari perak palsu bertengger di kepalanya. Wajahnya tetap serius, tapi matanya memancarkan semangat seorang pemimpin muda.
“Duhai negeri Damaloka, tempatku lahir dan dibesarkan,” katanya dengan suara mantap, sedikit bergetar menahan gugup. “Hari ini, aku berikrar, akan menjadi pangeran yang adil dan menjaga rakyatku dengan segenap jiwaku.”
Sorak sorai kecil dari penonton terdengar. Sejumlah orang tua bertepuk tangan pelan, termasuk ayah Agra sendiri yang tampak bangga dari barisan belakang.
Lalu, dari sisi kanan panggung, muncullah dua pengawalnya.
Rana Kalyana, dengan jubah pengawal berwarna coklat emas dan topi bulu besar yang agak miring. Ia membawa gada kayu besar yang sepertinya terlalu besar untuk tubuhnya, membuat penampilannya semakin lucu. Ia berjalan sedikit berjingkat, lalu berhenti dan memberi hormat dramatis pada sang pangeran.
“Tuanku! Laporan pagi ini: para petani senang, perajin membuat ukiran baru, dan... ehm… kucing-kucing istana menolak makan!” ucap Rana dengan gaya teatrikal kocak. Penonton pun tertawa pelan.
Dari sisi berlawanan, Sagara Narapati melangkah pelan, tenang, dengan jubah biru kelam dan tongkat panjang. Ia membungkuk dalam pada pangeran, lalu berbicara lembut.
“Yang Mulia, perbatasan selatan tenang. Tapi awan kelabu datang dari utara. Kita harus bersiap.”
Agra mengangguk. Dengan ketenangan seorang pangeran muda, ia menepuk pundak kedua pengawalnya.
“Kalau begitu, mari kita mulai siasat. Negeri ini milik kita untuk dijaga.”
Di latar belakang, beberapa murid lain muncul sebagai pemeran pendukung: ada yang menjadi pelayan istana, ada yang menjadi rakyat biasa dengan pakaian petani dan penjual rempah. Mereka lalu mulai bergerak seperti di pasar kecil—berjualan, membawa keranjang, dan bercanda satu sama lain. Semua dengan improvisasi ringan dan penuh semangat khas anak-anak.
Suasana di panggung menjadi hidup, penuh warna, dan mengundang senyum dari para penonton.
Di sudut aula, sebuah meja khusus dihiasi taplak biru tua dengan lambang Akademi Tirabwana tampak menampung tiga sosok penting. Juri Festival Kreativa Mandalagiri.
Satu berpakaian seragam Dewan Siswa—murid senior yang serius menulis catatan sambil tersenyum kecil. Yang kedua, seorang guru perempuan dari Divisi Seni, mengenakan jubah merah anggur dan kaca mata kecil, tampak mencatat dengan ekspresi tenang. Dan yang terakhir, Alumni Terpilih, sosok lelaki muda dengan jubah formal coklat lembut, menatap panggung sambil menunduk pelan, mengangguk-angguk—wajahnya mengandung kenangan manis akan masa-masa dulu di Akademi.
Dengan suasana panggung yang hangat, cerita pun siap memasuki babak berikutnya…
Pertemuan Sang Puteri dan Pangeran
Di tengah panggung yang telah berubah menjadi taman istana penuh bunga kertas warna-warni dan latar pemandangan bukit-bukit tiruan dari kain berlapis cat air, suara kecapi kayu mulai mengalun lembut. Lampu sorot kecil terbuat dari sihir yang digerakkan Sagara dari balik tirai menyorot tengah panggung. Udara di aula kelas 1-A seakan turut menahan napas, menyambut kemunculan sosok yang dinanti.
Langkah ringan terdengar dari sisi kiri panggung. Sosok Puteri Kerajaan Kiranti Wisanggeni, bergaun putih ungu kebiruan yang dihiasi hiasan keperakan, muncul dengan anggun. Rambut hitam keunguan yang diikat tusuk Rambut perak berayun lembut tiap kali ia melangkah. Mata merah misteriusnya menatap langit-langit panggung seakan ia benar-benar sedang berjalan di taman bunga istana.
Penonton kecil dan dewasa terpana. Beberapa ibu-ibu bahkan menutup mulut menahan kekaguman. Suara anak kecil dari sudut aula terdengar, "Itu kak Kiranti ya? Cantiiik..."
Kiranti menghentikan langkahnya tepat di tengah panggung. Musik kecapi berhenti. Dan dari sisi kanan, dengan langkah mantap dan ekspresi serius yang memesona, muncul Pangeran Agra. Jubah panjang dengan garis emas dan replika tombak kayu di tangan membuatnya tampil gagah dan menawan.
Mata mereka bertemu.
Sesaat hening.
Kiranti menatap Agra. Ia menundukkan kepala sedikit, seperti puteri dari istana manapun yang tahu etika. Namun di balik lirikan itu, ada senyum tipis yang membuat penonton terdiam sejenak.
Agra—yang biasanya sulit berekspresi—tersenyum kecil. Dan ketika ia mengulurkan tangan pada Kiranti dengan ucapan, “Wahai Puteri... Apakah angin dari langit yang membawa keindahan sepertimu ke taman ini?” para orang tua dan murid senior di bangku belakang ikut tertawa geli dan bertepuk tangan pelan.
Kiranti menjawab ringan, suaranya lembut namun terdengar hingga ujung aula, “Mungkin... atau mungkin takdir telah lelah menunggu, lalu mengutusku untuk bertemu pangeran yang disebut-sebut dalam dongeng.”
Adegan terus bergulir romantis. Agra dan Kiranti duduk bersama di bawah pohon tiruan, berbincang tentang impian mereka—tentang dunia tanpa perang, tentang taman yang tak pernah layu, dan tentang harapan untuk kerajaan yang damai. Sagara dan Rana memainkan peran sebagai pengawal yang ikut tertawa, menciptakan jeda-jeda ringan di antara dialog.
Namun…
Dari balik tirai merah di sudut panggung, muncul kabut tipis yang disemprotkan murid lain dengan botol air dan es batu. Musik berubah menjadi nada minor. Lampu sorot sihir berganti warna merah keunguan.
Dan muncullah Ishvara.
Wajah cantiknya terlihat memikat, tapi sorot mata hitam itu tajam, menusuk. Rambut hitamnya tergerai, pita hijau di kepalanya melambai saat ia melangkah penuh percaya diri. Gaunnya hitam hijau dengan aksen merah darah, seolah menyatu dengan peran Puteri Jahat yang hendak mengguncang kisah cinta.
Dengan suara lantang dan dingin, Ishvara berkata:
“Cinta hanyalah permainan yang membutakan... Tapi tahta, kekuasaan... itulah yang abadi!”
Penonton bersorak pelan, ikut terbawa atmosfer teater. Anak-anak kecil memandang Ishvara dengan kagum bercampur takut, tapi juga takjub pada keberanian ekspresinya.
Ishvara mendekat ke arah Agra dan Kiranti yang berdiri waspada. Ia mengangkat replika pedang kayunya ke arah langit-langit, cahaya dari jendela memantul di bilahnya.
“Wahai Pangeran! Lupakan gadis lemah penuh mimpi ini! Pilihlah aku, yang bisa membawa kekuasaan dari Utara hingga Selatan! Kau dan aku... akan menguasai seluruh kerajaan Damaloka!”
Kiranti menatap Ishvara dengan pandangan dingin. Ia berdiri di depan Agra, melindunginya, dan berkata dengan tenang namun menusuk:
“Aku tak mencari kuasa. Aku tak ingin dunia bertekuk lutut... hanya satu hati yang menatapku tulus. Dan itu... bukan milikmu.”
Penonton bergemuruh pelan. Ishvara mencibir, lalu berbalik pergi, tapi menoleh sekali lagi dengan senyum licik yang sangat memikat—sangat ‘Ishvara’.
Penutup Adegan
Sorot lampu sihir perlahan meredup. Musik beralih menjadi alunan lembut dengan iringan lonceng kayu. Dan kamera pandangan penonton seperti digeser menuju sudut aula.
Di sana, meja panjang berhias taplak biru tua dengan lambang Akademi Tirabwana terletak anggun. Tiga juri duduk memperhatikan pertunjukan dengan seksama.
Murid senior dari Dewan Siswa menuliskan sesuatu di buku catatannya sambil tersenyum kecil. Guru seni berwajah tenang mengangguk beberapa kali, mencatat dan melirik anak-anak dengan sorot penuh penghargaan. Dan alumni muda—dengan mata berkaca, mengangguk pelan sambil membisik, “Mereka jauh lebih hebat dari yang kukira...”
Para orang tua tertawa, bertepuk tangan riang, bahkan ada yang berbisik satu sama lain, “Hebat sekali anak-anak itu…”
Suasana ruang kelas 1-A terasa hidup dan penuh kehangatan. Cahaya senja masuk dari jendela Taman Meditasi, menyatu dengan aroma kenanga dan tanah lembap. Di panggung, Kiranti dan Agra masih berdiri, tangan mereka saling menggenggam... sementara Ishvara mematung di ujung, dengan senyum penuh rencana.
Adegan Teater: Tahta, Pengkhianatan, dan Hutan Pengasingan
Panggung gelap.
Dentum musik orkestra miniatur dimainkan oleh siswa lain di sudut aula. Sorot lampu sihir perlahan menyorot ke bagian tengah panggung, menampilkan balairung istana, megah dari tumpukan kardus berlukis emas. Kursi tahta mini diletakkan di tengah, dan di sampingnya berdiri Pangeran Agra yang sedang termenung. Di belakangnya, dua pengawal—Rana dan Sagara—berdiri berjaga.
Tiba-tiba, musik berubah menjadi nada misterius.
Dari sisi kanan panggung, Ishvara muncul. Langkahnya mantap, gaun gelapnya berkilau terkena cahaya. Matanya tajam. Di pinggangnya tergantung pedang replika bermata dua dari kayu. Rambutnya hitam tergerai, dihiasi pita hijau yang berayun pelan saat ia melangkah.
Adegan: Rayuan Kekuasaan
ISHVARA (suara tenang namun penuh hasrat):
“Wahai Pangeran... aku lihat kau masih ragu berdiri di antara kekuasaan dan keraguan.”
“Mengapa harus memilih cinta yang lemah lembut, saat dunia bisa kau taklukkan bersamaku?”
AGRA (berpaling, suara berat):
“Cinta bukan kelemahan, Puteri Ishvara.”
“Tapi... aku... aku ingin lebih. Kerajaan ini tak cukup.”
ISHVARA (menunduk, lalu mendekat perlahan):
“Menikahilah denganku, Agra. Bersamaku, darah Utama Damaloka mengalir dalam tahta.
Kita akan kuasai semua pelosok negeri. Hutan, laut, langit, bahkan gunung tak bisa menghindar dari panji kita.”
(Ia menyentuh pundaknya. Nada suaranya berubah dingin.)
“Atau tetaplah bersama Kiranti dan lenyap dalam dongeng tua yang dilupakan sejarah.”
AGRA mematung. Ia melihat tangannya sendiri. Matanya berkedip ragu.
Kemudian perlahan ia berpaling.
AGRA (perlahan, suara patah):
“Maafkan aku... Kiranti. Tapi aku tak bisa menolak takdirku sebagai penguasa.”
Lampu sorot bergeser.
Kiranti muncul dari sisi kiri panggung. Rambut keunguannya ditata rapi. Matanya memancarkan kesedihan mendalam.
Adegan: Fitnah dan Pengusiran
ISHVARA (berteriak dengan nada dramatis):
“Pengkhianat! Puteri Kiranti bersekutu dengan musuh dari lembah utara! Ia meracuni sumur istana demi menjatuhkan kita!”
KIRANTI (kaget, melangkah maju):
“Itu bohong! Aku... aku tak pernah—”
AGRA (keras, tajam):
“Cukup! Aku tidak akan biarkan pengkhianat tinggal di istanaku.”
KIRANTI (menangis, tapi berdiri tegak):
“Agra... kau tahu itu tidak benar...
Apakah ambisi telah membutakan hatimu?”
ISHVARA (menatapnya tajam):
“Ambisi adalah mata bagi mereka yang ingin melihat lebih jauh.”
(Ia tertawa pelan, langkahnya mendekat ke tahta. Musik menjadi mencekam.)
AGRA (berbalik ke pengawal):
“Rana, Sagara... usir dia. Jangan biarkan dia menginjak balairung ini lagi.”
RANA dan SAGARA terlihat ragu.
Rana bahkan berbisik, "Apa ini benar?"
Namun perintah adalah perintah. Dengan langkah berat, mereka menghampiri Kiranti.
KIRANTI (lirih, pada Rana dan Sagara):
“Jangan benci dia... suatu hari ia akan sadar.”
SAGARA (pelan):
“Kami percaya padamu, Puteri. Ini... hanya sandiwara kekuasaan.”
KIRANTI tersenyum sedih, lalu menatap langit-langit panggung seolah menatap langit istana. Ia perlahan digiring keluar.
ISHVARA tertawa keras dari atas tahta. AGRA berdiri di sisinya, namun wajahnya murung.
ISHVARA (berteriak, suara menggema):
“Hari ini adalah kelahiran kerajaan baru! Kerajaan Damaloka Bersatu!”
Adegan: Pengasingan di Hutan
Panggung berubah. Dedaunan kertas digantung. Lampu hijau redup menciptakan suasana lebat dan sunyi. Kiranti duduk di atas kain coklat menyerupai tanah.
Ia terlihat lusuh, tapi matanya masih memancarkan tekad. Ia menggenggam replika pedang katananya erat.
KIRANTI (suara lirih):
“Aku dibuang... dikutuk... dituduh. Tapi hatiku belum mati.”
“Suatu hari, aku akan kembali. Bukan hanya untuk merebut tahta... tapi merebut kembali cinta yang telah dicuri.”
(Ia menatap ke arah penonton.)
“Bukan dengan kebencian... tapi dengan kebenaran.”
Lampu sihir perlahan padam. Musik berhenti.
Penutup Adegan
Lampu aula menyala terang kembali. Para pemeran berdiri di tengah panggung, menunduk bersamaan.
Penonton bersorak. Tepuk tangan bergemuruh.
Jasana bertepuk pelan namun ekspresinya bangga, matanya penuh sorot tajam.
Lutfayana menatap Ishvara dengan senyum licin puas, lalu menepuk tangan anggun.
Cathrine tertawa kecil penuh pujian.
Kalandra dan Inggrita, orang tua Kiranti, berdiri dan mengangkat tangan tinggi, bangga luar biasa akan ketegaran putri mereka.
Para juri tampak berdiskusi serius. Salah satu juri alumni tampak mengusap air mata kecil, terharu oleh adegan Kiranti di hutan.
(Adegan ini belum mencapai klimaks. Babak selanjutnya akan menampilkan Kiranti membangun kembali kekuatannya di pengasingan, bertemu dengan teman-teman lama dan misterius, dan menyusun rencana untuk merebut kembali hatinya — dan keadilan yang dirampas darinya.)
Adegan: Pengasingan, Perlawanan, dan Akhir yang Bahagia
Lampu sorot sihir redup. Musik latar berubah menjadi hening, hanya menyisakan bunyi angin hutan dan kicau burung tipis yang mengiringi panggung yang kini menggambarkan Hutan Belantara—sederhana namun penuh daun-daunan kertas hijau yang digantung, serta kabut tipis dari alat sihir penghasil uap di sudut panggung.
Kiranti, sang Puteri Kerajaan asli, berdiri dengan pakaian yang kusut namun sorot matanya masih menyala. Di balik penderitaan dan pengasingan, ia terlihat lebih kuat dari sebelumnya. Ia berjalan perlahan, melewati “semak-semak” dari kain kertas hijau, hingga matanya menangkap beberapa sosok lain yang terbaring lemah di bawah bayangan pepohonan.
"Siapa kalian?" suara Kiranti bergetar.
Satu per satu, anak-anak lain Kelas 1-A, kini memerankan warga kerajaan yang juga diasingkan, berdiri pelan-pelan. Mereka mengenakan jubah-jubah sobek dari kain daur ulang dan wajah mereka diberi coretan merah dan hitam menyerupai penderitaan. Salah satu dari mereka—diperankan oleh Murid bernama Tanu—menjawab lirih:
"Kami... korban dari Puteri Ishvara. Kami difitnah, dibuang, dan dilupakan karena kami menolak tunduk padanya."
Kiranti mengepalkan tangan. Matanya memancarkan nyala tekad.
"Kalau begitu, mari kita bangkit. Kita ambil kembali kebenaran, dan bebaskan negeri ini dari kekuasaan dusta!"
Musik petualangan mulai bergema. Anak-anak itu bersatu di belakang Kiranti, membentuk formasi seperti pasukan kecil. Mereka berlatih bersama dalam gerakan koreografi teatrikal yang menunjukkan latihan bela diri dan kerja sama.
Adegan: Serangan ke Istana
Suasana panggung berganti cepat. Hiasan istana dari kardus dihias mewah dengan simbol naga dan bulan sabit, menunjukkan kekuasaan Puteri Jahat Ishvara yang kini duduk di “tahta” dengan angkuh. Di sisinya, Pangeran Agra, tampak dingin dan berbalut jubah gelap. Matanya terlihat kelam—di bawah efek cahaya ungu dari lampu panggung, simbol bahwa ia masih terikat mantra penakluk.
Ishvara tertawa licik.
"Lihatlah! Tidak ada lagi yang bisa melawanku. Aku adalah permaisuri satu-satunya, penguasa sejati!"
Tiba-tiba, suara terompet dari sudut panggung. Kiranti dan pasukannya muncul.
"Ishvara! Berhenti menyebar kebohonganmu!" seru Kiranti dengan gagah, menghunus pedang kayu katananya.
Pertempuran kecil pun terjadi. Anak-anak Kelas 1-A memperagakan koreografi pertarungan seru: adu pedang, lempar tali, pertahanan tongkat, hingga mantra-mantra sihir dari balik jubah. Semua terlatih rapi, membuat para penonton menahan napas.
Rana dan Sagara, yang tadinya berada di sisi Ishvara, akhirnya tersadar dan berbalik arah.
"Maafkan kami, Puteri Kiranti! Kami dibutakan... tapi tidak lagi!" kata Sagara penuh penyesalan.
Pertarungan klimaks terjadi antara Kiranti dan Ishvara. Suara denting kayu, efek lampu merah dan ungu, serta bayangan besar yang dilemparkan ke dinding aula membuat pertarungan ini terasa nyata.
Akhirnya, Kiranti berhasil mengalahkan Ishvara. Dengan satu gerakan cepat, ia menjatuhkan pedang Ishvara. Sang Puteri Jahat terpaku, lalu terjatuh dalam gaya teatrikal dramatis.
Ishvara (dalam bisikan terakhir): "Kau… lebih kuat dari yang kukira..."
(kemudian diam, lampu sorotnya padam perlahan)
Pangeran Agra, bebas dari mantra, terhuyung-huyung maju.
"Kiranti... aku... aku telah mengkhianatimu..."
Kiranti memandangnya dalam diam, lalu memeluknya dengan haru. Musik orkestra kecil (dari anak kelas 1-A) mengalun lembut.
Adegan Penutup: Negeri Damai
Semua pemain maju ke depan panggung, kini mengenakan jubah putih dan biru muda, menandakan perdamaian. Kiranti dan Agra berdiri di tengah, saling menggenggam tangan.
Kiranti: "Kami akan memimpin negeri ini... bukan dengan rasa takut, tapi dengan cinta dan keadilan."
Sorotan lampu menyinari seluruh pemain.
Penutup Bab
Tepuk tangan bergemuruh. Beberapa penonton dewasa bahkan berdiri, memberi standing applause. Jasana, Lutfayana, dan Cathrine tampak tak bisa menyembunyikan senyum bangga mereka pada Ishvara yang berhasil memerankan karakter sulit dengan sangat meyakinkan. Di sisi lain, Kalandra dan Inggrita tampak berkaca-kaca, terharu atas penampilan Kiranti yang begitu menawan dan gagah.
Di meja juri, murid senior dari Dewan Siswa menulis cepat sambil mengangguk-angguk. Guru dari Divisi Seni melirik para murid dengan senyum penuh kebanggaan, dan sang alumni terpilih menatap panggung lekat-lekat dengan mata yang basah.
"Anak-anak ini... luar biasa," bisik alumni itu, "seakan kami sedang menyaksikan sejarah yang hidup kembali."
suasana Senja Menjelang Malam yang masuk melalui jendela Taman Meditasi. Aroma kenanga menyelimuti aula, menyatu dengan tawa ringan dan pelukan hangat antarsiswa.
Senja Berganti Malam — Saatnya Beristirahat
Malam perlahan turun di atas Akademi Tirabwana, menggantikan cahaya senja dengan kelap-kelip bintang yang mulai muncul di langit Mandalagiri. Di koridor-koridor gedung utama, suara tawa, bisik-bisik, dan langkah kaki para penonton terdengar saat mereka keluar dari ruang kelas 1-A yang kini telah kosong dari panggung dan peran.
Wajah-wajah penuh kepuasan dan kekaguman tampak di antara para tamu—terutama orang tua siswa kelas 1-A yang tersenyum bangga dan penuh emosi.
Di dekat pintu keluar, Jasana, Lutfayana, dan Cathrine menghampiri Ishvara, lalu membungkuk memberi pelukan hangat padanya. Lutfayana membelai rambut Ishvara lembut, lalu berbisik:
"Putriku... kau luar biasa. Kau memerankan karakter jahat dengan cara yang membuat Ibu ingin menitikkan air mata. Kuat, dan memikat. Persis seperti darah Dra’vetha mengalir dalam dirimu."
Ishvara hanya menjawab dengan senyum tipis, seperti biasa—angkuh tapi manis.
Di sisi lain aula, Kalandra Wisanggeni merangkul Kiranti dengan satu tangan dan berkata tegas namun lembut:
"Kau bukan hanya seorang aktris hebat... kau pemimpin sejati. Bahkan di atas panggung."
Inggrita Maranile tersenyum penuh haru, mencium kening putrinya.
"Kau membuat semua perempuan Mandalagiri hari ini bangga, Kiranti."
Setelah perpisahan penuh kasih itu, para orang tua pamit satu per satu. Suasana aula berangsur tenang. Beberapa staf akademi dari Divisi Penataan dan Kebersihan mulai masuk ke ruang kelas 1-A, membawa peralatan dan kotak-kotak besar untuk membongkar properti dan merapikan ruang. Dekorasi panggung perlahan dilepas, tirai diturunkan, dan lantai dibersihkan dari serpihan kertas serta bunga dekoratif.
Adegan di Wisma Srikandi – Kamar No.8, Lantai 2
Langit di luar jendela menggelap sempurna, tapi suasana kamar No.8 di lantai dua Wisma Srikandi masih hidup dengan suara dua gadis kecil yang sedang mengobrol.
Ishvara sedang menyisir rambutnya di depan cermin mungil, pita hijaunya dilepas sementara, sedangkan Kiranti sudah berbaring di tempat tidurnya, kedua tangannya menopang dagu.
"Tadi waktu kamu muncul dari balik tirai... semua orang langsung nahan napas, Ishvara," kata Kiranti, matanya bersinar.
"Hah, itu belum apa-apa. Tapi kamu pas ngelawan aku di akhir? Serius deh, sorot matamu bikin aku hampir lupa dialog," balas Ishvara, lalu tertawa pelan.
Keduanya tampak lebih santai. Tak ada lagi persaingan di atas panggung. Yang ada hanya dua sahabat kecil yang saling menghargai bakat dan kerja keras satu sama lain.
Setelah beberapa menit tertawa kecil dan berbagi cerita kocak tentang kesalahan gerakan dan ekspresi wajah teman-teman mereka selama pertunjukan, mereka bergiliran masuk ke bilik air yang ada di dalam kamar, membersihkan diri dan berganti pakaian malam berwarna pastel.
Adegan Penutup: Aula Makan Akademi
Beberapa saat kemudian, dua sahabat itu berjalan berdampingan menuruni tangga Wisma Srikandi menuju Gedung Utama dan Langsung Mengarah ke Aula Makan Akademi di sayap timur lantai satu. Aroma rempah hangat dan sayur kukus langsung menyambut mereka begitu melewati pintu utama aula.
Ruang makan terlihat seperti balai perjamuan kerajaan—atap kayu kelapa tua yang megah dan kain marun yang menggantung bergelombang di langit-langit menciptakan atmosfer megah namun nyaman. Pilar-pilar batu kali hitam dengan ukiran naga dan garuda berdiri kokoh, seakan menjadi penjaga suasana makan malam itu.
Meja-meja panjang dari kayu pinus tua dipenuhi murid-murid dari berbagai kelas yang mengenakan pakaian malam santai. Suara percakapan, tawa kecil, dan denting sendok bertemu piring mengisi ruangan seperti nyanyian kebahagiaan.
Ishvara dan Kiranti mengambil tempat duduk bersama Rana, Sagara, dan Agra, yang masing-masing masih mengenakan sisa-sisa riasan panggung. Mereka tertawa saat membahas ekspresi Agra yang ‘terlalu dingin’ karena mantranya, atau saat Rana hampir terpeleset saat adegan pertarungan.
"Kupikir kita akan dimarahi tadi... karena adegan pertarungan itu terlalu heboh," kata Rana, mulutnya penuh ubi panggang.
"Tapi kita malah dapat tepuk tangan berdiri," jawab Kiranti sambil tersenyum.
Lampu kristal sihir di atas mereka berpendar hangat, membuat malam itu terasa hangat, damai, dan sempurna.
Hari Jumat: Panggung Komedi Kelas 3-C
Matahari pagi bersinar lembut di atas langit Mandalagiri, menyapa hari Jumat dengan angin semilir dari arah selatan. Hari itu giliran kelas 3-C menampilkan pertunjukan dalam rangka Festival Kreativa Mandalagiri. Aula kelas utama Akademi Tirabwana telah kembali ramai. Suasana berbeda terasa hari ini—lebih santai, penuh tawa dan canda, seakan udara itu sendiri sudah tahu bahwa pertunjukan kali ini bukan tragedi atau drama kerajaan megah, melainkan sebuah lakon jenaka: Pertempuran Lembayung Dipa.
Di antara kerumunan penonton yang mulai memadati ruang aula, Raviendra berdiri di dekat pintu masuk, mengenakan kostum panglima perang berwarna ungu gelap dengan hiasan bulu-bulu emas di bahunya. Tongkat Sihir Miliknya tergantung di pinggangnya, dan senyumnya lebar saat melihat tiga sosok yang dikenalnya sangat baik.
“Ibu! Ayah! Ibu Lutfayana!” seru Raviendra penuh semangat.
Jasana tersenyum lebar dan membuka tangan untuk menyambut putranya. Di kanan Jasana berdiri Cathrine dengan senyum lembut dan penuh kebanggaan. Di sisi kiri berdiri Lutfayana, anggun dengan gaun merah maroon khas Dra'vetha, sorot matanya memancarkan rasa bangga meskipun wajahnya tetap tenang dan berwibawa.
“Kau tampan sekali hari ini, Ravi,” puji Cathrine, membelai lembut rambut putranya.
“Bersenang-senanglah di panggung, Ravi,” sahut Lutfayana, dengan suara halus namun tajam.
“Aku tak sabar melihat aksimu sebagai panglima,” ujar Jasana, menepuk bahu Raviendra.
Tak lama berselang, perhatian Raviendra tertuju pada sosok lain yang memasuki aula. Seorang pria bertubuh besar, berkharisma, dengan jubah bangsawan khas Puspaloka berjalan mantap. Di sisi kanannya berdiri seorang wanita anggun dengan pakaian formal berwarna biru keperakan yang dihiasi sulaman kristal kecil berbentuk bunga padma. Rambutnya terurai panjang, warna hitamnya berkilau dengan semburat ungu di bawah cahaya kristal Ruangan. Sorot matanya teduh namun tak dapat disangkal kewibawaannya.
Itulah Doyantra Puspaloka—Kapten Divisi Mandhala Dhana dari Guild Bayu Geni dan Juga Bangsawan Puspaloka—bersama istrinya, Satyaputri Paramiswari dari keluarga Paramiswari, salah satu keluarga bangsawan tertua dan paling dihormati di Lembah Biru Mandalagiri.
“Nayala!” sapa Raviendra sambil melambaikan tangan.
Nayala, yang mengenakan gaun Ratu Lembayung berwarna perak biru dan mahkota kecil dari anyaman daun perak, segera mendekat. Ia membungkuk dengan anggun menyapa orang tuanya.
“Ayah, Ibu, terima kasih telah datang,” ucap Nayala penuh hormat.
“Kau akan jadi ratu yang memesona, Nak,” sahut Satyaputri dengan senyum bangga.
Raviendra pun ikut membungkuk sopan, memberi salam hormat kepada keluarga Puspaloka. Doyantra menepuk pundaknya pelan. “Bersikaplah seperti panglima sejati, Ravi. Jangan hanya membuat Ratu-mu tertawa, buat juga musuhmu menyerah karena malu.”
Raviendra tertawa kecil, semangatnya semakin membuncah.
Sementara itu, Jasana dan Doyantra duduk bersebelahan di barisan depan, kedua istrinya masing-masing di sisi mereka. Di antara mereka terjadi obrolan khas para bangsawan, penuh bahasa halus, formal, dan kadang diselingi candaan tentang rivalitas persahabatan mereka di dalam Guild Bayu Geni. Penonton yang duduk di barisan belakang menatap penuh kekaguman—belum pernah sebelumnya terlihat para bangsawan berkumpul dalam satu baris seharmonis ini.
“Putri Nayala tampak seperti ibunya saat muda, ya,” ujar Cathrine sambil menoleh ke Lutfayana.
“Dan Ravi... makin mirip Jasana saat muda. Tapi lebih cerewet,” timpal Lutfayana dingin, namun ujung bibirnya membentuk senyuman tipis.
Tiba-tiba, terdengar suara lantang dari panggung.
“Selamat datang hadirin sekalian! Bersiaplah untuk menyaksikan pertunjukan istimewa dari kami—Kelas 3-C—berjudul: Drama Komedi Pertempuran Lembayung Dipa!”
Tirai kayu digerakkan, mengungkap panggung yang telah dihias meriah dengan warna ungu, kuning, dan biru. Ada miniatur istana dari kertas karton, deretan tombak palsu tertancap di panggung, dan lukisan langit senja di latar belakang.
Lampu kristal sihir menyala terang, memberi cahaya hangat ke seluruh aula. Di sudut belakang aula, terlihat meja para juri: satu murid senior dari Dewan Siswa, satu guru dari Divisi Seni, dan satu alumni Akademi yang terpilih khusus sebagai juri kehormatan. Di atas meja mereka terhampar taplak biru muda dengan lambang matahari Mandalagiri yang bersinar keemasan, simbol keagungan Akademi.
Pertunjukan dimulai.
Dan gelombang tawa serta sorakan mulai memenuhi aula, menandai bahwa panggung kali ini... akan jadi sangat berbeda dari sebelumnya.
Drama Komedi “Pertempuran Lembayung Dipa”
Tirai kembali terbuka, kali ini menampilkan panggung yang telah diubah menyerupai interior sebuah istana megah penuh warna lembayung. Pilar-pilar dari kardus tinggi berdiri kokoh, tirai beludru ungu menjuntai di belakang, sementara lukisan dinding istana terpampang sebagai latar. Di tengah panggung, Ratu Nayala, duduk anggun di atas singgasana berwarna emas pucat. Ia mengenakan mahkota kecil yang dihias pernak-pernik kristal berkilauan. Gaun biru peraknya menjuntai ke lantai panggung, dan wajah tembemnya dipoles tipis, memberikan kesan megah namun menggemaskan.
Di sekeliling Nayala, beberapa murid lain dari kelas 3-C berperan sebagai menteri, bangsawan istana, para tentara, dan pelayan. Mereka sibuk pura-pura berdiskusi dan berbisik-bisik dalam gaya berlebihan, menambah nuansa kocak pertunjukan.
Tiba-tiba, dari sisi kiri panggung, terdengar suara marching yang sangat dramatis—dengan Raviendra masuk membawa tongkat sihirnya yang dihias permata giok hijau. Ia berdiri tegap, dada dibusungkan, lalu menghormat dengan sangat... berlebihan.
“Yang Mulia Ratu Nayla,” ucap Raviendra lantang, lalu melirik kanan-kiri, “Saya membawa kabar penting! Iblis Masisasusah telah bergerak dan berencana menyerang istana!”
Penonton sudah mulai cekikikan. Di sisi kanan panggung, salah satu murid yang berperan sebagai Menteri Istana mengangkat tangannya perlahan dan berujar dengan wajah sangat serius:
“Panglima... yang benar Mahishasura, bukan Masisasusah.”
Raviendra langsung berdehem keras. “Eh-hem, ya ya, maksud saya... Mahasasura.”
Menteri itu menggeleng sambil mengangkat alis. “Masih salah, Panglima. Mahishasura.”
“Eh-hem, eh-hem,” Raviendra berdehem dua kali, lalu tersenyum bodoh, “Iya iya, Mahisura.”
Tiba-tiba, Nayala bangkit dari singgasananya dengan wajah kesal yang dibuat-buat, lalu berteriak sambil menunjuk Raviendra:
“MAHISHASURA BEGO!”
Gemuruh tawa meledak dari seluruh aula. Bahkan beberapa guru dan juri tampak tertawa lepas. Di barisan depan, Jasana memejamkan mata sambil menggeleng pelan, sementara Cathrine tertawa menutup mulut dan Lutfayana hanya mengangkat alis, terlihat terhibur diam-diam. Di samping mereka, Doyantra tertawa dalam diam, bahunya berguncang pelan, dan istrinya Satyaputri tersenyum penuh pengertian.
Raviendra berdiri diam sejenak, lalu dengan gaya datar tapi ekspresi konyol ia menyentuh dada dan menunduk:
“Mohon maaf atas kesalahan saya, Yang Mulia. Tapi... terkadang ketika saya melihat kecantikan Anda, Ratu Nayla, saya jadi sering salah menyebut nama musuh.”
Nayala langsung menghentakkan kaki, wajahnya dibuat cemberut tapi menggemaskan, lalu menunjuk Raviendra dengan suara tinggi:
“BUKAN NAYLA! NAYALA! N–A–Y–A–L–A!!”
Raviendra berpura-pura terkejut dan mundur dua langkah.
“Eh-hem... nah itu dia... yang membuat saya makin sering salah. Semakin saya salah menyebut nama Anda, berarti saya makin sadar betapa memesonanya Anda...” katanya sambil tersenyum bodoh penuh pesona palsu.
Tawa kembali meledak di seluruh aula. Bahkan beberapa penonton ada yang sampai menepuk-nepuk lututnya karena tidak kuat menahan geli.
Nayala melipat tangan di dada dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi, lalu membuang muka sambil menahan senyum—ekspresi marah manja yang membuat penonton tambah gemas melihatnya.
Tirai menutup sebentar, kemudian terbuka kembali memperlihatkan panggung yang sudah berubah. Kini latarnya adalah Hutan Lembayung Dipa, dihiasi pepohonan dari kertas dan kain hijau serta lampu sihir berwarna ungu temaram untuk memberi kesan hutan mistis.
Dari balik semak-semak palsu, muncullah Iblis Mahishasura—diperankan oleh salah satu murid yang tubuhnya dibalut kostum gemuk, wajah dicat merah dengan tanduk keropos dari busa di kepalanya. Namun alih-alih menakutkan, suaranya cempreng dan gerakannya kaku, mengundang tawa besar dari para penonton.
Dia melompat-lompat sambil berkata:
“Aku Mahishasura! Raja semua Iblis! Tapi... aku takut sama kecoa... AAAAHHH!” (kemudian lari dari semak karena seekor boneka kecoa dilempar ke arahnya dari pinggir panggung)
Semua penonton meledak tawa lagi. Adegan ditutup dengan Raviendra dan Nayala yang masuk ke panggung hutan dari sisi berbeda, bersiap untuk adegan pertempuran konyol berikutnya.
Lampu mulai meredup, tanda babak pertama drama komedi ini akan segera berganti.
Adegan Pertempuran Komedi di Tanah Lembayung
Lampu sorot menyinari sisi kanan panggung yang telah disulap menjadi Hutan Lembayung Dipa. Kabut tipis buatan mengepul pelan dari bawah panggung, sementara efek suara guntur kecil dimainkan lewat instrumen musik. Dari balik tirai pepohonan buatan, muncul Mahishasura, dengan kostum merah menyala, tanduk dari busa yang bergoyang saat ia berjalan, dan jubah hitam yang terlalu panjang hingga terseret-seret. Ia dikawal oleh pasukan iblis kegelapan—para murid Kelas 3-C yang mengenakan jubah ungu, bertopeng lucu dengan ekspresi seram tapi imut.
Mahishasura berdiri di depan panggung, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lalu berkata dengan suara cempreng dan dramatis:
“Tunduklah, wahai manusia! Sudah saatnya Tanah Lembayung ini menjadi milik para iblis!”
Raviendra, berdiri di sisi kiri panggung bersama para pengawal, mengangkat alis dan... langsung menunduk dengan patuh, ekspresinya datar seperti biasa.
Mahishasura tampak bingung. Ia melirik kiri-kanan lalu bertanya:
“Eh? Kenapa kau menunduk?”
Ravi, masih dengan gaya datar dan tanpa ekspresi, menjawab:
“Lho, tadi katanya suruh tunduk?”
Tawa penonton pecah lagi.
Mahishasura meloncat maju sedikit sambil berkata:
“Bukan begitu maksudku! Yang kumaksud... serahkan tanah Lembayung ini padaku!”
Tanpa banyak bicara, Ravi menunduk lagi, meraih segenggam tanah buatan dari properti panggung, lalu menyerahkannya dengan satu tangan ke Mahishasura.
“Ini tanahnya,” katanya polos.
Mahishasura berpura-pura geram, wajahnya dibuat ekspresif, alis naik turun, tangan berkacak pinggang. “GRRRR! Bukan tanah seperti itu maksudku!”
Tepuk tangan dan tawa kembali menggelegar dari seluruh aula.
Tiba-tiba Nayala masuk dari sisi panggung, berdiri anggun di samping Ravi, lalu dengan suara datar dan sikap sangat tenang berkata:
“Kau aneh, Mahishasura. Kau suruh menunduk—Panglima kami menunduk. Kau ingin tanah—kami sudah kasih. Tapi kenapa kau malah marah?”
Mahishasura terlihat frustasi. Ia mengibas-ngibaskan jubahnya, lalu berkata dengan nada tinggi:
“Bukan TANAH seperti itu maksudku! Yang Aku maksud tanah dan air... yang kalian tinggali! Wilayah kalian!”
Nayala berbalik pada pengawal di belakangnya, lalu dengan ekspresi datar berkata:
“Pengawal, cepat. Bawa airnya. Sepertinya dia juga haus.”
Dari belakang, seorang murid kecil yang berperan sebagai pengawal, dengan serius namun lucu, berlari membawa botol air mineral besar yang sudah disiapkan properti, lalu menyerahkannya kepada Raviendra. Ravi dengan tenang menaruh botol itu di atas tanah lalu menepuk-nepuknya:
“Ini tanahnya, ini airnya.”
Mahishasura kembali melompat-lompat frustasi. Ia menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil yang ngambek, lalu berkata dramatis sambil menunjuk para pasukannya:
“Cukup! Pasukan! Serbu mereka! Habisi semua yang... yang terlalu literal menafsirkan kata-kataku!!”
Pasukan iblis mulai berjalan ke depan panggung dengan gaya berlebihan—ada yang tersandung, ada yang muter-muter sendiri, satu bahkan berjalan mundur karena topengnya terbalik.
Sementara Ravi dan Nayala berdiri gagah, Ravi mengarahkan tongkat sihirnya ke langit, tongkatnya menyala hijau terang, dan Nayala mengangkat gada mainan emas besar dengan gaya heroik.
Lampu mulai meredup sedikit demi sedikit, menandakan akhir adegan. Musik latar penuh semangat mulai mengalun, bersiap menuju adegan aksi selanjutnya.
Reaksi Penonton:
Seluruh aula penuh tawa dan tepuk tangan. Juri festival mencatat sesuatu di buku mereka sambil tersenyum lebar. Beberapa bahkan saling berbisik dengan wajah kagum atas kreativitas kelas 3-C. Di kursi para orang tua, Cathrine Van der Lindt bertepuk tangan dengan bangga, sementara Doyantra berseru pelan, “Itu anakku tuh… timing-nya pas banget.”
Dan dari sudut ruangan, Kepala Akademi, yang mengenakan jubah panjang biru langit, hanya mengangguk-angguk kecil dengan senyum tipis di wajahnya.
Pertempuran Kocak di Hutan Lembayung Dipa
Lampu sorot sihir berubah berkedip merah dan ungu, menandakan pecahnya pertempuran antara dua kubu—Raviendra dan Nayala melawan Mahishasura dan pasukan iblis kegelapan.
“MAJUUUU!!” teriak Mahishasura dengan suara cempreng sambil melompat-lompat seperti kelinci panik. Pasukan iblis kegelapan—para murid 3-C dengan jubah ungu—lari ke depan dengan gaya lebay. Satu dari mereka malah jatuh sendiri tersangkut jubah, dan yang lain asyik melambai ke penonton.
“PASUKAN HADANG MEREKA!” seru Nayala dengan ekspresi datar penuh keanggunan.
Raviendra melompat ke depan, mengayunkan tongkat sihirnya, mengucap mantra dengan gaya dramatis:
“Flora Ignisia… EHEM… eh, salah. Cahaya… Alamia… yah, pokoknya keluar, deh!”
TIDAK ADA APA-APA YANG KELUAR.
Penonton meledak tertawa.
Mahishasura pun balas mengayunkan tongkat tengkoraknya:
“DARK BLAAAST!!”
Namun bukannya menyerang musuh, sinar hitam malah mengenai salah satu pasukan iblis sendiri, membuat anak itu berteriak, “Aduh, aku temenan loh!”
“Maaf, maaf!” ujar Mahishasura kaget, lalu lanjut nyerocos, “Kalian itu jangan berdiri di tempat yang aku tembak dong!”
Sementara Nayala maju gagah, mengangkat gada emas raksasa. Namun karena terlalu berat, gadanya malah terpental ke belakang—dan nyaris kena pengawal sendiri. Untung si pengawal melompat seperti kodok.
“Ups,” ujar Nayala, “itu baru latihan.”
Raviendra pun maju, dan dengan wajah super serius berlari pelan, lalu terpleset sendiri gara-gara pasir panggung, jatuh duduk, tapi berpose gagah seolah disengaja:
“Begitulah cara aku bermanuver!”
Tawa dari barisan penonton orang tua meledak. Ibu Cathrine sampai menutup mulut sambil tergelak, sedangkan Kapten Doyantra menggeleng-geleng kagum melihat tingkah Nayala.
Pertempuran makin absurd. Satu pasukan iblis menabrak pohon buatan dan malah minta tolong. Yang lain berselisih karena rebutan siapa yang harus “menyerang duluan.”
Sementara itu, Raviendra dan Nayala saling berpunggungan:
Ravi: “Kau pikir mereka kuat?”
Nayala: “Kuat sih tidak… tapi lucu iya.”
Mahishasura lalu kembali ke tengah, mengangkat tangan dan mengeluarkan kartu mainan.
“Inilah kartu pemanggil kejahatan!”
Namun ternyata yang keluar adalah… kartu UNO.
“Eh, ini bukan—ini bukan milik saya!”
Raviendra menjawab:
“Kau kena SKIP dua giliran, Mahishasura.”
Semua pasukan, Raviendra, Nayala, bahkan iblis pun membentuk lingkaran dan pura-pura bermain kartu UNO selama lima detik di tengah panggung. Efek cahaya menyorot mereka seperti pertandingan resmi.
Tepuk tangan dan tawa riuh mengguncang aula.
Lalu dengan gaya teatrikal, Raviendra berdiri dan menunjuk Mahishasura:
“Kau kalah… bukan karena kekuatan… tapi karena terlalu banyak drama!”
Mahishasura lalu menjatuhkan diri dramatis ke tanah dan mengangkat tangan ke langit:
“AAAAAHH!! TIDAK!!!”
Lampu mulai meredup perlahan, tanda drama berakhir. Musik latar berhenti, hanya disusul oleh suara riuh tawa dan tepuk tangan meriah dari seluruh aula.
Juri-juri festival—perwakilan Dewan Guru, Dewan Siswa, dan Alumni Akademi Tirabwana—terlihat tertawa terbahak-bahak sambil mencatat skor. Salah satu juri siswa bahkan berdiri memberi tepuk tangan berdiri (standing ovation).
Para orang tua siswa 3-C bertepuk tangan bangga, beberapa sampai mengusap air mata karena terlalu banyak tertawa.
Tirai perlahan ditutup. Para pemain menunduk sopan di depan panggung—masih dalam karakter. Raviendra memberi cium tangan dramatis ke tangan Nayala, dan Nayala mendorongnya pelan sambil cemberut.
“BUKAN NAYLA, TAPI NAYALA!!” kata Nayala lagi dari panggung sambil menunjuk papan nama ratu. Tawa kembali pecah.
Dengan demikian, pertunjukan komedi teatrikal Kelas Dasar 3-C usai dengan penuh gelak tawa, kreativitas, dan keceriaan khas anak-anak Akademi Tirabwana.
Tawa yang Mengikat
Setelah tirai panggung tertutup, aula ruang kelas 3-C perlahan dipenuhi suara riuh rendah para penonton yang mulai berdiri dan bersiap meninggalkan ruangan. Suasana penuh gelak tawa masih terasa mengambang di udara—seperti aroma harum yang tertinggal usai pesta.
Jasana Mandira, dengan pakaian bangsawan yang rapi, tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk pundak Raviendra.
“Kau tadi hampir membuat Mahishasura benar-benar menyerah… karena tertawa,” katanya sambil tergelak.
Cathrine Van der Lindt, dengan gaun biru anggunnya, menatap putranya seolah bingung antara bangga atau khawatir.
“Aku tidak tahu apakah kau akan jadi diplomat atau… pelawak istana,” gumamnya sembari menggeleng-geleng pelan.
“Tapi satu hal pasti—kau selalu berhasil mencuri perhatian.”
Raviendra, masih dalam kostum panglima kerajaan yang penuh debu panggung, menjawab santai:
“Yah, kalau dunia terlalu tegang, biar aku longgarkan sedikit, kan?”
Lutfayana, yang ikut menyaksikan sambil berdiri di belakang Cathrine, tertawa kecil dan mencubit pipi Raviendra pelan:
“Jangan-jangan, kau memang punya misi rahasia: menyebar tawa di seluruh Tanah Lembayung.”
Di sisi lain, Doyantra Puspaloka, tinggi besar dengan senyum terkekeh, mendekati putrinya.
“Putriku Nayala... kau bukan hanya bisa mengangkat gada, tapi juga mengangkat suasana!”
“Itu semua hasil latihan melempar lelucon dengan Gada,” jawab Nayala santai, menyelipkan tusuk rambutnya yang agak longgar.
Ibu Nayala, Membelai rambut putrinya sambil berkata lembut:
“Panggung bukan hanya tentang kekuatan… tapi juga keberanian untuk menjadi diri sendiri. Kami bangga padamu.”
Mereka semua berpamitan dengan hangat. Pelukan cepat, saling lambaian, dan beberapa bisikan pesan semangat sebelum keluar dari kelas. Gelak tawa masih terdengar bahkan saat mereka sudah berjalan di lorong luar, menuju area bazar akademi.
Sinar matahari siang menembus kaca tinggi di dinding timur ruang kelas 3-C. Lampu-lampu sorot dimatikan. Tirai ditarik perlahan.
Beberapa petugas dari Divisi Kebersihan dan Penataan Akademi masuk membawa sapu, alat pel, dan alat sihir kecil berbentuk pena pembersih. Mereka mulai membereskan panggung: menyimpan alat peraga, melipat tirai, dan mengumpulkan properti seperti kartu UNO dan batu-batu palsu yang tadi dilempar sana sini.
Di pojok ruang kelas, beberapa murid 3-C duduk sambil tertawa kecil membahas adegan-adegan barusan.
“Aku masih gak percaya Mahishasura kita pake suara cempreng kayak gitu,” ujar seorang anak sambil memakan keripik.
“Dan Ravi… ngasih tanah beneran dong,” yang lain menimpali sambil tertawa.
Raviendra, masih lengkap dengan jubah panglima dan tongkat sihir gioknya, menoleh sambil berjalan santai menuju pintu:
“Kau tahu apa rahasia kemenangan?” katanya datar.
“Apa?” tanya Nayala di sebelahnya.
“Jatuhin lawan dengan tawa, bukan senjata.”
Nayala menyahut sambil menggoda:
“Itu karena kau nggak kuat ngangkat gada kayak aku.”
Mereka tertawa bersama, lalu mulai berjalan beriringan menyusuri koridor menuju Aula Makan Akademi. Di kejauhan, lonceng istirahat siang berdentang lembut, menandakan bahwa Festival Kreativa Mandalagiri masih berlanjut, dengan begitu banyak pertunjukan menanti di bab-bab berikutnya.
Dan seperti itu, babak kocak dari Kelas Dasar 3-C pun ditutup dengan tawa yang menyatukan.