Kabut pagi menyelimuti lereng Gunung Tianxue, seperti tirai tipis yang menyembunyikan keangkuhan sebuah tempat sakral: Sekte Langit Beku, sekte kuno yang berdiri selama ribuan tahun di antara salju abadi. Puncaknya menjulang tajam, seolah menantang langit itu sendiri. Di balik keindahannya, tersembunyi sistem hierarki yang kejam—di mana bakat adalah segalanya, dan yang lemah tak lebih dari beban.
Di halaman utama, ratusan murid berkumpul dalam formasi rapi. Jubah mereka berkibar oleh angin dingin. Semua sedang menunggu satu hal—pengumuman pembagian aula pelatihan. Ini adalah momen penting, yang menentukan nasib setiap murid muda selama beberapa tahun ke depan.
Di barisan paling belakang, berdiri seorang pemuda berambut hitam legam, mata tajam yang dingin seperti danau beku. Ia tidak berbicara, tidak menoleh, tidak berusaha menonjol. Tapi justru karena itu, ia begitu mencolok.
Namanya Leng Wuxian.
“Dia lagi… Masih bertahan ya anak buangan itu,” bisik seorang murid laki-laki dari klan bergengsi.
“Haha, tiga tahun di sini masih di tahap Qi Dasar. Malu-maluin banget.”
“Cuma satu jalur meridian yang terbuka. Kucing aja bisa lebih cepat dari dia.”
Ejekan demi ejekan itu seperti angin yang lewat di telinga Wuxian. Tak ada amarah, tak ada balasan. Ia hanya berdiri, diam. Tapi di balik ketenangan itu, ada kehampaan—dan bara api kecil yang tak pernah padam.
“Leng Wuxian.”
Suara tetua pelatih bergema, mencuri perhatian semua murid.
“Karena capaianmu yang tidak memadai, kau akan ditempatkan di Aula Selatan. Perintah langsung dari Tetua Besar.”
Suasana hening sejenak, lalu meledak dalam bisik-bisik.
“Aula Selatan? Itu tempat… buangan, ‘kan?”
“Katanya bekas reruntuhan kuno. Sudah puluhan tahun tak dipakai.”
“Bahkan roh pelatih pun tak berani ke sana.”
Wuxian melangkah ke depan, mengangguk dalam diam, lalu berbalik. Tak satu pun melihat kegoyahan di langkahnya. Tapi saat kakinya menyentuh lantai batu es, terdengar suara retakan halus.
Tak ada yang menyadarinya—kecuali seorang tetua di kejauhan yang mengerutkan alis, matanya menyipit tajam.
Aula Selatan.
Tempat itu terletak di tepi lembah yang sunyi, ditinggalkan oleh sekte sejak puluhan tahun lalu. Reruntuhan kuil, pilar-pilar retak, dan simbol-simbol kuno yang nyaris tenggelam oleh salju. Tak ada aura kehidupan di sana—hanya dingin yang menusuk tulang, dan… bisikan samar yang tak pernah diam.
Malam itu, di bawah bulan setengah, Leng Wuxian duduk bersila di tengah aula yang hancur. Ia membuka sebuah gulungan tua, satu-satunya peninggalan dari ibunya sebelum ia meninggal. Gulungan itu telah ia simpan selama bertahun-tahun, tapi tak pernah terbuka. Tak pernah bisa dibaca.
Sampai malam ini.
Ketika gulungan itu disentuh oleh darah dari telapak tangannya yang terluka, simbol di atasnya menyala perlahan. Salju di sekeliling mulai berputar... bukan tertiup angin, tapi seolah diserap oleh sesuatu.
Dari gulungan itu, terdengar suara lirih. Suara wanita… atau bukan?
“Keturunan darah beku… Akhirnya, kau datang.”
Simbol es kuno muncul di udara. Tubuh Wuxian bergetar. Tapi ia tetap duduk. Matanya terbuka perlahan, menatap cahaya yang perlahan membentuk bayangan seorang wanita berpakaian putih perak, tak tersentuh waktu.
“Dunia telah melupakan kami,” bisiknya.
“Tapi darahmu… akan mengguncang langit.”
Saat itu juga, salju berhenti turun.
Dan di langit, seberkas cahaya biru melesat ke arah langit utara—membelah malam.
Leng Wuxian masih duduk, tapi napasnya mulai berat. Urat-urat di tubuhnya bersinar biru pucat. Jalur meridian yang dulunya tertutup… mulai pecah.
Satu. Dua. Lima.
Sembilan jalur. Dalam satu malam.
Sesuatu yang tak pernah terjadi selama seratus tahun terakhir.