Rahang Ashton terkatup begitu keras sampai kupikir dia mungkin akan mematahkan giginya.
Salah satu tangannya berkedut, seolah dia sangat ingin menyentuhku, tapi berusaha tetap tenang.
Aku menatapnya.
Dia balas menatapku.
Tak satu pun dari kami berkedip.
Ini seperti adu tatap Meksiko, hanya saja tak ada yang membawa senjata.
Lampu-lampu meredup—apakah memang selalu serendah itu?
Rumah pintar bodohnya mungkin mendeteksi gairah dan menyesuaikan pencahayaan suasana.
Aku bisa merasakan detak jantungku sendiri berdentum di telingaku, dadaku menempel pada dadanya.
Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Begitu juga aku.
Keduanya menunggu yang lain untuk bergerak lebih dulu.
Harga diri memang menyebalkan seperti itu.
Lalu—baiklah. Aku yang menyerah duluan.
Aku memejamkan mata, mencondongkan tubuh, bibirku hanya berjarak beberapa senti dari bibirnya, napasku menyapu kulitnya—
Ponselnya berdering.
Aku tersentak mundur.
Duduk tegak seperti tiang. 'Um, ponselmu.'