Chapter 1: Dunia yang Terkubur

Hujan deras mengguyur Jakarta tanpa ampun, seolah langit ikut bersekongkol untuk menenggelamkan malam ke dalam kesuraman yang lebih pekat. Dari jendela kaca di lantai 32 sebuah gedung pencakar langit, Adhyasta Janottama menatap hamparan lampu kota yang berpendar kabur, setiap titik cahayanya laksana bintang sekarat yang memantulkan kepedihan di matanya. Di luar sana, kemacetan abadi merayap seperti ular besi raksasa yang terluka, klaksonnya bersahutan menjadi simfoni keputusasaan.

Di dalam ruangan berpendingin udara ini, suasananya tak kalah dingin. Keheningan pasca rapat dewan direksi terasa memekakkan telinga. Di atas meja mahoni yang berkilauan, tumpukan dokumen setebal kamus tergeletak bisu. Itu adalah proposal proyeknya, hasil kerja kerasnya selama enam bulan terakhir—begadang hingga pagi, mengorbankan akhir pekan, dan menuangkan setiap tetes ide brilian yang dimilikinya. Sebuah mahakarya strategi pengembangan bisnis yang seharusnya menjadi tiket emasnya menuju posisi manajer senior.

Seharusnya.

Kenyataannya, proposal itu kini menjadi monumen kegagalannya. Beberapa jam yang lalu, di ruang rapat yang sama, sahabat terbaiknya sekaligus rekan kerjanya mempresentasikannya dengan fasih seolah itu adalah buah pikirnya sendiri. Setiap slide, setiap data, setiap proyeksi keuntungan—semuanya adalah milik Adhyasta. Namun, nama yang tertera di halaman depan adalah nama orang itu. Para petinggi bertepuk tangan, memuji "visinya" yang luar biasa. Adhyasta hanya bisa terdiam, membeku di kursinya, merasakan belati tajam pengkhianatan menusuk tepat di punggungnya.

Ketika ia mencoba angkat bicara, menunjukkan bukti-bukti awal dan draf yang ia simpan di komputernya, atasannya hanya menatapnya dengan pandangan dingin. "Adhyasta," katanya dengan nada meremehkan, "jangan mencari-cari alasan atas ketidakmampuanmu bersaing. Proyek ini sudah diserahkan oleh timnya. Mungkin lain kali kau bisa lebih cepat."

Dikhianati oleh sahabat, dijatuhkan oleh atasan, dan diabaikan oleh sistem. Sebuah pola yang menyakitkan dan terlalu familier dalam hidupnya.

Adhyasta Janottama. Sebuah nama yang terdengar agung, warisan dari kakeknya yang seorang sejarawan amatir. "Janottama" berarti "manusia terbaik" atau "insan yang unggul". Sebuah ironi pahit yang selalu menghantamnya setiap kali ia melihat cermin. Ia punya otak yang cemerlang, kemampuan analisis yang tajam, dan etos kerja yang tak kenal lelah. Namun, ia selalu kalah. Kalah dalam politik kantor, kalah dalam keberanian mengambil risiko, kalah dalam kelicikan. Ia adalah seorang ahli strategi brilian yang tak pernah memenangkan perangnya sendiri.

Hidupnya adalah serangkaian "hampir". Hampir lulus dengan predikat cum laude jika saja dosen pembimbingnya tidak mengambil hasil risetnya untuk jurnal pribadi. Hampir mendapatkan beasiswa ke luar negeri jika saja surat rekomendasinya tidak "hilang" secara misterius. Hampir memenangkan hati wanita yang ia cintai jika saja ia tidak terlalu lambat untuk mengungkapkan perasaannya. Dan kini, hampir meraih puncak karier sebelum didorong jatuh dari tepian tebing.

Ia mematikan komputernya, mengemasi tasnya dengan gerakan mekanis. Tidak ada ucapan selamat tinggal. Tidak ada yang peduli. Ia berjalan keluar dari gedung yang megah itu, menembus lobi marmer yang kosong, dan melangkah ke dalam pelukan hujan yang dingin. Ia tidak peduli kemejanya basah kuyup dalam hitungan detik. Dinginnya air hujan tak seberapa dibandingkan dingin yang membekukan hatinya.

Sambil berjalan tanpa tujuan di trotoar yang tergenang air, Adhyasta merenung. Untuk apa semua ini? Ia bekerja keras, ia jujur, ia berusaha menjadi orang baik. Tapi dunia tampaknya tidak menghargai itu semua. Dunia menghargai mereka yang licik, yang berani menginjak kepala orang lain untuk naik. Mungkin ia memang tidak ditakdirkan untuk berhasil. Mungkin nama "Janottama" adalah sebuah kutukan, sebuah standar mustahil yang hanya membuatnya terlihat semakin menyedihkan.

"Jika saja..." bisiknya pada angin malam, suaranya parau tertelan deru hujan. "Jika saja aku bisa mengulang semuanya. Aku tidak akan sebodoh ini. Aku tidak akan mempercayai siapa pun dengan mudah. Aku akan membangun bentengku sendiri, menyusun strategi untuk diriku sendiri."

Sebuah keinginan putus asa yang lahir dari penyesalan terdalam. Sebuah doa sunyi dari jiwa yang lelah.

Ia tiba di sebuah perempatan jalan yang sepi. Lampu lalu lintas berkedip kuning, sebuah peringatan yang tak ia hiraukan. Pikirannya terlalu kalut, tenggelam dalam lautan kekecewaan. Ia melangkahkan kakinya ke atas zebra cross, matanya menatap kosong ke aspal yang basah.

Dari sisi kanannya, sebuah cahaya menyilaukan tiba-tiba menerobos tirai hujan. Diikuti oleh suara klakson panjang yang memekakkan telinga dan decit ban yang mengerikan di atas aspal basah.

Adhyasta menoleh. Waktu seolah melambat. Sebuah truk besar melaju tak terkendali ke arahnya. Ia bisa melihat wajah panik sang sopir di balik kemudi. Ia ingin lari, ingin menghindar, tetapi kakinya seolah terpaku di tanah. Seluruh hidupnya yang penuh kegagalan berkelebat di depan matanya dalam sepersekian detik.

Jadi begini akhirnya? pikirnya getir. Bukan di medan perang sebagai seorang jenderal, bukan di atas panggung sebagai seorang pemenang, tapi di sini. Mati konyol di tengah hujan karena sebuah pengkhianatan murahan.

BRAKK!

Dunia menjadi ledakan rasa sakit yang membutakan, lalu berganti menjadi kegelapan total. Tubuhnya terlempar seperti boneka kain, menghantam aspal dengan bunyi yang mengerikan. Kesadarannya mulai memudar. Samar-samar ia bisa merasakan darah hangat mengalir dari kepalanya, bercampur dengan air hujan yang dingin. Lampu-lampu kota mulai meredup, suara-suara menjadi jauh.

Ironisnya, pikiran terakhirnya bukanlah tentang dendam atau kemarahan. Melainkan sebuah kelelahan yang luar biasa dan satu penyesalan yang paling dalam: potensinya, semua ide dan strategi di kepalanya, semuanya akan ikut mati bersamanya. Terkubur tanpa pernah melihat cahaya.

Kegelapan menelannya sepenuhnya.

...

Entah berapa lama telah berlalu. Satu detik? Satu abad? Waktu kehilangan maknanya di dalam kehampaan tak berujung ini. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, tidak ada rasa. Adhyasta hanya ada sebagai sebuah kesadaran murni yang melayang-layang di dalam ketiadaan. Ingatannya utuh—hidupnya, pengkhianatannya, kematiannya yang sia-sia. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang baru saja berakhir.

Apakah ini akhirat? Neraka? Atau sekadar ketiadaan abadi?

Tiba-tiba, ia merasakan sebuah tarikan lembut. Seolah sebuah kekuatan tak kasat mata sedang menarik esensi kesadarannya. Kegelapan di sekelilingnya mulai beriak, membentuk corong-corong energi yang berputar perlahan. Ingatannya, pengetahuannya, penyesalannya, semua emosi dan pemikirannya terasa dipadatkan, ditarik menuju satu titik tunggal yang tak terlihat.

Ia tidak bisa melawan. Ia hanya bisa pasrah saat kesadarannya tersedot ke dalam pusaran itu. Perasaan itu seperti ditelan oleh alam semesta, lalu dilahirkan kembali.

Kegelapan pekat perlahan berganti menjadi semburat kemerahan yang hangat. Kehampaan berganti menjadi ruang yang sempit dan nyaman. Keheningan berganti menjadi sebuah suara ritmis yang menenangkan.

Dug. Dug. Dug. Dug.

Itu adalah suara detak jantung. Bukan miliknya, tapi terasa begitu dekat, begitu intim. Ia juga bisa mendengar suara-suara lain yang teredam dari luar—sebuah nyanyian lembut dalam bahasa yang asing namun entah kenapa terasa familier, dan suara berat seorang pria yang sesekali menyahut.

Adhyasta Janottama, pria modern yang hidupnya telah terkubur, tidak tahu di mana ia berada. Ia hanya tahu satu hal: ia masih ada. Kesadarannya utuh, terjebak dalam sebuah kegelapan yang baru. Kegelapan yang hangat, hidup, dan penuh penantian.

Dunia pertamanya telah berakhir. Namun, di dalam rahim seorang wanita di dunia yang sama sekali berbeda, sebuah dunia baru sedang menunggunya untuk dilahirkan. Kali ini, ia tidak akan gagal.