Proses kelahiran adalah sebuah kekacauan yang brutal dan tiba-tiba. Setelah berbulan-bulan melayang dalam kehangatan yang nyaman, kesadaran Adhyasta didorong dan dihimpit oleh kekuatan yang tak bisa ia kendalikan. Dunia sempitnya menekannya dari segala arah, memaksanya melewati sebuah jalan yang menyakitkan. Lalu, dunianya meledak.
Cahaya yang tajam menusuk matanya yang belum pernah terbuka, memaksanya terpejam kesakitan. Udara dingin yang kasar menyerbu paru-parunya yang rapuh, terasa membakar seperti api. Suara-suara yang sebelumnya teredam kini menghantamnya dengan keras: rintihan kelelahan seorang wanita, seruan lega dari seorang pria, gemerisik kain, dan derit kayu. Semuanya mentah, tanpa filter, membanjiri otaknya yang dewasa dengan sensasi yang berlebihan.
Sebuah insting purba yang lebih tua dari ingatannya sebagai Adhyasta mengambil alih. Tubuh mungil ini tahu apa yang harus ia lakukan, terlepas dari perintah pikirannya. Paru-parunya mengembang dengan sebuah sentakan, dan dari tenggorokannya yang kecil, keluarlah sebuah tangisan yang melengking dan kuat.
Bagi kedua orang tuanya, itu adalah suara kehidupan yang paling merdu. Bagi Riqantra, itu adalah suara keterasingan—suara yang keluar dari tubuh yang bukan miliknya, sebuah alarm yang tidak bisa ia matikan.
"Dia hidup, Swarna! Anak kita hidup dan sehat!" Suara pria itu terdengar bergetar, sarat dengan kelegaan dan kebahagiaan yang tulus.
Sebuah kehangatan menyelimuti tubuhnya yang kedinginan saat ia dibungkus kain kasar. Ia lalu diletakkan di dada ibunya. Aroma keringat dan kehangatan kulit menyambutnya, dan melalui celah matanya yang masih bengkak, ia melihat wajah ibu barunya. Swarna. Wajahnya pucat dan basah oleh peluh, namun matanya yang teduh memancarkan cinta yang begitu murni dan dalam, sesuatu yang tidak pernah Adhyasta dapatkan seumur hidupnya.
"Lihat dia, Sudarma," bisik Swarna, suaranya lemah namun penuh keajaiban. "Anak kita... Riqantra."
Seorang pria dengan bahu lebar dan tangan yang kapalan, ayahnya Sudarma, mendekat. Wajahnya yang semula tegang kini dihiasi senyum lega. Ia mengulurkan jarinya yang kasar dan menyentuh pipi Riqantra dengan lembut. "Dia akan menjadi harapan kita."
Riqantra. Itu nama barunya. Di tengah disorientasi dan ketidaknyamanan fisik, otaknya yang dewasa mulai bekerja, menyusun kepingan-kepingan informasi dari realitas barunya.
Bulan-bulan pertama adalah sebuah penjara sunyi. Bayangkan seorang ahli strategi yang terbiasa mengendalikan variabel kompleks, kini terperangkap dalam tubuh bayi yang tak berdaya. Ia memiliki pikiran yang bisa merancang jatuhnya sebuah korporasi, namun ia tak mampu bahkan untuk sekadar membalikkan badan. Frustrasi adalah teman sehari-harinya. Saat pikirannya mencoba merumuskan kalimat tentang kondisi ekonomi mereka yang genting, yang keluar dari tenggorokannya hanyalah rengekan melengking yang membuat ibunya panik. Saat ia mencoba memfokuskan pandangannya untuk memetakan denah gubuk mereka yang sempit, matanya yang belum sempurna hanya memberinya bayangan kabur yang berputar. Setiap hari adalah pertempuran antara pikiran seorang jenderal dan tubuh seorang prajurit bayi yang tak berdaya. Sebuah penghinaan yang absolut.
Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah mengamati dan belajar.
Gubuk mereka kecil dan sederhana, terbuat dari kayu dan anyaman bambu dengan atap rumbia. Lantainya tanah yang dipadatkan. Dari percakapan lirih orang tuanya di malam hari, saat mereka mengira ia tertidur, Riqantra mulai memahami keadaannya. Mereka sangat miskin. Ayahnya, Sudarma, adalah seorang petani pekerja keras yang selalu terlihat lelah. Ibunya, Swarna, adalah pilar keluarga yang dengan sabar mengurus segalanya, seringkali Riqantra lihat ia hanya makan sedikit agar porsi untuk suaminya lebih banyak.
Ia juga menangkap kepingan masa lalu ayahnya. Sudarma bukan sekadar petani. Ia dulunya pedagang yang jatuh setelah dikhianati—sebuah gema menyakitkan dari kehidupan Adhyasta sendiri. Kegagalan itu telah memadamkan api di mata ayahnya, menyisakan kepasrahan yang muram yang kadang terlihat saat Sudarma menatap kosong ke kejauhan.
Di tengah semua keputusasaan itu, Riqantra menemukan satu hal yang tidak pernah ia miliki sebelumnya: cinta tanpa syarat. Cara Swarna menyanyikan lagu nina bobo untuknya dengan suara lembut, cara Sudarma tersenyum setiap kali menatapnya setelah pulang dari ladang, semua itu adalah hal baru yang menghangatkan jiwanya yang beku.
Ia sadar, ia tidak bisa hanya menjadi pengamat pasif. Ia harus beradaptasi. Ia mulai menggunakan kecerdasannya dengan cara yang paling primitif. Ia belajar membedakan tangisannya—satu untuk lapar, satu untuk tidak nyaman, satu lagi hanya untuk mencari perhatian. Ibunya menjadi lebih cepat tanggap, dan beban Swarna sedikit lebih ringan. Itu adalah kemenangan kecil pertamanya dalam perang melawan keterbatasan tubuhnya.
Suatu sore, Sudarma pulang dari ladang. Wajahnya lebih kusam dari biasanya, bahunya merosot kalah oleh hari yang berat dan mungkin hasil panen yang tak seberapa. Ia duduk di pojok gubuk, menghela napas panjang yang sarat akan kelelahan. Riqantra, yang berada dalam gendongan Swarna, menatap ayahnya. Ia melihat kekalahan di mata pria itu, sebuah pemandangan yang terlalu familier baginya.
Dengan segenap kekuatan mentalnya, Riqantra mencoba melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan. Ia memfokuskan pikirannya, mengabaikan ketidaknyamanan tubuhnya, dan memerintahkan otot-otot mungil di wajahnya untuk bergerak. Bukan sebuah respons insting, tapi sebuah perintah sadar.
Sebuah senyuman kecil dan tulus terukir di bibirnya, matanya menatap lurus pada Sudarma.
Sudarma, yang sedang menunduk, mengangkat kepalanya dan melihat senyuman itu. Ia tertegun sejenak. Gurat keputusasaan di wajahnya sedikit melunak. Ia bangkit, mendekati Riqantra, dan membelai kepalanya.
"Anak ini," gumamnya pada Swarna, seulas senyum tipis terukir di bibirnya untuk pertama kali hari itu. "Melihatnya, semua rasa lelah ini seolah terangkat."
Di momen itu, di dalam penjara tubuh bayinya, sebuah sumpah ditempa dalam benak Riqantra. Di kehidupan sebelumnya, kecerdasannya ia gunakan untuk ambisi pribadi dan berakhir sia-sia. Di kehidupan ini, tujuannya jauh lebih jelas. Tujuannya adalah dua orang di hadapannya ini.
Aku akan mengubah nasib kalian, janjinya dalam hati. Aku akan menggunakan semua pengetahuanku untuk mengangkat kalian dari kemiskinan ini. Ayah, aku akan mengembalikan api di matamu. Ibu, aku akan memberimu kebahagiaan yang pantas kau dapatkan. Ini adalah janjiku.
Di gubuk sederhana itu, seorang bayi menatap kedua orang tuanya dengan sorot mata seorang pria dewasa yang telah menemukan tujuan hidupnya yang baru. Permainan telah dimulai.