Tiga tahun telah berlalu sejak tangisan pertama Riqantra menggema di gubuk sederhana itu. Bagi Sudarma dan Swarna, tiga tahun itu adalah waktu yang dipenuhi kebahagiaan sederhana dan kerja keras tanpa henti. Bagi Riqantra, tiga tahun itu adalah sebuah penjara sunyi, sebuah latihan kesabaran yang paling ekstrem. Pikirannya yang tajam terperangkap di dalam tubuh seorang balita yang canggung, sebuah kontradiksi yang menyiksanya setiap hari.
Waktu bagi seorang balita adalah keabadian yang diisi dengan penemuan-penemuan kecil. Pada usianya yang ketiga, dunia Riqantra adalah halaman sempit di sekitar gubuknya, sungai kecil tempat ibunya mencuci, dan ladang kering tempat ayahnya menanam harapan. Secara fisik, ia sama seperti anak-anak lain di Wanakerta—bertubuh kecil, langkahnya belum sepenuhnya mantap, dan kosakatanya terbatas pada kata-kata sederhana seperti "Ibu," "Ayah," "makan," dan "main."
Suatu pagi yang cerah, ia duduk di teras kecil, mengamati ayahnya bekerja di sepetak ladang di belakang gubuk. Sudarma sedang mencoba membuat saluran irigasi kecil dari sungai terdekat, namun airnya terus meluap dan menggenang di tempat yang salah. Pikiran Adhyasta di dalam diri Riqantra langsung bekerja, menganalisis sudut kemiringan, kepadatan tanah, dan aliran air. Solusinya begitu jelas: buat saluran lebih lebar di pangkal, lalu menyempit, dan perkuat dindingnya dengan jajaran batu pipih untuk mengurangi erosi. Ia ingin sekali berlari ke sana, mengambil sebatang ranting, dan menggambar desain yang benar di tanah. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya bisa menunjuk dan mengeluarkan serangkaian suara cadel, "Ay... yah... air... situ..." yang hanya ditanggapi dengan senyum hangat dan usapan di kepala oleh ayahnya. Frustrasi membakar di dalam dirinya, sebuah perasaan akrab dari kehidupannya yang dulu.
Peristiwa yang mengubah segalanya terjadi pada suatu sore di puncak musim hujan, di bulan Padrawita. Langit yang kelabu menumpahkan airnya tanpa henti, memaksa Sudarma untuk tetap di rumah, memperbaiki jala tuanya yang sobek. Riqantra kecil, yang merasa bosan karena tidak bisa bermain di luar, mulai menjelajahi setiap sudut gubuk yang sudah ia hafal. Matanya yang selalu mengamati kemudian tertuju pada sebuah ruang sempit di bawah dipan kayu tempat mereka tidur.
Dengan rasa penasaran seorang anak, ia merangkak ke kolong dipan yang gelap dan berdebu. Jemari mungilnya meraba-raba lantai tanah yang dipadatkan hingga ia merasakan ujung sebuah papan kayu yang sedikit longgar. Didorong oleh intelek dewasanya yang selalu mencari anomali, ia menarik papan itu dengan sekuat tenaga. Papan itu berderit dan terangkat, menampakkan sebuah rongga tersembunyi. Di dalamnya, tergeletak sebuah peti kayu persegi yang warnanya lebih gelap dan buatannya lebih halus dari perabotan lain di rumah mereka.
"Ayah... kotak," panggilnya, suaranya yang cadel terdengar bersemangat.
Sudarma menoleh. Matanya mengikuti arah telunjuk kecil putranya. Saat melihat peti itu, tangannya yang sedang memegang jala berhenti bergerak. Sebuah kenangan tajam melintas di benaknya: aroma rempah-rempah mahal di ruang kerjanya di Dirgantara, tawa licik Harsaka, rasa dingin saat menyadari semuanya telah hilang. Peti itu adalah satu-satunya barang berharga yang ia selamatkan, sebuah monumen bagi kehidupannya yang dulu. Ia telah menguburnya, berharap bisa mengubur kenangannya juga.
Melihat mata putranya yang berbinar penuh rasa ingin tahu, Sudarma menghela napas panjang. Mungkin sudah saatnya. Dengan gerakan yang terasa berat, ia menarik peti itu keluar dari persembunyiannya. Hembusan udara beraroma kertas lapuk dan tinta kering menyebar di dalam gubuk. Swarna mendekat, meletakkan tangannya yang menenangkan di bahu suaminya.
Sudarma membuka kuncinya yang berkarat. Di dalamnya ada beberapa gulungan naskah, sebuah sempoa kecil, dan di bagian paling bawah, sebuah buku tebal bersampul kulit—jurnal pribadinya. "Ini... ini hanya barang-barang lama yang tak berguna," kata Sudarma lebih pada dirinya sendiri, senyumnya terasa pahit.
Ia membiarkan Riqantra melihat isinya, sementara ia dan Swarna larut dalam nostalgia sejenak. Namun, saat mereka kembali menoleh, pemandangan yang mereka lihat membuat napas mereka tercekat.
Riqantra tidak sedang bermain dengan sempoa. Ia duduk dengan tenang, membentangkan salah satu gulungan naskah yang paling tua. Jari telunjuknya yang mungil bergerak perlahan di atas barisan aksara kuno yang rumit. Di dalam benaknya, sebuah proses luar biasa sedang terjadi. Ini bukan gambar acak. Ini sebuah sistem, sebuah kode. Pikirannya sebagai Adhyasta, seorang ahli strategi, langsung mengambil alih. Ia melihat sebuah karakter rumit, namun ia mengenali komponen dasarnya, sebuah "gema" dari cara ibunya mengucapkan kata "batu". Jadi begitu! Bahasa lisan mereka adalah turunan sederhana dari bahasa tulisan ini. Akarnya sama!
Swarna menyenggol lengan suaminya dengan lembut. "Kangmas, lihat..."
Sudarma mendekat dengan tak percaya, jantungnya berdebar kencang. "Riqan," panggilnya pelan. "Apa yang kau lihat?"
Riqantra mendongak, matanya berkilau karena konsentrasi. Ia menunjuk karakter yang baru saja ia pecahkan. "Batu," jawabnya jelas.
Sudarma menelan ludah. Ia menunjuk karakter lain yang lebih rumit, sebuah kata kerja. Riqantra terdiam sejenak, memproses, lalu berkata, "Mengalir." Benar lagi.
Swarna menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya dipenuhi ketidakpercayaan. Sudarma, dengan tangan yang sedikit bergetar, mengambil jurnal kulitnya yang ia tulis dengan aksara biasa. Ia membukanya di halaman acak. "Nak... coba... coba baca ini. Pelan-pelan saja."
Bagi Riqantra, ini jauh lebih mudah. Ia menatap halaman itu, lalu dengan terbata-bata ia mulai membaca kalimat penuh pertama dalam hidup barunya, "…Musim… angin kering… harga… cengkeh… turun… dua… keping…"
Ia berhenti, menatap orang tuanya yang kini membeku seperti patung. Keheningan total menyelimuti gubuk itu, hanya dipecah oleh suara rintik hujan di luar.
Sudarma dan Swarna saling berpandangan. Di mata mereka terpancar sebuah emosi yang sama: keajaiban yang begitu besar hingga terasa menakutkan. Putra mereka, anak mereka yang baru berusia tiga tahun, adalah seorang jenius yang melampaui batas nalar.
Di gubuk sederhana itu, di tengah badai hujan, sebuah rahasia yang akan mengubah takdir dunia baru saja terungkap.