Dua tahun berlalu sejak penemuan di dalam peti tua itu. Bagi Riqantra, dua tahun itu adalah periode pertumbuhan yang intens namun tersembunyi. Kini, di usianya yang kelima, ia telah menyempurnakan perannya sebagai "anak pendiam". Di luar, ia adalah bayangan kecil yang mengikuti orang tuanya ke ladang, sesekali terlihat menyusun batu-batu kecil dengan pola yang aneh. Namun di dalam, pikirannya adalah sebuah perpustakaan yang ramai, penuh dengan strategi, sejarah, dan rahasia Prana.
Setiap malam, setelah Sudarma dan Swarna terlelap, ia akan dengan hati-hati membuka peti itu. Di bawah cahaya rembulan yang menyelinap masuk melalui celah dinding, ia melahap setiap kata. Gulungan tentang geografi memberinya peta mental Benua Arga. Gulungan tentang ilmu pedang memberinya gambaran tentang kuda-kuda dan postur yang benar. Jurnal ayahnya memberinya pelajaran pahit tentang ambisi dan pengkhianatan.
Namun, satu hal menjadi semakin jelas baginya. Satu kesimpulan dingin yang ditarik dari dua kehidupan yang telah ia jalani: Pengetahuan tanpa kekuatan adalah omong kosong.
Di kehidupan sebelumnya, ia memiliki pengetahuan, namun ia tidak berdaya saat dihancurkan oleh politik. Di kehidupan ini, ayahnya memiliki pengalaman, namun ia tidak berdaya di hadapan pengkhianat dan kemiskinan. Untuk melindungi, untuk mengubah nasib, untuk memastikan tragedi tidak terulang, aku membutuhkan kekuatan, pikirnya suatu malam, sambil menatap telapak tangannya yang mungil. Dan buku tipis tentang Prana adalah jalan pertamanya.
Maka, ia memulai latihannya. Setiap ada kesempatan, ia akan meminta izin pada Swarna untuk "bermain" di pinggir hutan. Swarna, yang selalu melihat anaknya sebagai anak yang tenang, mengizinkannya dengan syarat tidak pergi terlalu jauh. Riqantra menggunakan kebebasan itu untuk mencari tempat latihan rahasianya. Bukan sembarang tempat. Pikirannya yang strategis mencari lokasi yang sempurna: cukup jauh dari jalan setapak, memiliki penutup alami, dan tenang. Ia akhirnya menemukannya: sebuah ceruk kecil yang tersembunyi di balik rimbunnya semak pandan dan di bawah naungan sebatang pohon beringin tua yang akarnya menjuntai seperti tirai. Tempat itu terpencil dan sempurna.
Hari itu, untuk pertama kalinya, ia akan mencoba mempraktikkan teori yang telah ia hafal di luar kepala. Ia duduk bersila di atas sebuah batu datar yang sejuk, persis seperti yang diilustrasikan di dalam naskah. Perintah pertama dalam buku itu sederhana namun yang paling fundamental: "Rasakan Aliran di Dalam Dirimu."
Ia memejamkan mata, berusaha menyingkirkan semua suara hutan dan memfokuskan pikirannya ke dalam. Ini adalah tantangan terbesarnya. Pikirannya adalah seorang jenderal yang terbiasa memerintahkan, namun tubuhnya adalah seorang prajurit bocah yang baru pertama kali memegang perisai. Ada jurang pemisah antara perintah mentalnya dan respon fisiknya.
Fokus, desaknya pada diri sendiri. Lupakan segalanya. Rasakan...
Ia mengingat deskripsi dalam naskah itu: "Prana terasa seperti aliran sungai hangat di dalam darah, berpusat di inti tubuh. Jangan kau paksa arusnya, tetapi bimbinglah alirannya." Dengan pemahamannya tentang biologi modern, ia mencoba memvisualisasikan sistem saraf dan pusat energinya. Ia membayangkan sebuah titik hangat di perutnya.
Untuk waktu yang lama, tidak ada yang terjadi. Hanya ada keheningan, hembusan angin, dan frustrasinya yang semakin besar. Pikirannya sebagai Adhyasta yang terbiasa mendapatkan hasil dengan cepat mulai memberontak. Ia mencoba "memerintahkan" energinya untuk muncul, namun tubuhnya tetap diam.
Namun, ia tidak menyerah. Ingatan akan wajah ibunya yang tersenyum, wajah ayahnya yang penuh harapan, dan rasa sakit dari kehidupan masa lalunya menjadi cambuk bagi tekadnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengosongkan pikirannya dari keraguan. Ia mengubah pendekatannya. Bukan lagi perintah, tapi undangan. Bukan paksaan, tapi persuasi.
Dan kemudian... ia merasakannya.
Sangat samar, nyaris tak terasa. Sebuah getaran hangat yang lembut, seperti riak air kecil, mulai berdenyut di inti tubuhnya. Itu nyata. Perasaan itu ada. Jantungnya berdebar kencang, namun kali ini ia berhasil menjaga konsentrasinya. Perlahan, dengan susah payah, ia mencoba "membimbing" kehangatan itu, mengarahkannya melalui bahu, lalu lengannya, menuju telapak tangan kanannya. Rasanya seperti mencoba mendorong batu besar dengan seutas benang, sebuah latihan mental yang luar biasa melelahkan.
Ia membuka matanya dan menatap telapak tangannya yang terbuka. Sesuai instruksi terakhir di bab pertama naskah sihir itu, ia memfokuskan seluruh niat dan visualisasinya pada satu titik di ujung jari telunjuknya. Cahaya, perintahnya dalam hati. Sebuah percikan cahaya kecil. Apapun, asal nyata.
Ia mengerahkan seluruh konsentrasinya. Wajahnya memerah karena menahan napas. Kehangatan di tangannya terasa semakin pekat, berkumpul di satu titik.
Poof.
Sebuah titik cahaya seukuran ujung jarum, berwarna putih kebiruan, menyala di ujung jarinya selama sepersekian detik sebelum lenyap ditelan udara.
Hanya itu. Sebuah kedipan singkat dan lemah. Jika ada orang lain yang melihatnya, mereka mungkin akan mengira itu hanya pantulan cahaya atau seekor kunang-kunang kecil.
Tapi bagi Riqantra, kedipan singkat itu lebih dahsyat dari ledakan manapun. Itu adalah bukti. Bukti bahwa sistem itu nyata. Bukti bahwa ia bisa. Bukti bahwa jalan menuju kekuatan telah terbuka untuknya.
Ia menurunkan tangannya yang sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena luapan emosi yang tertahan. Ia menatap telapak tangannya yang mungil, lalu mengepalkannya dengan erat. Di matanya yang dalam, tidak ada lagi jejak seorang anak lima tahun, hanya ada sorot tajam seorang pria yang telah menemukan senjatanya.
Ini adalah langkah pertama, pikirnya dengan tekad yang membara. Jalan untuk merebut takdir kembali ke tanganku sendiri.