Chapter 6: Sahabat kecil

Tahun-tahun berlalu, dan Riqantra tumbuh menjadi seorang anak laki-laki berusia enam tahun yang menyimpan rahasia lebih besar dari tubuhnya sendiri. Bagi penduduk desa, ia adalah anak Sudarma yang pendiam, sedikit aneh, dan lebih suka menyendiri di pinggir hutan daripada bermain di lapangan. Anak-anak lain, dengan logika sederhana mereka, melihatnya sebagai sasaran empuk. Mereka bermain perang-perangan dengan teriakan riuh dan pedang ranting, sebuah permainan yang bagi pikiran Adhyasta di dalam diri Riqantra adalah sebuah simulasi taktis yang penuh dengan kesalahan fatal. Ia tidak ikut bermain, bukan karena sombong, tapi karena baginya itu bukanlah permainan.

"Lihat si aneh itu," ejek salah satu anak yang lebih besar suatu sore, saat Riqantra hanya duduk mengamati mereka dari kejauhan. "Dia lebih suka bicara dengan batu daripada dengan kita."

Riqantra tidak mempedulikannya. Dunianya adalah dunia naskah kuno, latihan Prana yang melelahkan, dan mimpi untuk membangun kembali kehormatan ayahnya. Ia tidak merasa butuh teman. Atau begitulah yang ia pikirkan.

Suatu sore yang cerah, saat Riqantra sedang berlatih kuda-kuda pedang di ceruk rahasianya, ia mendengar suara keributan dari arah sungai. Bukan suara anak-anak yang bermain, melainkan suara yang diwarnai ketakutan dan kesombongan. Instingnya menyuruhnya untuk tidak ikut campur, tetapi kebenciannya pada penindasan—sebuah bara api yang tersisa dari kehidupannya yang dulu—mendorongnya untuk mengintip dari balik semak-semak.

Di tepi sungai, ia melihat tiga anak laki-laki yang lebih besar dan bertubuh gempal sedang mengelilingi dua anak lain. Salah satunya adalah Rakis, anak seorang petani yang terkenal paling kuat di antara anak-anak seusianya. Namun, saat ini ia tampak kewalahan. Di belakangnya, seorang gadis kecil yang merupakan adiknya, Santara, memegangi sekeranjang buah huni liar yang baru ia petik, wajahnya pucat karena takut.

"Berikan buah itu, Santara! Atau kakakmu yang bodoh ini akan kami dorong ke sungai!" gertak pemimpin perundung itu, anak dari salah satu centeng Lurah Karta.

"Jangan! Aku yang memanjat pohonnya!" balas Rakis dengan berani, meskipun tubuhnya sedikit gemetar. Ia memasang badan di depan adiknya, siap menerima pukulan. "Kalau mau, lawan aku dulu!"

Riqantra mengamati situasi itu dengan dingin. Analisisnya berjalan cepat. Tiga lawan satu. Rakis kalah jumlah dan ukuran. Pertarungan fisik adalah pilihan bodoh. Ia tidak bisa keluar dan ikut berkelahi; tubuhnya yang kurus tidak akan ada gunanya. Ia juga tidak bisa menggunakan sihir secara terang-terangan. Sihirnya masih lemah, dan itu akan membongkar rahasianya. Aku harus menggunakan aset terbesarku, pikirnya. Otakku.

Pandangannya menyapu sekeliling, memetakan medan pertempuran layaknya seorang jenderal. Sungai di satu sisi, semak belukar di sisi lain, dan sebuah pohon tua yang menjulur di atas para perundung itu. Di atas dahan pohon itu, ada sebuah sarang tawon tanah yang cukup besar. Sebuah ide licik terbentuk di benaknya. Itu berisiko, tapi cepat dan efektif. Target: dahan, bukan sarang. Pemicu: getaran. Hasil: kekacauan.

Riqantra memungut sebuah kerikil pipih. Ia menutup matanya sejenak, merasakan aliran Prana hangat yang kini sudah lebih bisa ia kendalikan. Ia menyalurkan energi itu ke lengannya, bukan untuk kekuatan yang besar, tapi untuk akurasi yang sempurna, menstabilkan setiap otot kecil dari bahu hingga ujung jarinya. Dengan satu gerakan cepat dan terlatih, ia melemparkan kerikil itu.

Kerikil itu melesat tanpa suara, tidak mengenai sarangnya langsung—itu terlalu berbahaya—tetapi menghantam dahan tempat sarang itu bertengger dengan bunyi "TAK!" yang keras dan tajam.

Hening sesaat.

Lalu, "NGUUUNGGG!!!"

Puluhan tawon tanah yang marah berdengung keluar dari sarang mereka seperti pasukan kavaleri bersayap. Tiga anak perundung itu membeku sesaat, lalu wajah mereka berubah panik saat melihat awan serangga yang mengamuk itu menuju ke arah mereka.

"TAWON! LARI!" teriak pemimpin mereka.

Mereka lari lintang-pukang sambil berteriak-teriak, beberapa di antaranya sudah disengat di lengan dan leher. Dalam sekejap, tepi sungai itu kembali tenang, hanya menyisakan dengungan samar tawon yang mulai kembali ke sarangnya.

Rakis dan Santara menatap kepergian para perundung itu dengan mulut ternganga, lalu pandangan mereka beralih ke arah semak-semak tempat Riqantra berdiri dengan wajah datar, seolah tidak terjadi apa-apa.

Rakis adalah yang pertama menghampiri, matanya berbinar kagum. "Wah, hebat! Itu tadi kau yang melempar, kan? Lemparanmu jitu sekali! Seperti prajurit sungguhan!" katanya dengan antusias, rasa takutnya sudah hilang digantikan oleh kekaguman yang tulus.

Riqantra hanya mengangkat bahu. "Hanya kebetulan," jawabnya singkat.

Santara mendekat dengan langkah lebih pelan. Ia menatap Riqantra dengan matanya yang besar dan jernih, mengamatinya dengan cara yang berbeda. "Terima kasih," bisiknya lembut. "Kamu... tidak seperti anak-anak lain. Kamu tidak menertawakan kami."

Gadis kecil itu lalu maju selangkah, mengambil buah huni paling besar dan paling merah dari keranjangnya, dan menyodorkannya pada Riqantra. "Ini untukmu."

Riqantra menatap buah di tangan Santara, lalu menatap wajah tulus gadis itu dan kakaknya yang tersenyum lebar. Untuk pertama kalinya di kehidupan ini, ia merasakan sesuatu yang asing: sebuah koneksi pertemanan yang murni, tanpa pamrih. Ia ragu sejenak, lalu menerima buah itu. Rasa manisnya yang sedikit asam terasa nyata di lidahnya.

Sejak hari itu, sebuah trio aneh terbentuk di Desa Wanakerta. Rakis, dengan tubuhnya yang kuat, menjadi "pengawal" tidak resmi Riqantra, memastikan tidak ada lagi yang mengganggunya. Santara, dengan sifatnya yang lembut dan pengetahuannya tentang tanaman, menjadi teman bicaranya saat ia bosan dengan buku. Dan Riqantra, dengan otaknya yang tajam, menjadi ahli strategi dalam permainan masa kecil mereka.

Di dalam dunianya yang tadinya sepi, kini telah hadir dua orang sahabat. Dan sumpahnya untuk menjadi kuat kini memiliki alasan baru. Ia tidak hanya berjuang untuk keluarganya, tapi juga untuk mereka yang memilih untuk berdiri di sisinya.