Mentari pagi di bulan Jayasura bersinar hangat, menjanjikan hari yang cerah untuk bekerja. Di depan gubuk mereka yang sederhana, Riqantra membantu ayahnya mengangkat beberapa karung berisi ubi dan jagung ke atas gerobak kayu yang sudah tua. Hari ini Sudarma akan pergi ke pasar di desa tetangga, sebuah perjalanan yang ia lakukan untuk menjual sebagian kecil hasil ladang mereka demi membeli kebutuhan lain seperti garam dan minyak. Semangat telah kembali ke mata Sudarma, gairah hidup yang sempat padam kini menyala kembali berkat kehadiran putra dan istrinya.
"Ayah berangkat dulu, Nak," kata Sudarma, mengusap kepala Riqantra dengan tangannya yang kapalan. "Jaga Ibumu baik-baik."
"Hati-hati di jalan, Kangmas," sahut Swarna dari ambang pintu, menyerahkan bungkusan bekal berisi nasi dan lauk seadanya. Ada senyum tulus di wajahnya melihat suaminya telah kembali menjadi dirinya yang dulu.
Riqantra mengangguk pada ayahnya. "Iya, Ayah." Untuk sesaat, ia merasakan firasat aneh yang dingin, sebuah getaran samar di dalam Prana-nya yang membuatnya ingin menahan ayahnya pergi. Namun, ia menepisnya sebagai perasaan konyol. Ini adalah hari yang normal.
Mereka melihat sosok Sudarma menarik gerobak kayunya yang berderit, berjalan menjauh hingga hilang di tikungan jalan setapak. Suasana damai kembali menyelimuti Wanakerta. Riqantra menghabiskan paginya seperti biasa, membantu ibunya, lalu menyelinap ke hutan untuk berlatih kuda-kuda dan pernapasan Prana hingga tubuhnya terasa lelah. Itu adalah sebuah hari yang normal, sebuah kepingan kehidupan damai yang ia syukuri dalam hati.
Justru karena terlalu normal, tidak ada yang siap saat neraka datang mengetuk pintu.
Keributan itu dimulai dari arah timur desa. Awalnya hanya teriakan samar, namun dengan cepat berubah menjadi jeritan panik yang memilukan. Gong di pos ronda dipukul bertalu-talu dengan irama kacau—tanda bahaya—yang kemudian hening seketika, digantikan oleh suara kayu yang patah. Anjing-anjing desa yang biasanya menyalak garang kini melolong kesakitan, suaranya terputus tiba-tiba. Asap hitam tipis mulai membubung dari beberapa atap rumbia.
"Riqan, cepat masuk!" Suara Swarna terdengar tajam, nada tenangnya hilang digantikan oleh urgensi yang menakutkan. Ia menarik lengan putranya, membawanya masuk ke dalam gubuk dan segera mengganjal pintu kayu mereka yang rapuh dengan sebuah lemari kecil.
"Ibu, ada apa?" tanya Riqantra, meskipun pikirannya yang dewasa sudah tahu jawabannya.
Wajah Swarna pucat pasi. Ia memeluk Riqantra erat, tubuhnya sedikit gemetar. "Bandit..." desisnya. "Jangan bersuara, Nak. Apapun yang terjadi, tetap di belakang Ibu."
Dari celah dinding bambu, Riqantra bisa melihat para perampok—pria-pria berpakaian compang-camping dengan parang dan golok berkarat di tangan mereka—bergerak buas. Mereka menendang pintu, menjarah lumbung, dan tertawa terbahak-bahak saat melihat penduduk desa lari ketakutan. Mereka tidak banyak, mungkin hanya belasan, tapi cukup untuk melumpuhkan sebuah desa kecil yang tidak memiliki penjaga.
Jantung Riqantra berdebar kencang, campuran antara takut dan amarah yang dingin. Lalu, mimpi terburuknya menjadi kenyataan.
BRAKK!
Pintu gubuk mereka ditendang hingga hancur berkeping-keping. Tiga orang bandit menerobos masuk. Mata mereka yang buas langsung menyapu isi gubuk yang sederhana. Melihat tidak ada barang berharga, wajah mereka berubah kejam.
"Sial! Gubuk orang miskin!" gerutu salah satunya. Matanya lalu tertuju pada Swarna yang memeluk Riqantra dengan protektif di sudut ruangan. "Hei, perempuan! Di mana kalian simpan hasil panen kalian?!"
Satu bandit melangkah maju dan mencengkeram lengan Swarna dengan kasar.
Saat itulah, sesuatu di dalam diri Riqantra pecah. Janjinya pada ibunya—"Riqan yang akan menjaga Ibu"\—bergema di kepalanya seperti lonceng perang. Rasa takutnya lenyap, digantikan oleh fokus yang dingin dan setajam pisau. Ia tidak akan diam saja. Tidak akan lagi. Target pertama: tangan yang memegang Ibu. Elemen kejutan. Buat kekacauan.
Dengan sebuah teriakan yang melengking, ia menerjang maju dan menggigit tangan bandit yang mencengkeram ibunya sekuat yang ia bisa, menancapkan gigi-gigi kecilnya dengan segenap kekuatan.
"Argh! Anak setan!" Bandit itu mengayunkan tangannya, melempar Riqantra hingga menabrak dinding.
Sakit menjalari punggungnya, tapi Riqantra bangkit lagi. Target kedua: pengalih perhatian. Ia memusatkan Prana-nya yang sedikit itu ke ujung jarinya. "Cahaya!" perintahnya dalam hati. Sebuah kilatan cahaya kecil yang menyilaukan meletup di depan wajah bandit kedua, membuatnya terkejut dan memicingkan mata sesaat.
Mengambil kesempatan itu, Riqantra meraih sebuah kayu bakar di dekat tungku. Target ketiga: titik lemah. Ia menerjang maju, meniru gerakan menusuk dari buku pedang yang ia pelajari, mengarahkannya ke lutut bandit ketiga. Serangannya terlalu lemah untuk melukai, tapi cukup mengejutkan.
Itu adalah strategi yang cerdas, dieksekusi dengan kecepatan yang mengejutkan dari seorang anak berusia tujuh tahun. Tapi itu tidak cukup.
Pemimpin mereka, yang tangannya masih terasa sakit karena gigitan Riqantra, menatapnya dengan mata merah penuh amarah. "Kau mau bermain jadi pahlawan, hah? Biar kuberi pelajaran!"
Ia bergerak maju dengan cepat dan menendang perut Riqantra. Seluruh udara di paru-parunya keluar. Rasa sakit yang menyiksa membuatnya terkapar di lantai, tak bisa bergerak. Aliran Prana-nya kacau balau. Ia telah gagal. Ia telah berlatih, ia telah bersiap, tapi tubuh kecilnya, kekuatannya yang belum matang, sama sekali bukan tandingan orang dewasa yang kejam.
Ia hanya bisa menatap ngeri saat bandit itu mengangkat parang karatannya tinggi-tinggi, seringai kejam menghiasi wajahnya. "Selamat tinggal, pahlawan cilik."
Parang itu terayun ke bawah, mengarah lurus ke lehernya. Waktu seolah berhenti. Dalam sepersekian detik yang terasa seperti keabadian itu, Riqantra melihat kilatan cahaya pada mata pisau yang kotor, mencium bau anyir darah dari senjata itu.
Saat itulah, ia melihat sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari kilat.
Swarna.
Dengan teriakan yang bukan lagi milik manusia, melainkan raungan seekor induk singa yang putus asa melihat anaknya dalam bahaya, ia menerjang maju. Ia tidak membawa senjata, tidak punya kekuatan sihir. Ia hanya membawa tubuhnya sendiri.
Dan ia meletakkannya di antara parang yang turun dan putra satu-satunya.
Riqantra hanya bisa menatap ngeri pada punggung ibunya yang menjadi perisai hidup baginya, dan kilatan parang karatan yang turun tanpa ampun.