Waktu seolah membeku pada sepersekian detik yang abadi itu. Mata Riqantra terpaku pada punggung ibunya, sebuah perisai rapuh yang dengan gagah berani menghalangi jalan bagi sebilah parang karatan.
Tidak ada suara denting logam. Yang terdengar adalah bunyi gedebuk yang tumpul dan mengerikan, suara daging dan tulang yang dipaksa menyerah oleh baja tumpul. Diikuti oleh desah napas kesakitan yang tertahan dari bibir Swarna. Tubuhnya bergetar hebat saat parang itu menancap dalam di bahu belakangnya. Darah segar berwarna merah gelap seketika merembes, menodai kain bajunya yang sederhana dengan cepat, menciptakan sebuah lukisan mengerikan di atas kanvas cinta seorang ibu.
Pemimpin bandit itu sendiri tampak terkejut. Matanya membelalak, tidak menyangka akan ada seorang wanita tak bersenjata yang nekat menerjang maju. Niatnya mungkin hanya untuk menakut-nakuti atau melukai si bocah, tapi kini tangannya berlumuran darah seorang ibu. Di matanya yang kejam, terbersit kepanikan. Membunuh seorang pria saat merampok adalah satu hal, membantai seorang wanita yang tak berdaya adalah hal lain yang bisa mendatangkan kemarahan yang jauh lebih besar.
"Sial!" umpatnya, menarik senjatanya dengan kasar. "Ayo pergi dari sini! Cepat!"
Tanpa berpikir dua kali, ia dan kedua rekannya berbalik, menyambar beberapa barang tak berharga yang bisa mereka raih, dan lari keluar dari gubuk itu, menghilang di tengah kekacauan desa yang masih berlangsung.
Kini, yang tersisa di dalam gubuk hanyalah keheningan. Keheningan yang dipecah oleh suara napas Swarna yang terengah-engah dan berat, diselingi oleh bunyi tetesan darah yang jatuh ke lantai tanah.
Tubuh Swarna melorot tanpa tenaga, jatuh berlutut sebelum akhirnya tersungkur di samping Riqantra. Mata Riqantra yang tadinya membeku kini dipenuhi oleh kengerian absolut. Semua analisis, semua strategi, semua pengetahuan dari dua kehidupannya lenyap seketika. Pikiran Adhyasta yang dingin mencoba menganalisis—luka di punggung atas, arteri subklavia kemungkinan terpotong, pendarahan masif, tidak ada cara untuk menghentikannya—namun logika itu hancur berkeping-keping oleh gelombang panik dan duka dari hati seorang anak. Yang tersisa hanyalah Riqantra, seorang bocah yang melihat ibunya sekarat.
"Ibu... Ibu!" panggilnya, suaranya parau dan bergetar.
Ia merangkak mendekat, tangan mungilnya yang gemetar mencoba menekan luka di punggung ibunya, mencoba menghentikan aliran darah yang tak mau berhenti. Tapi usahanya sia-sia. Darah hangat itu terus mengalir di sela-sela jarinya, membasahi tangannya, membasahi lantai tanah di bawah mereka.
"Ibu, jangan... jangan tinggalkan Riqan," isaknya, air mata panas akhirnya membanjiri wajahnya, menciptakan jalur bersih di pipinya yang kotor.
Swarna, dengan sisa-sisa tenaga terakhirnya, berhasil membalikkan sedikit tubuhnya. Ia menatap putranya, dan di tengah rasa sakit yang luar biasa, ia berhasil tersenyum. Senyum yang sama seperti saat ia merawat luka goresan Riqantra, senyum yang penuh dengan cinta tanpa syarat.
Dengan usaha yang luar biasa, ia mengangkat tangannya yang berlumuran darahnya sendiri dan dengan lembut mengusap air mata di pipi Riqantra. Sentuhannya terasa lemah dan semakin dingin.
"Riqan... jagoan Ibu..." bisiknya, napasnya tersengal. Setiap kata adalah sebuah perjuangan. "...Tidak... apa-apa... Ibu tidak... sakit..."
Ia terus berbicara, menggunakan setiap detik terakhirnya untuk menenangkan putranya. "Jadilah... anak yang kuat... dan baik..." Matanya mulai kehilangan cahayanya, namun tatapannya masih terpaku pada wajah Riqantra, seolah ingin mengukir citra itu selamanya. "Ja-jaga... Ayahmu..."
Dan kemudian, ia mengucapkan kata terakhirnya. Sebuah perintah suci. Sebuah permohonan terakhir dari seorang ibu.
"Hiduplah..."
Setelah kata itu terucap, kekuatan terakhir meninggalkan tubuhnya. Tangannya yang hangat terkulai lemas dari wajah Riqantra. Matanya yang teduh menatap kosong ke atap rumbia, cahayanya telah padam selamanya.
Riqantra terpaku. Ia tidak berteriak. Ia tidak meraung. Sebagian dari dirinya seolah ikut mati bersama hembusan napas terakhir ibunya. Ia hanya duduk di sana, di lantai tanah yang dingin, sambil memegangi tangan ibunya yang mulai mendingin. Bau anyir darah dan keheningan yang memekakkan telinga menjadi satu-satunya realitas di dunianya.
Waktu kehilangan artinya. Suara-suara dari luar desa perlahan berubah, dari jeritan panik menjadi tangisan duka yang menyayat hati. Serangan itu telah berakhir, menyisakan luka dan kematian di seluruh Wanakerta.
Pintu gubuk mereka yang hancur membuat bayangan panjang di dalam ruangan. Dua sosok kecil muncul di sana, berdiri ragu-ragu. Itu adalah Rakis dan Santara. Wajah mereka pucat dan penuh ketakutan.
"Riqan...?" panggil Rakis dengan suara bergetar.
Mereka melihat pemandangan yang mengerikan itu: teman mereka yang pendiam duduk tanpa bergerak di samping tubuh ibunya yang terbaring dalam genangan darah. Santara menutup mulutnya dengan kedua tangan, sebuah isak tangis kecil lolos dari bibirnya.
Riqantra mengangkat kepalanya perlahan. Ia menatap kedua sahabatnya, namun tatapannya kosong. Tidak ada air mata lagi, hanya ada kehampaan yang tak berdasar. Di dalam kehampaan itu, sebuah janji yang patah dan rasa bersalah yang tak terhingga mulai menempa jiwanya menjadi sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih keras, lebih dingin, dan jauh lebih berbahaya.