Chapter 10: Pulang ke Rumah

Matahari mulai condong ke barat, menebarkan warna jingga keemasan di langit Benua Arga. Di jalan setapak yang berkelok-kelok, Sudarma menarik gerobak kayunya dengan langkah yang terasa lebih ringan dari saat ia berangkat pagi tadi. Dagangannya laku keras. Beberapa karung ubi dan jagung berhasil ia tukar dengan keping-keping perunggu yang cukup banyak, ditambah garam, minyak, dan bahkan sebungkus kecil manisan gula aren yang ia beli khusus untuk Swarna dan Riqantra.

Ia tersenyum sendiri, senyum tulus pertama dalam waktu yang lama. Kehidupan mereka perlahan membaik. Sejak Riqantra menunjukkan keajaibannya, seolah ada secercah harapan yang kembali menerangi jalan hidupnya yang dulu gelap. Anaknya adalah sumber kekuatannya. Swarna adalah sumber kehangatannya. Dengan mereka berdua di sisinya, ia merasa bisa menghadapi apa pun. Ia mempercepat langkahnya, tidak sabar untuk segera sampai di rumah, memberikan manisan ini, dan melihat senyum di wajah kedua orang yang paling ia cintai di dunia.

Saat ia semakin dekat dengan Wanakerta, ia merasakan ada yang aneh. Seharusnya ia sudah bisa mendengar suara anak-anak yang bermain atau para wanita yang bercengkerama di sumur. Tapi yang ada hanyalah keheningan yang ganjil dan tidak wajar. Angin sore hanya membawa aroma samar sesuatu yang terbakar. Perasaan tidak enak mulai merayap di hatinya, dingin dan tajam seperti duri.

Langkahnya berubah menjadi lari kecil. Ia meninggalkan gerobaknya begitu saja di pinggir jalan, tidak lagi peduli pada sisa barang dagangannya. Saat ia memasuki gerbang desa, pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya seolah membeku.

Beberapa gubuk hangus terbakar, asap tipis masih mengepul dari atap rumbianya. Barang-barang berserakan di jalanan yang berdebu. Ia melihat beberapa tetangganya menangis tersedu-sedu sambil memeluk kerabat mereka yang terluka. Yang lain hanya duduk menatap kosong, wajah mereka dipenuhi kengerian dan duka. Wanakerta telah dilukai. Wanakerta sedang berduka.

"Swarna... Riqan..." Nama itu keluar dari bibirnya seperti bisikan doa yang putus asa.

Ia berlari, tidak lagi merasakan lelah. Pikirannya kosong, hanya ada satu tujuan: gubuk kecilnya di ujung desa. Ia melewati rumah Rakis dan Santara, melihat orang tua mereka sedang menangis di beranda, memeluk kedua anak mereka yang gemetar. Jantungnya serasa diremas. Tidak... tidak mungkin...

Dan akhirnya, ia tiba.

Pintu gubuknya hancur, terlepas dari engselnya. Lemari kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan piring tergeletak miring. Di tanah, ia melihat jejak-jejak kaki yang kasar dan bercak-bercak darah yang sudah mulai menghitam.

Napasnya tercekat di tenggorokan. Dengan langkah gemetar yang seolah memikul beban seluruh dunia, ia masuk ke dalam.

Di sanalah ia melihat mereka.

Putranya, Riqantra, duduk di lantai tanah yang dingin, punggungnya bersandar ke dinding. Ia duduk diam tanpa bergerak, matanya yang biasanya cerdas kini menatap kosong ke depan, tidak melihat apa-apa. Di sampingnya, terbaring sosok yang paling ia kasihi.

Swarna.

Sudarma terpaku. Waktunya berhenti. Ia melihat gaun sederhana istrinya yang ternoda oleh warna merah gelap yang mengerikan. Ia melihat wajah istrinya yang pucat dan damai, seolah hanya tertidur. Ia melihat tangan kecil Riqantra yang masih memegangi jemari istrinya yang sudah dingin.

"Tidak..." bisiknya. Ini tidak mungkin. Ini hanya mimpi buruk. "Swarna...?"

Ia melangkah maju, kakinya terasa seperti terbuat dari timah. Ia berlutut di samping istrinya, tangannya yang gemetar terulur untuk menyentuh pipi Swarna.

Dingin. Sedingin batu nisan.

Realitas menghantamnya seperti gelombang tsunami, menenggelamkannya dalam lautan kepedihan yang tak berdasar. Dunianya, harapannya, cahayanya—semuanya telah direnggut dalam satu sore yang singkat.

Ia menunduk, memeluk tubuh istrinya yang tak lagi bernyawa. Awalnya tidak ada suara, hanya getaran hebat yang mengguncang seluruh tubuhnya. Lalu, dari dasar jiwanya yang hancur, keluarlah sebuah raungan. Bukan tangisan, bukan teriakan, tapi raungan primal seekor binatang yang terluka parah. Raungan yang penuh dengan rasa sakit, amarah, dan keputusasaan yang tak terhingga, menggema di seluruh Wanakerta yang berduka.

Setelah luapan emosi yang menghancurkan itu, ia akhirnya menoleh pada putranya. Ia melihat mata Riqantra yang kosong, tatapan seorang anak yang telah melihat neraka dan membeku di sana. Ia menarik Riqantra ke dalam pelukannya yang erat. Tubuh kecil itu kaku, tidak merespon, dingin seperti ibunya.

"Apa yang terjadi, Nak? Siapa... siapa yang melakukan ini?" tanya Sudarma dengan suara serak, sebuah pertanyaan yang lebih ditujukan pada takdir yang kejam daripada pada anaknya.

Riqantra tidak menjawab. Ia tidak bisa. Mulutnya terkunci oleh trauma, pikirannya membeku oleh rasa bersalah yang menusuk.

Di gubuk yang hancur itu, di bawah selimut malam yang turun tanpa peduli, dua orang yang selamat duduk dalam keheningan. Satu jiwa hancur oleh duka, dan yang satu lagi membeku oleh rasa bersalah. Keluarga kecil yang penuh harapan itu telah tiada, yang tersisa hanyalah puing-puingnya yang berserakan. Dan di dalam hati Sudarma, benih kebencian pada dunia yang kejam ini mulai ditanam, siap tumbuh menjadi pohon beracun yang akan menggelapkan jalannya di masa depan.