pekerjaan acak-3

Kelopak mata Nathan perlahan-lahan terbuka, seperti seseorang yang terbangun dari mimpi buruk yang nyata. Cahaya hampir tidak ada, hanya sedikit pantulan samar dari dinding lembab yang nyaris tertutup oleh jamur dan debu. Aroma ruangan begitu pengap, mencampur antara bau tanah basah, kayu lapuk, dan sesuatu yang seperti... daging busuk. Pandangan Nathan masih kabur, tapi ia sadar satu hal — ia tidak bebas.

Tangan dan kakinya diikat erat pada kursi kayu dengan tali tambang kasar yang membuat kulitnya terasa perih setiap kali ia bergerak. Kepalanya berdenyut, sisa pukulan keras yang ia terima sebelumnya masih terasa menggantung di pelipisnya.

“Di mana aku?” gumam Nathan dengan suara serak, nyaris tak terdengar.

Ia mencoba bangkit, namun tali itu mencekik gerakannya, menciptakan rasa sesak dan luka gores di pergelangan. Ia mendesis kesal.

“Sialan…” umpatnya lirih, mencoba mengatur napas dan mengumpulkan ingatan.

Yang ia ingat, ia hanya mengantarkan makanan… lalu jeritan… lalu wanita itu… lalu… gelap.

Tiba-tiba, terdengar suara engsel berdecit. Pintu kayu yang memisahkan ruangan itu dari dunia luar perlahan terbuka. Sosok wanita muda itu muncul—wanita yang sebelumnya ia tolong. Ia berdiri di ambang pintu, sorotan lampu dari luar ruangan memantulkan cahaya samar di wajahnya.

Di balik wajah cantik itu, ada sesuatu yang tak wajar. Senyum kecil yang tidak menunjukkan kehangatan—lebih mirip seringai dingin dan aneh yang menggeliat di sudut bibirnya.

“Maaf kalau sebelumnya aku merepotkan,” katanya datar, dengan nada yang begitu tenang hingga terdengar mengancam. “Tapi sekarang ini adalah kesalahanmu… karena terlalu mudah percaya dan mau menolongku.”

Tangan wanita itu bergerak perlahan ke arah saku bajunya. Dari sana, ia menarik sebuah pisau kecil yang pantulannya berkilat dalam gelap. Nathan menatapnya, alisnya berkerut dalam ketegangan dan ketidakpastian. Segalanya menjadi jelas. Dialah perampok itu.

Wanita itu tidak mendekat. Ia hanya berdiri di ambang pintu, lalu berkata, “Terima kasih karena sudah mengunjungi rumahku. Tidak ada satu pun orang yang pernah datang ke sini. Kalaupun ada… mereka hanya orang-orang yang terlalu lembut kepadaku.”

Ia menarik napas perlahan.

“Dan kamu adalah salah satunya. Kamu bahkan rela menolongku dari perampok… padahal tak ada satu pun perampok yang masuk ke rumah ini.”

Tanpa menunggu tanggapan, wanita itu membanting pintu dengan keras. Suara pintu menutup menggema dan menghilang, menyisakan keheningan yang lebih mencekam dari sebelumnya.

Nathan mendongakkan kepala. Tatapannya menyapu seluruh ruangan sempit itu. Ia mulai terbiasa dengan kegelapan. Namun saat matanya fokus pada sisi kanan ruangan… jantungnya seakan berhenti.

Sebuah kursi tua, tepat seperti yang ia duduki. Dan di atasnya, sesuatu yang dulu adalah manusia. Tengkorak kepala masih utuh, tali yang mengikatnya pun masih melingkar erat di tulang lengan dan kaki.

Wajah Nathan seketika memucat. Tenggorokannya tercekat. Kepalanya menunduk, napasnya menjadi cepat. Ia paham satu hal: ia bukan yang pertama. Dan mungkin… tak akan jadi yang terakhir.

Namun Nathan bukan orang yang mudah menyerah. Meskipun tubuhnya lelah dan pikirannya kalut, ia mulai menggoyangkan tubuhnya. Ia menyandarkan kekuatan ke satu sisi, membuat kursi sedikit bergoyang. Di tengah tekanan itu, ia mulai merasakan ada bagian tali yang sedikit longgar.

Butuh beberapa menit dan rasa sakit, tapi akhirnya… klek. Tali itu berhasil diloloskan dari satu pergelangan tangan. Nathan segera membebaskan tangan lainnya, lalu kakinya. Ia berdiri perlahan, tubuhnya gemetar, tapi ia menahan rasa takut itu. Matanya menatap pintu, dan ia mulai berjalan pelan, berhati-hati untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun.

Saat ia membuka pintu perlahan, aroma anyir langsung menyambut. Ia melangkah keluar dari ruangan gelap itu dan masuk ke lorong rumah. Di lantai kayu yang berderit, Nathan melihat bercak darah kecil yang belum mengering. Warnanya merah tua, menetes seperti bekas tarikan pisau.

“Gawat… wanita ini bawa senjata,” pikir Nathan dalam hati. “Aku harus hati-hati.”

Langkahnya semakin pelan. Tubuhnya mendekap ke dinding. Ia berusaha mengatur napas sedemikian rupa agar tak terdengar. Namun tiba-tiba—

Gubrak!

Sebuah vas bunga besar jatuh dari atas pintu ruangan dan nyaris menghantam kepalanya. Namun dengan refleks luar biasa, Nathan menendangnya ke samping.

Brakkk!

Vas itu pecah, pecahannya memantul ke lantai, namun tubuh Nathan tetap utuh.

Ia tertegun. “Bagaimana bisa… aku secepat itu?”

Ia sendiri tidak paham. Ia hanya pemuda biasa. Beberapa waktu lalu ia bahkan pingsan di jalan saat berada di Ohio dan bangun di rumah sakit, tak tahu sebabnya. Ia hanya ingat satu mimpi: sebuah ledakan sinar gamma, dan sesuatu yang masuk ke kepalanya.

Waktu SMA pun IQ-nya hanya 90—biasa saja.

Namun sekarang… ia seperti punya kecepatan dan naluri yang bukan miliknya.

Ia menepis semua pikiran itu. Sekarang bukan waktunya. Ia masih harus menyelesaikan 16 orderan lain, dan untuk itu… ia harus keluar hidup-hidup.

Tiba-tiba, dari ujung lorong, terdengar derak lantai. Nathan menoleh cepat.

Sebuah barbel besi—besar dan panjang—terbang ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Tubuh Nathan melompat ke samping, menghindar dengan selisih sangat tipis. Ia mendarat di lantai, lalu langsung berdiri.

Di seberang lorong, wanita itu berdiri. Nafasnya teratur, tenang. Di tangannya… barbel yang sama kini ia angkat kembali dengan satu tangan, seolah itu hanya besi mainan. Wajahnya dingin, matanya kosong.

Nathan membeku. Ia sadar—wanita itu bukan manusia biasa. Tidak mungkin seseorang bisa sekuat itu.

Lalu matanya menangkap sesuatu. Di lantai, tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah pistol. Pistol yang dulu ia ambil… kini kembali jatuh di sana.

Tanpa ragu, Nathan meluncur. Tangannya meraih senjata itu dengan cepat. Dalam satu gerakan refleks, ia membidik.

DOR!

Suara tembakan memecah rumah yang sepi.

Tubuh wanita itu ambruk, jatuh ke lantai, tak bergerak. Barbel terlepas dari tangannya, menghantam lantai dengan bunyi dentuman berat.

Nathan terdiam sejenak. Napasnya memburu. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Ia tetap menatap tubuh itu selama beberapa detik, memastikan semuanya telah selesai.

Lalu, dengan langkah perlahan, ia membuka pintu utama rumah—yang rupanya terkunci dari dalam—dan melangkah keluar. Udara sore menyambut wajahnya. Gang sempit itu kini terasa lebih lapang.

Ia berjalan ke motornya yang masih terparkir di tempat semula. Kotak pesanan masih tertempel di bagian belakang. Nathan naik ke atas motor, menyalakan mesin.

Dengan suara mesin yang pelan namun pasti, ia melaju ke depan.

Masih ada 16 orderan lagi menunggu.

Bersambung....