Motor pengantar berlogo McDonald’s itu berhenti perlahan di depan sebuah rumah kecil yang tampak usang dan tak terawat. Rumah itu berdiri di tengah gang sempit bernama Gang Nomor 8. Dindingnya terlihat kusam, cat mengelupas di beberapa bagian, dan atap sengnya tampak miring seperti hendak roboh. Lingkungan di sekitar rumah itu juga sepi, tak banyak aktivitas, hanya suara angin yang menerbangkan dedaunan kering.
Nathan mematikan mesin motor, menurunkan standar, dan turun dengan lelah. Tangannya meraih kotak pesanan dari bagian belakang motor. Kotak itu sedikit berat, namun ia memeluknya dengan satu tangan dan tangan lainnya diletakkan di saku celananya.
“Gang nomor 8 ya…” gumamnya pelan, hampir seperti bicara kepada dirinya sendiri.
Langkah Nathan lambat tapi pasti, menyusuri paving block yang retak-retak hingga akhirnya ia tiba di depan pintu rumah. Pintu kayu itu terlihat lapuk, dan gagangnya tampak berkarat. Ia mengangkat tangannya dan mengetuk perlahan.
Tok. Tok. Tok.
Tak ada jawaban. Hanya keheningan.
“Pesanan sudah sampai, mohon keluar dan diambil,” katanya dengan suara agak lantang sambil mengetuk pintu kembali. Kali ini lebih keras. Suara ketukannya menggema di gang yang sepi.
Tok. Tok. Tok. Tok.
Masih tak ada yang menyahut. Tidak ada langkah kaki mendekat, tidak juga suara dari dalam rumah. Wajah Nathan mulai menunjukkan tanda-tanda kesal. Ia menarik napas, matanya memandang ke kiri dan kanan, berharap seseorang muncul dari balik tirai atau jendela rumah lain. Tapi tidak ada.
Kesabarannya mulai habis. Ia memalingkan wajahnya, bersiap kembali ke motornya, mungkin akan melaporkan bahwa pesanan tidak diambil.
Namun tiba-tiba…
“Aaaarrgghhh!!!”
Terdengar sebuah jeritan nyaring dari dalam rumah. Jeritan wanita. Teriakan itu memecah kesunyian sore hari, terdengar sangat jelas dan mengguncang seluruh tubuh Nathan. Ia membeku sejenak. Nadanya terdengar seperti seseorang yang sedang disiksa atau dalam kesakitan yang luar biasa.
Tanpa pikir panjang, Nathan berbalik arah dan langsung menghampiri pintu. Dengan gerakan spontan, ia mengangkat kakinya dan menendang pintu kayu itu sekuat tenaga.
DUAKK!
Tendangan keras itu menghasilkan bunyi keras, namun pintu sama sekali tak bergerak. Bahkan tidak bergoyang. Masih tertutup rapat, seolah terkunci dari dalam.
“Persetan,” Nathan mengumpat dalam hati. Ia tahu ini darurat, dan ia harus berpikir cepat. Otaknya bekerja cepat mencari cara untuk masuk.
Saat ia melangkah mundur dan menatap ke sekeliling rumah, tiba-tiba sebuah dorongan kuat seperti gelombang informasi mengalir ke dalam pikirannya. Entah dari mana datangnya, seperti ada data yang membanjiri otaknya dalam sekejap. Nathan menutup matanya sejenak, lalu membukanya. Tatapannya tajam. Ia segera mengitari sisi rumah, mencari celah.
Ia menemukan sebuah jendela di sisi kanan rumah. Jendela itu ditutup rapat dengan kaca tipis yang sudah berdebu, tampaknya sudah lama tidak dibersihkan. Ia mencoba membuka jendela itu, tapi terkunci dari dalam.
Nathan menoleh ke sekitar. Ia mencari sesuatu—apa saja—yang bisa digunakan untuk memecahkan kaca. Ia melihat ke taman kecil di samping rumah, namun hanya ada rerumputan liar dan plastik-plastik bekas. Tidak ada batu. Tidak ada alat.
Ia berlari sedikit ke arah semak-semak di pinggir gang. Pandangannya menyapu cepat, hingga matanya menangkap sebongkah batu besar tersembunyi di bawah rerimbunan daun kering. Ia berjalan cepat ke sana, lalu menunduk dan mengambil batu tersebut dengan kedua tangannya. Beratnya lumayan, kasar dan dingin.
Dengan satu tarikan napas panjang, Nathan kembali ke jendela. Ia mengangkat batu itu setinggi bahu, lalu menghantamkannya dengan keras ke arah kaca.
BRAKK!
Kaca pecah berhamburan, suara pecahannya seperti ratusan kerikil beterbangan. Potongan kaca jatuh ke lantai rumah dan sebagian tersangkut di bingkai jendela. Nathan mendorong serpihan yang tersisa dengan lengan bajunya agar tidak melukai dirinya.
Ia masuk dengan cepat melalui lubang jendela. Tubuhnya menyusup melewati bingkai, lalu ia mendarat pelan-pelan di dalam rumah. Ruangan itu gelap dan pengap. Bau debu dan kayu lapuk menyeruak ke hidungnya. Ia berjalan dengan membungkuk, berjongkok perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara.
Nathan menyisir pandangan ke sekeliling. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi di dalam rumah ini. Tapi di lantai, ia melihat sesuatu yang membuatnya langsung menajamkan mata.
Sebuah pistol.
Tergeletak begitu saja, menghadap ke langit-langit. Letaknya tidak jauh dari karpet tua di tengah ruang tamu. Nathan melangkah mendekat dan mengambil pistol itu. Pegangannya dingin dan berat. Ia belum pernah menggunakan senjata api sebelumnya, tapi nalurinya berkata untuk bersiap.
Beberapa langkah kemudian, ia melihat seorang wanita muda duduk di kursi. Tangannya terikat ke belakang. Mulutnya dilakban. Rambutnya kusut dan wajahnya dipenuhi ketakutan. Nathan segera menghampirinya dengan cepat namun hati-hati.
Ia meletakkan pistol di meja terdekat, lalu menunduk dan mulai membuka ikatan tali yang melilit tangan wanita itu. Tali itu cukup kuat, namun setelah beberapa saat, Nathan berhasil melepaskannya.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya datar, sambil membantu wanita itu berdiri.
Wanita itu terhuyung sedikit, namun mampu berdiri. Ia mengangguk cepat dan menjawab, “Ya, aku baik-baik saja. Tetapi… tolong… ada seorang perampok masuk ke rumahku. Ia sedang ada di kamarku sekarang.”
Mendengar itu, Nathan mengangguk singkat, lalu mengambil pistol di meja. Kakinya bergerak pelan menuju arah kamar. Langkahnya sangat hati-hati. Ia mendorong pintu kamar, membukanya perlahan.
Namun saat ia masuk… kamar itu kosong.
Tidak ada siapa pun. Ruangan itu gelap. Hanya ada kasur berantakan dan lemari terbuka. Nathan menoleh ke sekeliling. “Hey, di mana pencuri yang kamu—”
BRAKKK!!
Sesuatu menghantam belakang kepalanya dengan keras. Seketika, dunia di depan matanya mulai berputar. Pandangannya mengabur. Pistol yang digenggamnya terlepas dan jatuh ke lantai. Lututnya lemas.
Kesadarannya mulai meredup, seperti cahaya yang perlahan padam.
Lalu, semuanya menjadi gelap.
Bersambung...