Setelah keluar dari rumah sakit, Nathan merogoh saku jaket tipisnya dan mengeluarkan sebuah ponsel tua yang layarnya sedikit retak di pojok kanan atas. Ia menatap layar selama beberapa detik, jari-jarinya sempat gemetar, lalu ia membuka aplikasi taksi online dan memesan kendaraan ke rumahnya. Di layar, ikon mobil mulai bergerak, menandakan pengemudi sedang menuju lokasinya.
Cuaca di luar rumah sakit mendung, langit abu-abu menggantung tanpa harapan akan hujan, tapi cukup untuk menambah suasana muram yang mengelilingi tubuh Nathan. Angin semilir meniup rambutnya yang tipis ke belakang. Tubuhnya terasa berat. Pikiran masih bercampur antara penyangkalan dan kelelahan. Langkah kakinya lambat saat ia menuju trotoar terdekat, menunggu taksi datang.
Beberapa menit kemudian, dari kejauhan tampak sebuah mobil berwarna kuning perlahan mendekat dan berhenti di tepi jalan, tepat di depan Nathan berdiri. Mobil itu tampak biasa saja, catnya sedikit pudar, dan lampunya agak buram karena usia. Di dalam, seorang sopir paruh baya sedang memainkan ponselnya, jemarinya cepat bergerak entah membaca berita, bermain gim, atau mungkin hanya menggulirkan media sosial untuk membunuh waktu.
Nathan menarik napas panjang, membuka pintu bagian belakang, dan masuk ke dalam mobil. Ia duduk di pojok kanan belakang, sandaran kursi menjadi tempat ia menyandarkan tubuh yang seakan kehilangan bobotnya. Sopir itu menoleh sekilas.
“Apakah anda memiliki masalah?” tanyanya datar, suara pelan, seperti pertanyaan basa-basi yang sudah sering ia lontarkan pada penumpang lain.
Nathan menatap kosong ke arah jendela, melihat lalu lintas kota Ohio yang biasa saja. Jalan-jalan kota itu tidak begitu padat, beberapa mobil berlalu lalang di jalan utama. Toko-toko kecil berdiri berderet. Tidak ada yang istimewa. “Tidak ada, lebih baik bawa saya ke gang nomor 7, itulah rumah saya,” ucapnya singkat.
Sopir hanya mengangguk, lalu memutar kunci mobil dan melajukan kendaraan dengan tenang. Mesin menggeram pelan, roda berputar melewati trotoar yang mulai basah karena embun sore. Sepanjang perjalanan, Nathan tidak berbicara sepatah kata pun. Tatapannya kosong. Pikirannya berkelindan.
Dalam benaknya, hanya ada satu hal: pulang dan tidur. Pulang ke rumah kecilnya yang sempit, tempat satu-satunya di mana ia bisa rebah dan tidak memikirkan realitas. Ia teringat percakapan dengan Smith. Tentang diagnosa yang belum pasti. Tentang 80% kerusakan otaknya yang terdeteksi. Tentang kemungkinan kanker otak. Tentang ketidakpastian. Semua itu seperti kabut yang pekat, menyelimuti isi kepalanya dan menyesakkan napasnya.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah kecil di pinggiran gang sempit. Nathan membayar tarif taksi, turun dari mobil, dan berjalan pelan menuju pintu rumah. Tangannya meraih gagang pintu, membukanya dengan kasar, lalu membantingnya. Suara benturan pintu menggema di ruang tamu sempit.
Ia menjatuhkan dirinya di sofa usang berlapis kain biru yang mulai pudar warnanya. Tubuhnya ambruk. Matanya perlahan terpejam. Napasnya berat dan lambat. Kesadaran mulai kabur, pikirannya mulai lepas dari realita.
Di dalam pikirannya, Nathan kembali berada di ambang batas kesadaran dan mimpi. Tubuhnya seperti melayang. Ia berada di ruang hampa yang luas, sunyi, tanpa arah. Lalu pandangannya terbentuk. Ia melihat kilatan cahaya terang menyilaukan, seolah berada di kejadian 16 April 2001, di mana teleskop luar angkasa milik NASA pertama kali menangkap ledakan sinar gamma.
Cahaya itu bukan sekadar terang, tapi membakar langit. Cahaya itu seharusnya melintas dengan kecepatan 299.792.458 meter per detik. Tapi dalam mimpinya, Nathan memperlambatnya menjadi seperti gerakan seekor siput. Perlahan. Ia ingin melihatnya. Memahami arahnya. Merekamnya.
Kilatan itu mengarah ke galaksi. Tubuh Nathan terbawa, melewati bintang-bintang, galaksi spiral, medan magnet antarbintang, dan akhirnya mendekati planet biru: bumi. Ledakan sinar gamma itu melintas satelit, menghantam lapisan luar atmosfer bumi, lalu… berhenti.
Ia melihat cahaya itu diserap, menghilang entah ke mana. Dan entah bagaimana, pandangannya membawa dia ke satu titik di bumi. Di negara bagian Ohio. Di tengah jalan kota. Seorang pemuda berjalan santai. Dia adalah dirinya sendiri.
Nathan menyaksikan tubuhnya sendiri menerima cahaya itu. Sinar menyentuh kepalanya, lalu menyerap ke dalam tengkoraknya, menghilang tanpa jejak. Setelah itu, kulitnya mulai berubah. Mutasi genetik terjadi begitu cepat, perubahan fisik yang tidak wajar—kulit memucat, sel-sel tubuh seperti berubah arah.
Saat itu pula, Nathan—yang bermimpi—merasakan seluruh kejadian itu seperti nyata, padat, terstruktur, logis, dan seolah-olah itulah kenyataan sesungguhnya.
Tiba-tiba, bunyi dering ponsel memecah keheningan. Suara nyaring menusuk gendang telinganya, membawanya kembali ke dunia nyata. Matanya terbuka. Tubuhnya kini terbaring di sofa. Napasnya kembali normal. Entah bagaimana, tubuhnya terasa lebih ringan. Tidak seperti sebelum ia tertidur. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada gejala.
Ia mengangkat ponsel. Nomor asing muncul di layar. Dengan suara malas, ia menyapa, “Siapa ini?”
Sebuah suara serak menjawab, “Apakah anda mau diberikan tugas?”
Nathan diam. Suara itu melanjutkan, “Setiap tugas yang berhasil anda kerjakan akan dibayar 100 dolar. Dan untuk tugas yang lebih berat, anda bisa mendapatkan lebih dari satu juta dolar. Anda berminat?”
Nathan terkejut. Namun instingnya berkata untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan. “Saya bersedia,” jawabnya perlahan tapi mantap.
“Baiklah. Sekarang, pergilah ke sebuah toko McDonald’s. Di sana, anda akan menerima tugasnya.”
Klik. Sambungan telepon terputus. Nathan menggenggam ponselnya erat-erat. Pandangannya kosong. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang bangkit. Entah itu semangat, rasa penasaran, atau hanya ketidakberdayaan yang berubah menjadi keberanian.
Tanpa uang untuk memesan taksi, ia berjalan kaki. Melewati trotoar kota, melewati taman, melewati lampu merah yang mulai menyala.
Empat puluh menit berlalu. Ia sampai di depan sebuah restoran cepat saji: McDonald’s.
Ponselnya kembali berdering. Ia mengangkatnya.
“Sekarang tugas anda: masuk ke McDonald’s dan antarkan minimal 17 orderan. Motor sudah disediakan. Biaya bensin ditanggung.”
Nathan menutup ponselnya. Ia membuka pintu McDonald’s. Udara dingin dari mesin pendingin menyambutnya. Ia berjalan ke meja kasir.
“Saya akan mengantarkan 17 orderan,” ucapnya datar.
Beberapa menit kemudian, ia keluar. Di tangannya, beberapa kotak makanan siap antar. Di luar, sebuah motor dengan kotak pengantar sudah menunggu.
Dan Nathan… mulai menjalankan tugas pertamanya.
Bersambung..