ledakan sinar gamma-3

Nathan, seorang pemuda biasa di negara bagian Ohio, baru saja siuman setelah pingsan secara mendadak di tengah jalan. Dokter yang memeriksanya tak menemukan gejala klinis yang spesifik. Tidak ada tanda-tanda kelelahan ekstrem, tidak pula gejala penyakit akut. Mereka hanya menyimpulkan: tubuh Nathan mengalami fase istirahat paksa—tubuhnya sendiri yang memutuskan untuk memutus kesadaran sementara waktu, tanpa peringatan, tanpa sebab yang jelas.

Namun, saat tubuhnya tidak sadarkan diri, kesadaran Nathan berada dalam suatu keadaan yang aneh—di ambang batas antara langit dan bumi, antara nyata dan tidak nyata, antara kesadaran dan ketiadaan.

Di dalam dimensi itu, seolah tak terbatas jumlah informasi menyusup masuk ke dalam benaknya. Rasanya seperti ada gelombang besar pengetahuan yang merobek ruang dan waktu, lalu membanjiri otaknya tanpa henti. Otaknya berdenyut—bukan karena sakit, tapi karena kapasitasnya seakan sedang diperluas. Ia menerima data yang mustahil dicerna oleh manusia biasa: struktur molekul bintang, lintasan foton di tepi lubang hitam, perputaran quasar, fluktuasi materi gelap, hukum-hukum semesta yang belum pernah ditemukan ilmuwan manapun.

Penglihatannya menembus batas logika. Ia melihat bintang-bintang neutron menyala terang, melihat lapisan-lapisan galaksi seperti melihat gambar dari satelit beresolusi tinggi, tapi dengan pandangan batin yang tidak terbatas oleh lensa atau sinyal. Tidak ada jarak. Tidak ada waktu. Semua bisa dia akses dalam satu kedipan kesadaran.

Pengetahuan yang didapat Nathan meluas, bukan hanya dalam jumlah, tetapi juga dalam struktur pemahamannya. Seolah ia menjadi makhluk dengan daya pikir ribuan kali lipat dari sebelumnya. Ia tidak hanya tahu sesuatu, tetapi mengerti makna dari segalanya secara mendalam dan serentak.

Di dalam dunia itu, semuanya terasa jernih, seolah ia menjadi sesuatu yang maha mengetahui. Ia bahkan tidak lagi melihat alam semesta sebagai tempat yang luas, tetapi sebagai sistem yang bisa ia atur, diedit, dan dimodifikasi sesuka hati. Mimpi itu tidak terasa seperti mimpi. Ia tidak merasa mengambang atau berhalusinasi. Ia merasakan kontrol penuh—dan karena itu, muncul rasa yang belum pernah ia alami sebelumnya: kebebasan mutlak.

Ia mulai bermain-main.

Membentuk ulang multiverse seperti seorang seniman menggambar di atas kanvas. Ia menyusun semesta purba, membentuk ulang semesta masa kini, dan bahkan mendesain semesta masa depan. Semua terasa seperti aplikasi dalam tangannya—dapat dia program, dia reset, dia hancurkan, dia ciptakan ulang.

Ia memperlambat kecepatan cahaya hingga setara dengan kecepatan siput—semata agar bisa menyaksikan momen bintang mati yang kembali bersinar dalam gerakan lambat. Ia menciptakan kebahagiaan, menghancurkan penderitaan, menulis ulang hukum gravitasi, waktu, dan energi seolah mereka hanyalah baris-baris kode.

Namun, jauh di dalam dirinya, Nathan tahu: ini adalah mimpi. Bukan kenyataan. Ini adalah manifestasi kesadarannya yang terlepas dari batas biologis. Imajinasi yang dibangun dalam bentuk kesadaran penuh—mungkin lucid dream, mungkin hanya bias neurologis akibat pingsan. Tapi ia menikmati semuanya. Ia tidak takut. Tidak bingung. Hanya ada rasa senang, rasa lepas, dan kegembiraan murni.

Di saat manusia lain bermimpi aneh saat sakit atau kelelahan, ini adalah pertama kalinya bagi Nathan mengalami mimpi seperti ini—mimpi yang begitu indah, begitu nyata, dan begitu kuat. Baginya, ini bukan mimpi biasa, ini adalah mimpi terbaik yang pernah ia rasakan.

Lalu, suara itu datang.

"Nathan, ini aku. Smith."

Satu suara manusia biasa menyusup ke dalam dimensi maha luas miliknya.

Suara itu pelan, namun cukup kuat untuk mengoyak dunia yang sedang ia bangun.

Kegembiraannya perlahan-lahan pudar. Alam semesta ciptaannya meretak. Rasa damai dalam pikirannya runtuh satu per satu. Ia tahu, ia harus kembali ke kenyataan.

---

Saat membuka matanya, cahaya lampu rumah sakit menyambutnya.

Ia melihat temannya, Smith, berdiri di sisi ranjangnya. Tidak ada rasa senang dalam ekspresinya. Justru terlihat cemas, dan itu membuat Nathan kesal.

"Ada apa? Kenapa aku di rumah sakit?"

Nathan menoleh ke kiri dan kanan, melihat sekeliling—ia terbaring di ruang rawat, tubuhnya terasa berat.

"Dirimu pingsan di jalan. Orang-orang yang melihatmu menelepon ambulans. Mereka membawamu ke sini," jawab Smith singkat.

"Berapa biayanya?" Nathan mengerjap. Pikirannya langsung kembali pada kenyataan paling pahit: biaya rumah sakit. Ia berharap jumlahnya tidak lebih dari 60 dolar.

"Seratus dolar," jawab Smith. "Itu belum termasuk biaya tambahan kalau kau menginap."

Belum sempat kalimat itu selesai, Nathan sudah melompat dari ranjang.

"Eh, kau ngapain?" Smith panik melihat Nathan berdiri dengan gerakan tidak stabil. Mutasi yang terjadi dalam tubuhnya membuat gerakannya lamban dan kaku. Bahkan untuk mengganti pakaian pun ia tampak kesulitan.

"Aku nggak punya asuransi kesehatan. Aku bayar 50 dolar, sisanya kamu yang lunasi," kata Nathan cepat sambil menunduk menyusun celana dan jaketnya.

"Nathan, berhenti bersikap bodoh. Kesehatanmu lebih penting dari uang."

Smith menahannya. Nathan tidak bodoh. Hanya saja, dia bukan orang kaya. Jika ia punya uang, ia akan bayar semua biaya rumah sakit tanpa banyak berpikir. Tapi kenyataan tak semudah itu.

"Lalu... aku sakit apa?"

Nathan mencoba bertanya, berusaha tenang meski nadanya gemetar.

Smith mengeluarkan hasil scan. Sebuah gambar berwarna hitam putih menunjukkan sebuah tonjolan bulat di sisi kiri otak.

"Kanker otak," ucap Smith dengan suara yang bergetar.

"Belum pasti. Tapi dari scan ini, dokter bilang 80% jaringan otakmu mengalami kerusakan."

Nathan diam. Terlalu banyak untuk diproses.

"Berapa lama aku bisa hidup?" tanyanya lirih.

"Tidak ada yang pasti..."

Nathan menatap gambar itu. Pucat. Kosong. Tak bersuara.

Kepalanya menunduk. Pandangannya kosong, mulutnya tak lagi mampu tertawa.

"Anggap saja ini tes."

Ia mencoba tertawa getir, menyembunyikan rasa takut di balik senyuman tipis.

"Baiklah. Aku ingin keluar."

Ia bangkit dari tempat tidur dan mulai berjalan perlahan.

"Smith, bayar 50 persen sisanya. Aku akan lunasi bagian milikku."

Smith hanya menatap Nathan yang pergi dengan langkah lambat, meninggalkan ruangan rumah sakit. Ia tahu Nathan sedang menanggung beban yang lebih besar dari yang bisa ia pikul. Ia hanya seorang pelajar SMA, tidak kuliah karena tak punya biaya. IQ-nya pernah dites hanya 90. Selalu dicap gagal oleh sistem. Tapi entah bagaimana, sekarang… Nathan tidak sama seperti dulu lagi.

Bersambung...