Dalam beberapa jam setelah kejadian tersebut, para ilmuwan dari NASA, Rusia, China, dan beberapa negara besar di Eropa langsung bergerak cepat. Tanpa menunggu waktu lama, mereka membentuk kelompok-kelompok gabungan—tim lintas negara dan disiplin ilmu—untuk meneliti fakta tentang ledakan sinar gamma yang baru saja terjadi. Sebuah fenomena yang belum pernah mereka saksikan secara langsung, dan baru kali ini menghampiri galaksi sendiri dengan jarak yang begitu dekat.
Ruang-ruang pusat kendali di setiap markas besar antariksa di dunia dipenuhi layar data dan rekaman kamera luar angkasa. Para ilmuwan berkumpul dengan wajah-wajah yang masih lelah, mata sembab karena belum tidur, namun fokus mereka tidak goyah. Semua perangkat dipacu, semua program observasi dijalankan ulang, semua rekaman diputar berulang-ulang. Tidak ada satu pun yang ingin kehilangan informasi sekecil apapun.
Langkah pertama mereka adalah mengamati kembali data mentah melalui stasiun luar angkasa milik NASA. Dari sana, mereka mencoba memeriksa kemungkinan bahwa Bima Sakti—atau bahkan planet Bumi—bukan benar-benar berada di jalur langsung ledakan sinar gamma tersebut. Mereka mencoba membantah kemungkinan terburuk. Mungkin, hanya mungkin, lintasan itu bukan mengarah ke kita secara tepat. Mungkin itu hanya lintasan pinggiran. Mungkin hanya efek visual dari jarak yang sangat jauh.
Namun saat data itu dianalisis ulang, apa yang ditunjukkan tidak memberi cukup harapan. Dalam rekaman selama 20 detik terakhir, tampak jelas bahwa seberkas cahaya merembet dengan kecepatan 299.792.458 meter per detik—kecepatan cahaya—dan memenuhi seluruh bidang pandang kamera dengan intensitas yang begitu kuat, hingga gambar nyaris sulit direkam. Seluruh layar monitor terlihat putih menyilaukan, seperti seluruh pikselnya dibakar oleh energi yang tak bisa ditampung oleh sensor kamera biasa.
Ini bukan sebuah ilusi. Ini bukan kesalahan rekaman.
Ini adalah kenyataan.
Kenyataan yang terekam dan tak bisa disangkal.
Di ruang rapat darurat, diskusi mulai memanas.
“Apakah Bima Sakti benar-benar dalam jalurnya?”
“Tidak… tidak mungkin. Dia hanya menyerempet saja…”
Pernyataan itu terdengar gugup. Seolah-olah mencoba meyakinkan diri sendiri, bukan orang lain.
Namun suara lain menyela, nada bicaranya tegas, datar, penuh penekanan.
“Tidak. Anda melihatnya sendiri.
Jalur terakhir dari ledakan sinar gamma ini adalah kutub utara.
Tidak ada sisa radiasi yang tertinggal.
Itu berarti… ledakan sinar gamma menghilang setelah menghadapi kutub utara.”
Beberapa ilmuwan terdiam sejenak, sebelum satu suara muncul dari sudut ruangan:
“Menghilang? Maksud Anda... dilenyapkan oleh Bumi?
Bukankah ledakan sinar gamma itu mampu menghapuskan galaksi?
Bagaimana mungkin sesuatu yang begitu kuat… bisa menghilang ketika sampai ke Bumi?”
Suasana semakin berat. Kening berkerut. Jemari mengetuk meja. Data kembali dibuka, rumus-rumus diputar ulang, simulasi dijalankan kembali.
“Tidak mungkin ini dilenyapkan oleh Bumi,” ujar salah satu ilmuwan.
“Untuk melenyapkan Bumi saja dibutuhkan 5,637 × 10⁴¹ Joule.
Sementara ledakan sinar gamma tadi memiliki 600.897.771^81 Joule.
Energinya tidak sebanding.
Bumi tidak bisa menghentikannya. Itu jelas secara fisika.”
Namun ilmuwan lain mengangkat suara:
“Apakah memang benar seperti itu?
Jika memang seharusnya tak bisa dihentikan,
mengapa Bumi masih ada di sini?
Mengapa kita semua masih hidup?”
Beberapa detik hening.
Lalu seseorang, dengan suara yang pelan namun terdengar jelas di tengah ruang yang penuh tekanan, berkata:
“Mungkin…
Tuhan masih melindungi kita.”
Ucapan itu tidak dibantah.
Tidak satu pun dari mereka menjawab. Tidak ada yang tertawa, tidak ada yang menyanggah. Semua diam.
Di antara layar-layar monitor yang masih memutar ulang data yang tak dapat dijelaskan, para ilmuwan duduk dengan lelah. Beberapa bersandar di kursi. Beberapa hanya menatap ke layar tanpa ekspresi.
Meski belum ada jawaban, rasa syukur perlahan hadir. Mereka menyadari betapa dekatnya mereka dengan kehancuran. Mereka menyadari bahwa seharusnya, secara logika dan perhitungan, semua ini sudah berakhir.
Namun mereka masih di sini. Masih bernafas. Masih berpikir.
Meski seluruh teori astrofisika tak dapat memberi kepastian, mereka tahu satu hal:
Mereka telah selamat dari sesuatu yang seharusnya memusnahkan mereka.
Inilah dia faktanya.
Bahkan para ilmuwan tak dapat menemukan teka-teki ini.
Memang terdengar tidak masuk akal.
Tapi itulah faktanya.
18 April 2001.
Beberapa ilmuwan dari berbagai negara duduk dalam diam di ruang konferensi tertutup. Data yang mereka lihat tak pernah mereka temui sebelumnya—mereka saling pandang, tapi tak satu pun membuka mulut. Apa yang mereka saksikan bukan hanya langka, tapi tak masuk akal. Ada semacam ledakan sinar gamma dari galaksi jauh yang secara teori harusnya menghantam bumi dan menimbulkan efek radiasi ekstrem. Namun, sesaat sebelum mencapai atmosfer, sinar itu… menghilang. Seolah-olah dilahap oleh kekosongan yang tak terlihat.
Para ilmuwan tak bisa menjelaskan ini secara logis. Mereka mengarsipkan seluruh laporan, mengunci data itu dalam protokol rahasia, dan sepakat dalam satu keputusan: tidak mempublikasikan apapun. Mereka tahu, dunia belum siap untuk menerima kenyataan yang tak bisa dijelaskan sains.
Hari yang sama, di sebuah kota kecil di negara bagian Ohio, Amerika Serikat.
Seorang pemuda berjalan sendirian menyusuri trotoar. Tubuhnya tegap, langkahnya ringan. Ia bukan siapa-siapa, hanya pejalan kaki biasa yang melintasi jalan setelah pulang membeli makanan. Tak ada yang aneh, sampai satu detik yang tak terduga itu datang.
Langkahnya tiba-tiba goyah. Kedua lututnya lemas. Matanya kosong. Tubuhnya kehilangan arah dan ia jatuh tersungkur ke tengah jalan aspal. Kepalanya membentur tanah tanpa sempat menahan diri. Beberapa detik kemudian, tubuhnya tak bergerak sama sekali.
Kulit pemuda itu mulai berubah—bukan memucat karena syok biasa—tapi secara cepat berubah warna. Kulitnya menipis dan kehilangan pigmentasi. Seolah ada sesuatu dalam sel-selnya yang bermutasi begitu cepat, seperti sel kanker yang menyebar tapi tanpa luka terbuka. Pembuluh darah kecil di bawah permukaan kulitnya terlihat semakin kontras, seperti aliran tinta biru yang merambat di kertas putih.
Orang-orang yang melihat kejadian itu berhenti melangkah. Beberapa dari mereka mendekat, ragu tapi khawatir. Seorang wanita muda berlutut, memeriksa denyut nadinya sambil gemetar, lalu cepat-cepat merogoh ponselnya. Ia menekan 911.
Suasana di tempat itu mendadak mencekam. Lalu lintas melambat. Beberapa mobil berhenti. Sirine ambulans meraung lima menit kemudian dan membelah jalan. Paramedis segera turun, membungkus tubuh pemuda itu dengan selimut termal dan membawanya ke dalam ambulans. Wajah mereka menunjukkan kebingungan—ini bukan kasus biasa.
Entah bagaimana, perubahan itu terlalu cepat, terlalu sistematis untuk disebut sebagai penyakit. Dan tidak ada satu pun yang mengira bahwa kejadian aneh ini… terkait langsung dengan ledakan sinar gamma yang menghilang beberapa jam sebelumnya.
Bersambung...