bab 1

Fajar belum sepenuhnya mengoyak selimut gelap di Desa Talun Sari ketika Sarah sudah membuka matanya. Suara jangkrik malam masih bersahutan lemah, bersahutan dengan desir angin yang menyusup lewat celah-celah bilik bambu rumahnya. Dingin pagi menusuk tulang, tapi dia sudah terbiasa. Ritual ini dimulai jauh sebelum ayahnya pergi, dan kini, setelah kepergiannya yang tiba-tiba dua tahun silam, ritual itu terasa lebih berat, lebih sunyi, namun lebih penting dari sebelumnya.

Dia menggeliat pelan, berusaha tidak membangunkan Mak Nah yang tidur di sebelahnya. Wajah ibunya yang lelah, terukir garis-garis kekhawatiran dan kesedihan yang dalam, tampak tenang dalam tidurnya. Sarah memandanginya sejenak, hati terasa sesak. Mak Nah bekerja terlalu keras, memikul beban yang seharusnya dibagi dua. Rambutnya yang dulu hitam pekat kini sudah banyak diselubungi uban, kulitnya yang dulu mulus kini keriput oleh terik matahari dan beban hidup. Sarah menarik napas panjang, menelan getir yang naik ke kerongkongannya. *Untuk Mak Nah,* bisiknya dalam hati. *Untuk kita.*

Dia melongok keluar jendela kecil yang hanya ditutupi kain gorden lusuh. Langit di timur mulai memudar, warna jingga lembut menyapu kelabu, menandakan hari baru yang harus dihadapi. Desa Talun Sari perlahan bangun. Asap mengepul tipis dari beberapa dapur, suara ayam jantan saling bersahutan menyambut cahaya pertama, dan di kejauhan, hamparan sawah yang hijau membentang, seperti permadani hidup yang menjadi tulang punggung desa. Di salah satu petak sawah itulah ayahnya terjatuh dari tanggul, kepalanya membentur batu besar tersembunyi di lumpur, dan tak pernah bangun lagi. Kenangan itu masih seperti pisau tajam yang mengoyak dadanya setiap kali melihat hamparan hijau itu.

Sarah bangkit dari tempat tidurnya yang sederhana, hanya dipan kayu beralaskan tikar anyaman pandan yang sudah mulai lapuk. Dia mengenakan baju tidur katunnya yang tipis dan usang, lalu meraih sarung kotak-kotak biru yang selalu digunakannya untuk bekerja. Dengan langkah pelan, dia menuju dapur kecil di sudut rumah. Ruangan itu sederhana, hanya ada tungku tradisional dari tanah liat (tungku *aron*), beberapa periuk tanah, rak bambu tempat piring dan gelas, dan ember plastik besar berisi air yang diambil dari sumur tetangga kemarin sore. Bau kayu bakar yang sudah lama padam masih menyengat lemah.

Dia mengambil seikat kayu bakar kecil dari pojok, menyusunnya rapi di tungku, lalu mengambil korek api dari kaleng bekas biskuit di atas rak. *Sssst!* Api kecil menyala, perlahan membakar kayu-kayu kering itu. Dia meniup-niup pelan, memastikan api tetap hidup dan mulai membesar. Kemudian, dia mengambil cerek alumunium yang sudah penuh air, meletakkannya di atas tungku yang mulai memanas. Sambil menunggu air mendidih untuk teh pagi mereka, Sarah mengambil wadah berisi beras. Dia menakar secukupnya dengan gelas plastik bekas, mencucinya di baskom kecil hingga air cucian bening, lalu memasukkan beras itu ke dalam dandang kecil untuk ditanak. Bau khas beras yang bersih menyegarkan pagi itu.

Sambil menjaga api dan menunggu nasi serta air mendidih, Sarah duduk di bangku pendek kayu, memeluk lututnya. Matanya menerawang ke luar, menembus bilik bambu, seolah mencari sesuatu di cakrawala yang semakin terang. Dia ingat janjinya pada diri sendiri, pada ayahnya yang terbaring tenang di pemakaman desa, dan pada Mak Nah yang selalu berjuang untuknya: **dia harus sekolah tinggi.** Ayahnya selalu bilang, pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk mengubah nasib, untuk tidak terus terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang sama. "Jangan seperti Bapak, Nak, yang cuma bisa mencangkul sepanjang hari," katanya suatu sore, sebelum kecelakaan itu, sambil mengusap kepala Sarah dengan tangan yang kasar dan penuh tanah. "Belajarlah yang rajin. Lihat dunia yang lebih luas."

Tapi kata-kata itu sekarang terasa berat bagai gunung. Biaya sekolah bukan hanya uang SPP. Ada buku, seragam, sepatu, uang kegiatan, transportasi ke sekolah menengah atas di kecamatan yang jaraknya lima kilometer. Tabungan kecil yang ditinggalkan ayahnya sudah lama habis untuk biaya pengobatan dan pemakaman. Kini, hidup mereka bergantung pada sepetak kebun kecil di belakang rumah dan ketekunan Mak Nah membuat kue-kue tradisional untuk dijual.

Air cerek mulai mendidih, mengeluarkan suara mendesis dan kepulan uap putih. Sarah segera bangkit, mengambil segenggam daun teh kering dari kaleng bekas, memasukkan ke dalam teko tanah liat yang sudah retak-retak. Dia menyeduhnya dengan air mendidih, aroma harum daun teh lokal segera memenuhi dapur kecil itu. Bau sederhana yang menenangkan.

Dia juga membalik dandang nasi, memastikan nasi matang sempurna. Lalu, dia mengambil dua piring kecil dari rak, mengisinya dengan nasi putih yang masih mengepul. Tidak ada lauk mewah pagi ini. Hanya sambal terasi buatan Mak Nah yang disimpan dalam toples kaca, dan sepotong kecil tempe goreng sisa kemarin yang dihangatkan sebentar di atas tungku. Sarapan sederhana untuk mengawali hari yang panjang.

Sarah membawa nasi dan teh menuju bilik tidur. Mak Nah sudah bangun, sedang melipat selimut mereka dengan gerakan lambat.

"Sudah pagi, Mak?" Sarah menyapanya lembut, meletakkan piring dan gelas teh di atas meja kayu kecil di sudut ruangan.

Mak Nah menoleh, senyum kecil yang penuh kelelahan mengembang di wajahnya. "Pagi, Nak. Kok sudah bangun segini? Masih gelap tadi Sarah bangun, ya?" Suaranya serak, parau oleh batuk-batuk kecil yang sering menghantuinya akhir-akhir ini.

"Enggak juga, Mak. Baru sebentar." Sarah membohongi. "Ayo Mak, sarapan dulu biar ada tenaga." Dia menyodorkan piring dan gelas teh.

Mereka duduk berdampingan di dipan, menikmati sarapan dalam keheningan yang nyaman, hanya diselingi suara sendok menyentuh piring dan tegukan teh hangat. Sinar matahari pagi mulai menerobos masuk melalui celah-celah bilik, membuat debu-debu kecil berterbangan seperti emas cair. Sarah memperhatikan tangan ibunya yang mengangkat sendok. Jari-jemari itu kasar, kuku-kukunya patah dan kotor oleh tanah kebun dan adonan kue, bercak-bercak luka kecil terlihat di punggung tangannya. Tangan yang bekerja tanpa henti untuknya. Rasa sesak itu muncul lagi di dada Sarah.

"Mak..." Sarah memulai, suaranya bergetar sedikit. "Aku... aku ingin cari kerjaan, Mak. Bantu-b

antu tetangga."

Mak Nah berhenti menyendok, menatap Sarah dengan mata lebar penuh keheranan dan kekhawatiran. "Cari kerja? Nak, kamu masih sekolah! Fokus belajar saja. Biar Mak yang urus semuanya."

"Tapi lihat Mak, Mak sudah kerja terlalu keras. Batuk Mak makin sering. Aku kuat, Mak. Aku bisa bantu. Aku bisa nyabit rumput, ngebawain pupuk, bantu panen sayur, apa saja!" Semangat Sarah berkobar. "Uangnya buat nambahin uang sekolah. Biar Mak enggak terlalu berat. Aku janji, sekolahku enggak akan ketinggalan! Aku bakal belajar lebih giat lagi, malem-malem kalo perlu!"

Air mata mulai menggenang di mata Mak Nah. Dia meletakkan piringnya, menarik Sarah dalam pelukan hangat. Tubuh Sarah terasa ringan dan kecil dalam dekapan ibunya. "Sarah... anak Bapak memang kuat ya. Tapi Mak sayang, kamu masih kecil. Kerja itu berat. Bapakmu dulu..."

"Bukan berarti aku enggak bisa, Mak," Sarah memotong lembut, melepaskan pelukan dan menatap mata ibunya yang berkaca-kaca. "Aku enggak mau Mak sakit. Aku enggak mau kita cuma makan tempe goreng sisa terus. Aku mau bantu. Biar Bapak di sana tenang, liat anak dan istrinya berjuang bareng." Suaranya tegas, penuh keyakinan yang tidak terduga dari seorang gadis belia.