Mak Nah mengusap air matanya dengan ujung sarung, menarik napas panjang. Dia melihat api semangat di mata anak satu-satunya itu. Api yang mirip dengan api di mata suaminya dulu. Dia tahu betapa keras kepala Sarah, betapa tekadnya bisa sekeras batu. Dan dia juga tahu, betapa berat beban di pundaknya sendiri. "Baiklah," bisiknya akhirnya, suaranya parau oleh emosi. "Tapi janji sama Mak, sekolah nomor satu. Kalo nilai turun, atau keliatan capek, berhenti. Langsung!"
Sarah mengangguk cepat, wajahnya berseri-seri. "Janji, Mak! Aku bakal jago bagi waktu!" Dia memeluk ibunya lagi, rasa haru dan tekad membuncah dalam dadanya.
Setelah sarapan dan membereskan dapur, Sarah segera mengenakan baju kerja lamanya – baju lengan panjang katun biru tua yang sudah pudar dan bolong-bolong kecil di siku, serta celana panjang hitam yang juga sudah usang. Dia mengikat rambut hitamnya yang panjang dan agak kusut itu menjadi kuncir kuda rapat. Wajahnya yang oval, dengan mata coklat besar yang jernih dan hidung mancung, terlihat serius. Bibirnya yang tipis dipadatkan dalam tekad. Dia mengambil golok kecil yang sudah tumpul milik ayahnya dari gantungan di dinding, dan sebuah keranjang anyaman bambu.
"Mak, aku ke kebun dulu ya, nyiangi tanaman. Abis itu aku cari Bu Surti, tanya ada kerjaan enggak," ujar Sarah sambil membuka pintu bambu rumah mereka yang reyot.
"Hati-hati, Nak. Jangan terlalu lama di panas. Bawa air minum," pesan Mak Nah yang sudah bersiap dengan peralatan membuat kue: tepung, gula merah, kelapa parut, dan cetakan kue.
"Iya, Mak." Sarah melangkah keluar, menyambut sinar matahari pagi yang mulai hangat menyengat kulit.
Kebun kecil mereka terletak di belakang rumah, hanya beberapa puluh meter. Tidak luas, mungkin hanya dua kali luas rumah mereka, tapi ditanami dengan teliti oleh Mak Nah. Ada pohon pisang yang mulai berbuah, rumpun singkong, beberapa bedeng kacang panjang yang merambat, cabai rawit, terong ungu, dan tomat yang baru berbunga. Ini adalah sumber pangan utama mereka, sekaligus kadang bisa dijual sedikit jika hasilnya melimpah.
Sarah langsung menyingsingkan lengan bajunya. Dia mulai dengan mencabuti rumput liar yang tumbuh subur di antara bedeng sayuran. Gerakannya cepat dan terampil, tangan-tangan kecilnya mencabut, mencangkul tanah tipis dengan tangan, membersihkan area di sekitar tanaman. Keringat mulai membasahi dahinya dan punggung bajunya. Dia tidak mengeluh. Dia membayangkan setiap rumput yang tercabut adalah satu langkah lebih dekat untuk membeli buku baru. Setiap cangkulan kecil tanah adalah sedikit beban yang terangkat dari pundak Mak Nah.
Setelah sekitar satu jam, kebun sudah rapi. Sarah memeriksa tanaman-tanamannya. Daun singkong terlihat agak layu. Dia segera mengambil ember, berjalan ke parit kecil di pinggir kebun, menciduk air jernih yang mengalir pelan, lalu menyiramkannya dengan hati-hati ke pangkal tanaman singkong. Dia tersenyum kecil melihat daun-daun itu perlahan segar kembali, seolah berterima kasih padanya. *Bertahanlah,* bisiknya pada tanaman-tanaman itu. *Seperti kita.*
Dia memetik beberapa kacang panjang yang sudah cukup besar dan segenggam cabai rawit merah untuk lauk siang nanti, lalu memasukkannya ke keranjang. Setelah minum dari botol air minum plastik yang dibawanya, Sarah meninggalkan kebun, menuju bagian desa yang lebih ramai, di mana rumah-rumah lebih besar berdiri, termasuk rumah Bu Surti.
Perjalanan melewati jalan setapak berbatu di antara sawah dan pekarangan rumah warga. Bau tanah basah, dedaunan, dan asap kayu bakar bercampur di udara pagi. Suara kokok ayam, gonggongan anjing, dan terkadang teriakan anak-anak yang mulai bermain memecah keheningan. Sarah menyapa beberapa tetangga yang sudah mulai beraktivitas.
"Pagi, Pak Darmo!" sapa Sarah pada seorang lelaki tua yang sedang membersihkan pekarangan.
"Heh, Sarah! Pagi! Ke mana pagi-pagi gini?" Pak Darmo melirik golok kecil dan keranjang di tangan Sarah.
"Nyari kerjaan, Pak. Bantu-bantu siapa yang perlu," jawab Sarah polos.
Pak Darmo mengangguk-angguk, matanya berbinar kasihan. "Anak rajin. Hati-hati ya. Jangan kerja kebanyakan, nanti sakit."
"Iya, Pak. Makasih." Sarah tersenyum kecil dan melanjutkan langkah.
Hatinya berdebar-debar ketika mendekati rumah Bu Surti. Rumah itu termasuk yang paling bagus di desa; tembok bata dicat kuning pucat, pintu kayu jati kokoh, dan halamannya luas, dipenuhi pohon buah-buahan dan bunga-bungaan. Bu Surti adalah janda kaya raya hasil warisan suaminya yang dulu pedagang besar. Dia dikenal baik hati tapi cukup pemilih.
Sarah menghela napas, memberanikan diri. Dia mengetuk pintu pagar besi yang dicat hijau. Beberapa saat kemudian, seorang perempuan paruh baya dengan baju daster bunga-bunga yang masih rapi membuka pintu. Itu Mbak Sum, pembantu Bu Surti.
"Oh, Sarah. Ada perlu?" tanya Mbak Sum ramah.
"Mbak Sum, pagi. Bu Surti sudah bangun? Aku mau tanya, ada kerjaan yang bisa aku bantu enggak?" tanya Sarah, berusaha terdengar percaya diri.
Mbak Sum memandangnya sejenak, lalu melongok ke dalam. "Tunggu sebentar ya, Nak. Aku tanya Ibu dulu."
Sarah menunggu dengan cemas, tangannya memelintir ujung sarungnya. Dia mendengar suara samar dari dalam. Tak lama, Mbak Sum kembali.
"Ibu mau ketemu. Masuk, Nak."
Sarah mengikuti Mbak Sum melewati halaman yang asri menuju teras rumah. Bu Surti sedang duduk di kursi rotan, menyesap teh dari cangkir cantik. Perempuan berumur lima puluhan itu berwajah tegas, rambut disanggul rapi, mengenakan kebaya sederhana tapi terlihat mahal.
"Pagi, Bu Surti," sapa Sarah sambil sedikit membungkuk hormat.
"Pagi, Sarah," jawab Bu Surti, matanya menyapu Sarah dari ujung kepala hingga ujung kaki, memperhatikan baju usang dan keranjangnya. "Mbak Sum bilang kamu mau cari kerjaan?"
"Iya, Bu. Aku mau bantu apa saja. Nyapu halaman, nyiangi rumput, ngebawain barang, bersihin kandang ayam... apa saja, Bu. Aku kuat." Sarah berusaha tegas.
Bu Surti menaruh cangkirnya. "Kenapa mau kerja? Kan masih sekolah? Ibumu tahu?"
"Ibu tahu, Bu. Aku mau nambahin uang sekolah. Biar Ibuku enggak terlalu capek kerja sendirian." Jawaban Sarah jujur.
Bu Surti mengangguk pelan, ekspresinya sedikit melunak. Dia tahu betul kondisi keluarga Sarah. "Hmm... kebetulan hari ini tukang kebunku, Pak Kardi, lagi sakit perut. Halaman belakang banyak rumput liar. Kamu bisa nyabit?"
"Bisa, Bu! Aku bawa golok." Sarah mengangkat golok kecilnya.
Bu Surti sedikit tersenyum melihat semangatnya. "Bagus. Tapi pakai sabitku saja yang lebih tajam. Nanti Mbak Sum yang kasih. Kerjanya di belakang, di sekitar kolam ikan dan pohon-pohon buah. Rumputnya tinggi-tinggi ya. Berapa kamu mau dibayar?"
Sarah tertegun. Dia belum memikirk
an itu. "Sesuai sama Ibu saja, Bu. Yang penting aku bisa kerja."
Bu Surti mempertimbangkan. "Baiklah. Kalau kamu bisa bersihkan area belakang sampai rapi, sampai rumput dan ranting-ranting kecil habis, aku kasih dua puluh ribu. Tapi harus rapi, ya. Aku periksa nanti."
Dua puluh ribu! Bagi Sarah, itu jumlah yang besar. Uang itu bisa untuk membeli dua buku tulis baru, atau menambah tabungan untuk sepatu sekolah yang sudah kekecilan. "Siap, Bu! Terima kasih banyak, Bu Surti!" Wajah Sarah berseri-seri, bersyukur.