"Jangan lupa minum. Ada air di ember di belakang. Kerjanya jangan sampai siang bolong, nanti panas," pesan Bu Surti sebelum kembali ke tehnya.
Mbak Sum membawa Sarah ke gudang kecil di samping rumah, memberikan sabit yang tajam dan kuat, jauh lebih baik dari golok tumpul ayahnya. "Hati-hati ya, Nak. Jangan sampai kena kaki. Kalau haus, minum air di ember itu," kata Mbak Sum sambil menunjuk sebuah ember berisi air jernih dan sebuah gayung plastik di dekat kolam ikan kecil.
"Terima kasih, Mbak Sum." Sarah menggenggam sabit itu erat-erat, lalu berjalan menuju halaman belakang yang luas.
Area itu memang dipenuhi rumput liar setinggi lutut bahkan pinggang di beberapa tempat. Ada pohon mangga, jambu air, rambutan, dan belimbing. Di tengahnya ada kolam ikan kecil berair keruh, dipenuhi eceng gondok. Pekerjaan ini jauh lebih berat dan luas daripada kebun kecilnya di rumah.
Tanpa ragu, Sarah langsung menyingsingkan lengan bajunya lebih tinggi, mengikat sarungnya lebih kencang di pinggang, dan mulai menyabit. *Swish! Swish!* Suara sabit memotong rumput dan batang ilalang yang keras memenuhi udara. Gerakannya mungkin belum secepat atau seterampil Pak Kardi, tapi tekun dan penuh semangat. Dia mulai dari pinggir, memotong rumput dengan gerakan menyapu, mengumpulkan hasil sabitan menjadi tumpukan-tumpukan kecil.
Matahari semakin tinggi, panasnya semakin terik. Keringat mengucur deras dari pelipis, dahi, dan punggung Sarah. Bajunya yang biru tua mulai membalut tubuhnya karena basah. Sesekali dia berhenti sejenak, meluruskan punggung yang mulai pegal, mengusap keringat dengan lengan baju, lalu minum air dari gayung. Air itu terasa seperti air surgawi di tenggorokannya yang kering. Dia melihat bayangannya yang pendek di tanah. Masih pagi, tapi rasanya sudah lama sekali dia bekerja.
Pikirannya melayang ke sekolah. Dia membayangkan teman-temannya mungkin baru bangun, bersiap dengan seragam rapi, sarapan enak, diantar orang tua. Sedangkan dia, di sini, berjuang melawan rumput dan panas demi uang untuk tetap bisa berseragam dan belajar bersama mereka. Sebuah perasaan getir menyelinap, tapi dia segera mengusirnya. *Ini pilihanku. Untuk masa depan.* Dia mengingat janjinya pada Mak Nah, pada ayahnya.
Dia terus menyabit, memotong, mengumpulkan. Tumpukan rumput dan ilalang kering semakin banyak. Tangannya yang awalnya halus mulai terasa perih. Dia melihatnya. Telapak tangan merah, ada lecet-lecet kecil mulai terbentuk di pangkal jari karena gesekan gagang sabit. Dia mengernyit, tapi tidak berhenti. Dia meludahi telapak tangannya sedikit, seperti yang pernah dilihatnya dilakukan ayahnya dulu, lalu menggenggam gagang sabit lebih erat lagi, meneruskan pekerjaan.
*Swish! Swish!* Suara itu menjadi musik pengiring perjuangannya. Dia membayangkan suara itu adalah suara uang kertas yang dihitung. Setiap sapuan sabit adalah seribu rupiah. Dua puluh ribu... itu berarti dua puluh sapuan besar. Tapi kenyataannya, sapuannya sudah ratusan, dan area yang dibersihkan baru sepertiga. Dia tersenyum kecut pada pikirannya sendiri. *Tetap semangat, Sarah!*
Di tengah kerja kerasnya, tiba-tiba seekor capung berwarna biru metalik hinggap di tumpukan rumput yang baru dia potong. Sayapnya yang tipis berkilau diterpa sinar matahari. Sarah berhenti sejenak, memandanginya. Keindahan kecil di tengah kelelahan. Capung itu seperti mengingatkannya bahwa dunia ini masih penuh keajaiban, masih ada hal-hal indah yang bisa diperjuangkan. Dia tersenyum, sebuah senyum tulus yang pertama kali pagi itu, sebelum capung itu terbang meninggalkannya.
Waktu berlalu. Matahari hampir tegak lurus di atas kepala. Sarah merasa kepalanya sedikit pening dan perutnya keroncongan. Dia melihat hasil kerjanya. Area belakang yang tadi liar kini terlihat jauh lebih rapi. Rumput-rumput tinggi sudah rata menjadi tumpukan hijau dan coklat. Ranting-ranting kecil yang berserakan juga sudah dikumpulkan di satu sudut. Kolam ikan kini terlihat lebih jelas, meski eceng gondoknya belum disentuh. Dia membersihkan sabit di rumput, lalu berjalan ke ember air, minum beberapa gayung. Air dingin itu menyegarkan.
Dia mengambil sapu lidi besar yang tersandar di dekat gudang, lalu mulai menyapu bersih sisa-sisa potongan rumput dan daun-daun kecil yang masih berceceran di tanah. Gerakannya cepat, menyapu jalan setapak di sekitar kolam dan di bawah pohon-pohon buah hingga bersih. Setelah yakin semuanya rapi, dia mengembalikan sabit yang tajam itu ke Mbak Sum.
"Sudah selesai, Mbak Sum. Tolong bilang ke Bu Surti aku sudah selesai," kata Sarah, napasnya masih sedikit tersengal, wajahnya merah oleh panas dan keringat, baju dan rambutnya kusut penuh debu dan potongan rumput.
Mbak Sum memandang ke belakang, matanya berbinar kagum. "Wah, cepat sekali kamu, Sarah. Rapi lagi. Tadi Ibu lihat sebentar, dia seneng. Tunggu di sini ya."
Tak lama, Bu Surti muncul, berjalan ke belakang untuk memeriksa. Matanya yang tajam menyapu setiap sudut. Dia mengangguk-angguk puas. "Bagus, Sarah. Rapi sekali. Melebihi ekspektasiku." Dia kembali ke teras, mengambil dompet kecil dari saku kebayanya. Dia mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan dan... selembar lagi sepuluh ribuan! "Ini untuk kerja kerasmu. Lembaran tambahan karena kamu bekerja cepat dan rapi."
Sarah terkejut, matanya membelalak. "Tiga puluh ribu, Bu? Tapi tadi Bu bilang dua puluh..."
"Sudah, ambil saja. Kamu layak dapat lebih. Besok kalau Pak Kardi belum sembuh, atau ada kerjaan lain, aku panggil kamu ya?" tanya Bu Surti sambil menyodorkan uang itu.
Sarah menerimanya dengan tangan gemetar. Uang tiga puluh ribu itu terasa hangat dan berharga bagaikan emas. "Terima kasih banyak, Bu Surti! Siap, Bu! Kapan saja Bu butuh, aku siap!" Hatinya berbunga-bunga. Tiga puluh ribu! Itu bisa untuk beli buku *dan* menabung untuk pensil baru!
Dia menyimpan uang itu dengan aman di saku celana dalamnya, mengucapkan terima kasih berulang kali pada Bu Surti dan Mbak Sum, lalu berjalan pulang dengan langkah ringan meski tubuhnya lelah. Mentari siang menyengat, tapi Sarah tidak merasakannya. Dia memegangi saku tempat uang itu tersimpan. *Ini baru awal, Sarah. Kamu bisa!*
Sesampainya di rumah, Mak Nah sedang mengangkat kukusan kue dari atas tungku. Wangi harum kue cucur dan serabi menguar. Wajah Mak Nah memerah oleh panas api.
"Mak! Mak! Aku dapet kerjaan! Aku dibayar!" Sarah berlari kecil menghampiri ibunya, wajahnya bersinar.
Mak Nah memandangnya, melihat debu, keringat, dan kelelahan di wajah anaknya, tapi juga melihat cahaya kemenangan di matanya. "Dapat kerjaan di mana? Dibayar berapa?"
"Di rumah Bu Surti, Mak. Nyabit rumput di belakang. Aku dibayar tiga puluh ribu, Mak! Tiga puluh ribu!" Sarah mengeluarkan uang dari sakunya, menunjukkan dengan bangga.
Mak Nah mengambil uang itu, matanya berkaca-kaca lagi. Dia menarik Sarah, memeluknya erat-erat, tidak peduli baju Sarah yang kotor dan berbau keringat. "Anak Bapak memang hebat... Tapi lihat kamu, kotor dan lelah sekali. Habis ini istirahat ya."
"Enggak apa, Mak. Aku kuat. Tuh, uangnya buat Mak. Simpan buat uang sekolahku," Sarah menyerahkan uang itu.
Mak Nah menggeleng. "Simpan sebagian buat jajan kamu di sekolah. Simpan baik-baik. Sisanya nanti Mak simpan." Dia tidak mau mengambil semua hasil kerja keras anaknya.
Setelah mandi dan berganti baju, Sarah makan siang dengan lahap. Nasi hangat, kacang panjang dan cabai rawit hasil kebun pagi tadi yang ditumis Mak Nah dengan bumbu sederhana, dan sepotong kecil ikan asin. Rasanya seperti makanan bintang lima bagi Sarah karena rasa lelah dan kepuasannya.
Sore harinya, sambil menunggu waktu membantu Mak Nah mengemas kue untuk dijual esok pagi, Sarah duduk di ambang pintu. Di pangkuannya terbuka buku pelajaran matematika. Dia membaca dengan tekun, sesekali mencorat-coret di buku catatannya yang sudah penuh coretan. Mentari sore yang jingga menyinari wajahnya yang tekun. Kaki kecilnya yang tidak menyentuh tanah menggantung, bergoyang-goyang pelan.
Di benaknya, angka-angka di buku itu berseling dengan tumpukan rumput yang dia sabit, senyum puas Bu Surti, dan uang tiga puluh ribu yang disimpannya. Dia juga membayangkan seragam sekolah barunya nanti, buku-buku baru, dan... wajah Ardi, ketua kelasnya yang pintar dan baik hati, yang sering membantunya memahami pelajaran matematika. Sebuah perasaan hangat yang berbeda, seperti kupu-kupu kecil berdebar di perutnya, muncul ketika membayangkan senyum Ardi. *Dia pasti enggak bakal nyangka aku habis nyabit rumput pagi ini,* pikirnya, tersenyum kecil pada dirinya sendiri.
Tapi senyum itu berubah menjadi tekad. **Dia harus bisa tetap bersekolah. Dia harus membuktikan pada dunia, pada Mak Nah, pada arwah Bapak, dan mungkin juga pada Ardi, bahwa seorang gadis yatim dari Desa Talun Sari bisa mengubah takdirnya dengan kerja keras dan semangat pantang menyerah.** Dia akan bekerja, dia akan belajar, dan dia akan meraih mimpi-mimpinya. Akar perjuangannya baru saja mulai menancap kuat di tanah keras kehidupan, dan dia akan tumbuh, menjulang, mekar, apapun yang terjadi.