Matahari terbenam di ufuk barat, menutup bab pertama perjuangan Sarah. Hari ini dia menang kecil. Esok, pertarungan baru menanti. Tapi dengan tiga puluh ribu rupiah di sakunya dan api semangat yang membara di hatinya, Sarah siap menyambut fajar berikutnya. Untuk Mak Nah. Untuk Bapak. Untuk masa depannya. Dan mungkin, juga untuk sebuah harapan romantis yang baru saja mulai bersemi di sudut kecil hatinya nya yang pemberani.
Malam belum sepenuhnya menyerahkan kekuasaannya pada fajar. Langit masih diselimuti kelabu tua, bertabur bintang-bintang pucat yang perlahan-lahan memudar. Desa Talun Sari tenggelam dalam keheningan yang nyaris sempurna, hanya diselingi kicauan awal burung-burung pemula hari dan desau angin yang bertiup lembut melalui daun-daun pisang di kebun belakang. Di dalam bilik bambu kecil, Sarah sudah membuka matanya. Bukan karena suara ayam jantan atau sinar pertama matahari, melainkan karena alarm dalam dirinya sendiri – sebuah tekad yang lebih keras dari dentang jam mana pun.
Rasanya baru kemarin dia merebahkan tubuhnya yang lelah di atas tikar pandan. Bekas pegal di punggung, lengan, dan telapak tangannya masih terasa jelas, seperti ciuman panas dari kerja keras hari sebelumnya. Dia menggerakkan jari-jarinya. Lecet kecil di pangkal jari telunjuk dan ibu jari kanan terasa perih, mengingatkannya pada gagang sabit Bu Surti. Tapi kenangan itu diiringi rasa hangat di dada: tiga puluh ribu rupiah yang disimpannya dengan hati-hati di balik batu bata longgar di dinding biliknya. Uang itu bukan sekedar kertas; itu adalah bukti nyata pertama bahwa tekadnya bisa membuahkan hasil, bahwa dia *bisa* membantu Mak Nah.
Dengan gerakan pelan, dia bangkit. Mak Nah masih terlelap, napasnya berat dan berirama. Sarah memandang wajah ibunya yang tenang sejenak, lalu berbisik lirih, "Untuk kita, Mak. Untuk masa depan." Dia meluncur dari dipan, menghindari papan kayu yang berderit jika terinjak. Dingin pagi menusuk kulitnya yang hanya tertutup baju tidur tipis, membuatnya menggigil ringan.
Dia tidak langsung menyalakan lampu minyak tanah kecil di sudut. Cahaya remang-remang dari luar jendela sudah cukup untuknya bergerak. Dia mengambil baju kerjanya yang sudah dicuci bersih dan masih lembab – baju lengan panjang biru tua yang sama, celana panjang hitam yang sama. Dia mengenakannya dengan cepat, mengikat rambut panjangnya menjadi kuncir kuda yang sangat rapat. Kemudian, dia meraih sarung kotak-kotak birunya dan mengikatnya erat di pinggang. Persiapan singkat ini dilakukan dalam keheningan ritual.
Di dapur kecil, dia hanya menyalakan satu batang korek api untuk menyalakan tungku *aron*. Api kecil itu segera melahap kayu bakar kecil yang disusun rapi, memancarkan kehangatan dan cahaya oranye yang menari-nari di dinding bambu. Dia tidak memasak nasi pagi ini. Untuk menghemat waktu dan tenaga, dia hanya memanaskan sedikit air sisa semalam untuk segelas teh hangat dan sepotong kecil kue cucur sisa buatan Mak Nah yang disimpan di atas meja. Sarapan sederhana ini akan menjadi bahan bakarnya memulai hari yang panjang.
Sambil menunggu air hangat, dia duduk di bangku kayu pendek, memeluk lututnya. Pikirannya sudah melesat ke depan. Hari ini bukan hanya tentang menyabit rumput di rumah Bu Surti. Dia punya rencana lebih besar. Semalam, sebelum tidur, dia menyempatkan diri mengunjungi Bu Salma yang warung kecilnya buka paling pagi di ujung desa, dan Pak Mamat yang sawahnya luas membutuhkan bantuan ekstra untuk menyiangi. Keduanya setuju memberinya kesempatan. Bu Salma membutuhkan bantuan menyiapkan dagangan sebelum pelanggan berdatangan, sementara Pak Mamat membutuhkan tenaga ekstra untuk menyiangi rumput di petak sawah yang mulai mengganggu padi muda. Dan malamnya, seperti biasa, dia akan membantu Mak Nah membuat kue untuk dijual esok hari.
*Seperti roda yang terus berputar,* pikirnya, menyesap teh hangat yang pahit. *Tapi roda ini akan membawaku ke suatu tempat. Ke sekolah. Ke depan.*
Setelah menghabiskan kue cucur dan teh, dia membereskan secangkir dan piring, memastikan tungku benar-benar padam, lalu mengambil botol air minum plastik yang sudah diisi dan sepotong kecil pisang rebus bungkus daun untuk bekal nanti. Dengan langkah pasti meski tubuh masih mengingat kelelahan kemarin, dia membuka pintu bambu rumah dan melangkah keluar menyambut fajar yang masih samar.
Udara pagi buta itu terasa lebih dingin dan lebih segar. Kabut tipis masih menyelimuti permukaan sawah, membuat pemandangan terlihat seperti lukisan impresionis yang samar. Sarah menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara bersih dan harapan baru. Dia berjalan cepat menyusuri jalan setapak berbatu yang sepi, menuju ujung desa tempat warung Bu Salma berdiri.
Warung Bu Salma hanyalah sebuah bangunan kayu sederhana dengan atap seng, terletak di persimpangan jalan desa. Meski kecil, warung ini adalah jantung informasi dan penyedia kebutuhan pagi bagi warga Talun Sari. Lampu minyak sudah menyala di dalam, menandakan Bu Salma sudah mulai beraktivitas.
"Pagi, Bu Salma!" sapa Sarah sambil membuka pintu kayu yang reyot.
Bu Salma, perempuan berbadan subur berusia sekitar lima puluhan dengan wajah selalu ramah dan rambut disanggul rapi, sedang mengangkat panci besar berisi air mendidih dari atas kompor minyak tanah kecil. "Pagi, Sarah! Wah, tepat waktu sekali. Ayo masuk, Nak. Dingin ya pagi ini?" Suaranya hangat seperti kuah soto yang dia jual.
"Iya, Bu. Tapi enggak apa." Sarah tersenyum, menyingkirkan sarungnya dan segera menggulung lengan bajunya. "Apa yang perlu aku bantu, Bu?"
"Bisa tolong bersihin meja-meja sama bangkunya dulu? Sama siapin piring-piring kecil untuk sambel sama jeruk nipis. Abis itu kamu bantuin aku ngiris-iris bahan buat lontong sayur." Bu Salma menunjuk ke ember berisi piring plastik dan lap kain. "Awas, lantainya licin sisa air tadi."
Sarah langsung bekerja. Dengan cekatan dan penuh perhatian, dia menyeka lima meja kayu panjang dan bangku-bangku panjang yang mengelilinginya, memastikan tidak ada sisa minyak atau remah makanan dari kemarin. Kemudian dia mengambil piring-piring plastik kecil dari ember, mencucinya sekali lagi dengan air bersih, lalu mengelapnya hingga kering dan menatanya rapi di meja kecil khusus bumbu pelengkap. Setelah itu, dia mencuci tangan bersih dan mendekati meja kerja Bu Salma.
Di atas meja sudah terhampar bahan-bahan segar: ketupat padat yang masih hangat, tauge segar, kacang panjang hijau terang, kol putih bersih, dan bongkahan tempe serta tahu kuning. Bau harum kaldu lontong sayur mulai memenuhi warung kecil itu.
"Nah, Sarah, kamu iris kacang panjang sama kolnya kecil-kecil ya, kayak biasa. Tempe sama tahunya juga dipotong kotak-kotak. Awas pisaunya tajam," pesan Bu Salma sambil mengaduk panci besar berisi kuah kuning kental yang mulai mendidih perlahan.
Sarah mengangguk, mengambil pisau tajam yang disodorkan. Dia mulai dengan kacang panjang. Gerakan tangannya cepat dan terampil, hasil dari sering membantu Mak Nah di dapur. *Crek! Crek! Crek!* Bunyi pisau memotong kacang panjang di atas talenan kayu terdengar ritmis. Potongan kacang panjang hijau segar menumpuk dengan rapi. Kemudian giliran kol. Dia membelahnya, membuang bagian tengahnya yang keras, lalu mengirisnya tipis-tipis. Irisan kol putih berserakan seperti salju di talenan. Terakhir, tempe dan tahu. Dia memotongnya menjadi dadu-dadu kecil yang seragam. Bau tempe goreng yang khas dan aroma tahu segar bercampur dengan wangi kaldu.