bab 5

Sambil bekerja, Bu Salma bercerita tentang kabar desa, tentang cucunya yang baru bisa berjalan, tentang harga cabai yang naik lagi. Sarah mendengarkan sambil sesekali mengangguk atau tersenyum, tangannya tak pernah berhenti bergerak. Kehangatan warung, bau sedap makanan, dan obrolan ringan Bu Salma membuat pekerjaan terasa lebih ringan, mengusir sisa dingin pagi dan sedikit kelelahan yang masih menempel.

Saat langit di timur mulai berwarna jingga kemerahan, tanda fajar sungguhan telah tiba, pelanggan pertama mulai berdatangan. Pekerja kebun, tukang becak yang akan mangkal di kecamatan, bahkan anak-anak sekolah yang rumahnya jauh dan harus berangkat lebih awal. Warung Bu Salma seketika ramai oleh sapaan, pesanan, dan bunyi piring bersentuhan.

"Lontong sayur satu, Bu! Pedes!"

"Ketupat soto dua, Bu Sal! Bungkus ya!"

"Es teh manis satu, Bu!"

Sarah dengan sigap beralih peran menjadi pelayan. Dia membantu Bu Salma menyiapkan piring, menuang kuah, menaburi bawang goreng dan seledri, menambahkan sambal sesuai permintaan, dan menyajikan minuman. Gerakannya mungkin belum secepat Bu Salma yang sudah puluhan tahun terbiasa, tapi penuh semangat dan senyuman. Dia mengingat pesanan, melayani dengan ramah, dan membantu membereskan piring kotor. Keringat mulai membasahi pelipisnya lagi, tapi kali ini diiringi kepuasan melihat pelanggan yang menikmati sarapan mereka.

"Wah, ada asisten baru nih, Bu Sal?" tanya Pak Jum, tukang kebun yang biasa sarapan di sini, sambil menyendok lontong sayurnya.

"Iya, Pak. Sarah, tetangga sebelah sini. Rajin banget ini anak," jawab Bu Salma bangga.

Sarah hanya tersenyum malu, terus bergerak mengantar pesanan. Di antara keramaian, matanya menangkap sosok Ardi yang lewat di luar warung, menuju arah sekolah. Dia mengenakan seragam putih abu-abu yang masih rapi, tas ransel hijau tergantung di pundak. Ardi melambai kecil padanya, senyum hangatnya membuat jantung Sarah berdebar kencang sekali. Dia membalas lambaian dengan cepat, wajahnya memerah, sebelum kembali fokus pada piring ketupat soto yang harus dia antarkan. *Dia pasti enggak tahu aku sudah mulai kerja dari subuh,* pikirnya, rasa bangga kecil menggelitik hatinya.

Setelah jam sibuk pagi berlalu, sekitar pukul setengah delapan, warung mulai sepi. Pelanggan yang tersisa hanya satu dua orang yang menikmati sarapan dengan santai. Bu Salma mulai membereskan.

"Nah, Sarah, terima kasih banyak ya bantuannya pagi ini. Beneran ngebantu Bu," kata Bu Salma sambil mengelap keringat di dahinya. Dia mengambil sebuah bungkusan daun pisang dari meja. "Ini buat kamu, lontong sayur sama tempe goreng. Sarapan biar kuat kerja." Dia juga mengeluarkan dua lembar uang lima ribuan dari celemeknya. "Dan ini, upah kecil-kecilan buat kamu."

Sarah terkejut. Dia tidak menyangka akan mendapat upah selain sarapan. "Bu, sarapannya saja sudah lebih dari cukup, Bu. Aku enggak..."

"Sudah, ambil!" potong Bu Salma dengan nada tegas tapi hangat. "Kamu kerja bagus. Besok pagi kalau bisa, dateng lagi ya? Bantu Bu Salma."

Sarah menerima bungkusan hangat dan uang sepuluh ribu itu dengan tangan gemetar. Hatinya berbunga-bunga. Sarapan *dan* uang! "Terima kasih banyak, Bu Salma! Pasti aku dateng besok pagi!" Dia menyimpan uang dengan aman di saku dalamnya, bersebelahan dengan uang kemarin. Perasaan lelah seolah menguap digantikan oleh energi baru.

Dia pamit dari Bu Salma, membawa bungkusan sarapannya. Waktunya menuju sawah Pak Mamat. Perjalanan ke sawah Pak Mamat melewati jalan desa yang sudah mulai ramai. Anak-anak kecil berlarian dengan seragamnya, ibu-ibu berjalan ke pasar atau ke kebun, beberapa bapak-bapak sudah pulang dari salat subuh berjamaah. Sarah berjalan cepat, menikmati hangatnya sinar matahari pagi yang mulai terasa. Bau lontong sayur dari bungkusannya menggoda, tapi dia menahan diri. Sarapan ini akan dia nikmati nanti, saat istirahat di sawah.

Sawah Pak Mamat terletak di ujung timur desa, hamparan luas yang hijau oleh padi muda. Pak Mamat sendiri sudah berada di sana, berdiri di pematang sambil memeriksa tanaman. Lelaki berusia empat puluhan itu bertubuh tegap, kulitnya gelap terbakar matahari, dengan topi caping khas petani menutupi kepalanya.

"Pagi, Pak Mamat!" sapa Sarah dari kejauhan.

Pak Mamat menoleh, wajahnya yang keriput pecah menjadi senyum lebar. "Pagi, Sarah! Siap nyemplung ke lumpur?" tanyanya sambil tertawa kecil.

"Siap, Pak!" jawab Sarah penuh semangat. Dia mencari tempat aman di pematang untuk meletakkan bungkusan sarapan dan botol air minumnya, lalu melepas sandal jepitnya. Dia menggulung celana panjangnya hingga di atas lutut, memperlihatkan kaki kecilnya yang belum pernah sekotor ini. Dengan hati-hati, dia turun ke sawah. Dinginnya lumpur yang menyelimuti kakinya hingga betis membuatnya menarik napas tajam. Teksturnya licin, lembut, dan asing. Ini pengalaman pertamanya benar-benar turun ke sawah untuk bekerja, bukan sekadar lewat atau membantu panen.

"Kamu ambil bagian sini aja, Nak," kata Pak Mamat, menunjuk petak yang cukup luas di dekat pematang. Rumput liar dan enceng gondok kecil sudah mulai tumbuh subur di antara barisan padi muda yang masih pendek dan berwarna hijau muda. "Cabutin rumput liar sama enceng gondoknya. Yang kecil-kecil. Yang besar biar aku. Awas akar padi muda, jangan sampe tercabut. Dan hati-hati sama ular kadut atau lintah ya!"

Sarah mengangguk serius, menelan rasa geli dan sedikit jijik saat kakinya tenggelam lebih dalam di lumpur. Dia melangkah pelan, menyesuaikan diri dengan medan yang licin. Kemudian, dia membungkuk, tangannya langsung mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di dekat akar padi. Awalnya gerakannya kaku dan lambat, khawatir mencabut padi muda yang masih rapuh. Tapi perlahan, dia menemukan ritmenya. *Cabut, buang ke pematang. Cabut, buang.* Lumpur menempel di tangan dan lengan bajunya, dingin dan menggigit. Dia merasakan sesuatu yang lunak dan dingin melilit kakinya. Hampir saja dia berteriak, tapi ternyata hanya akar tanaman air. Napasnya tersengal.

Matahari semakin tinggi, panasnya semakin menyengat. Tidak ada pohon peneduh di tengah sawah. Keringat bercucuran dari dahinya, bercampur dengan sedikit percikan lumpur, mengalir ke pipinya. Bau lumpur, air sawah, dan tanaman hijau memenuhi indranya. Di kejauhan, dia melihat sosok ayahnya dulu, juga membungkuk seperti ini, mencintai tanah yang akhirnya merenggut nyawanya. Rasa sedih yang tumpul menusuk, tapi dia mengubahnya menjadi kekuatan. Dia mencabut rumput lebih kuat, lebih cepat.

Kakinya mulai terasa gatal. Dia melihat ke bawah. Dua ekor lintah hitam kecil sudah menempel di betisnya, menghisap darah. Sarah hampir menjerit, rasa jijik dan takut menyergap. Dia melompat kecil, mencoba mengibas-kibaskan kakinya, tapi lintah itu menempel kuat.

"Jangan digaruk, Sarah!" teriak Pak Mamat dari petak lain. "Ambil garam! Taruh di lintahnya!"

Sarah bergegas ke pematang, kakinya yang berlumpur berat diangkat. Dia merogoh saku celananya, mengambil bungkusan kecil garam kasar yang dibawanya karena ingat cerita Mak Nah tentang lintah. Dengan jari gemetar, dia menaburkan garam di atas lintah-lintah itu. Seketika, lintah-lintah itu mengerut dan melepaskan cengkeramannya, jatuh ke lumpur. Sarah menarik napas lega, melihat dua titik darah kecil di betisnya. Dia membersihkannya dengan air dari botol minumnya, lalu menaburkan garam lagi di area itu untuk mencegah lintah lain mendekat. Hatinya masih berdebar kencang, tapi tekadnya tidak goyah. Dia kembali turun ke sawah, lebih berhati-hati, terus bekerja.