bab 6

Pekerjaan di sawah jauh lebih melelahkan secara fisik dan mental daripada menyabit rumput. Membungkuk terus-menerus membuat punggungnya terasa seperti mau patah. Kaki yang terbenam dalam lumpur membuat setiap langkah terasa berat. Panas matahari membakar kulitnya yang tak tertutup. Dan ancaman lintah atau ular selalu ada di benaknya. Tapi Sarah terus mencabut, membuang, mencabut, membuang. Dia membayangkan setiap rumput yang tercabut adalah satu langkah menuju mimpinya menjadi guru. Dia membayangkan ruang kelas yang bersih, anak-anak yang tersenyum, buku-buku pelajaran, dan dirinya berdiri di depan kelas, berbagi ilmu.

Setelah beberapa jam, perutnya keroncongan keras. Dia melihat ke arah bungkusan sarapannya di pematang. Pak Mamat juga sudah beristirahat di gubuk kecil di ujung sawah. "Istirahat dulu, Sarah! Makan siang!" teriaknya.

Sarah mengangguk, berjalan pelan ke pematang. Dia membersihkan kaki dan tangannya yang penuh lumpur dengan air dari botol minum, meski tidak bisa benar-benar bersih. Kemudian dia duduk di rerumputan pematang yang kering, membuka bungkusan daun pisang. Wangi lontong sayur Bu Salma segera menyeruak. Lontong padat, kuah kuning kental berisi potongan kacang panjang, kol, tempe, dan tahu yang dia iris tadi pagi, ditaburi bawang goreng renyah. Ada juga potongan tempe goreng tepung yang garing. Sarah makan dengan lahap, rasa lapar membuat makanan sederhana itu terasa seperti hidangan istimewa. Dia minum air putih dingin dari botol, melegakan tenggorokannya yang kering.

Saat sedang asyik makan, dia melihat sosok yang dikenalnya mendekat dari jalan setapak. Ardi! Dia mengenakan seragam sekolah, tapi membawa sebuah bungkusan kecil. Sarah buru-buru menyeka mulutnya dengan lengan baju, merasa kikuk dengan penampilannya yang kotor dan berantakan.

"Sarah!" sapa Ardi, tersenyum hangat meski matanya terlihat agak heran melihat kondisi Sarah yang penuh lumpur. "Aku lewat sini mau ke rumah Bibi di ujung desa, ngambil buku. Kulihat kamu di sini."

"Pagi, Ardi," jawab Sarah, berusaha tersenyum meski wajahnya memerah. "Aku lagi bantu Pak Mamat nyiangi rumput."

Ardi memandangnya, ada kekaguman di matanya. "Kamu hebat, Sarah. Kerja keras sekali." Dia melihat bungkusan di tangannya. "Ini... ini aku bawa dari rumah. Ibu aku bikin banyak kue lapis pagi tadi. Buat kamu." Dia menyodorkan bungkusan daun pisang kecil.

Sarah terkejut dan tersipu malu. "Bu... buat aku? Nggak usah, Ardi. Aku udah bawa bekal." Dia menunjuk bungkusan lontong sayurnya yang setengah habis.

"Sudah, ambil aja," desak Ardi, meletakkan bungkusan itu di samping Sarah. "Biar ada tenaga buat lanjut kerja. Aku dengar dari Bu Salma tadi pagi kamu juga bantu dia." Matanya penuh perhatian. "Jangan terlalu dipaksain, ya. Kamu kan masih harus sekolah juga."

Sentuhan perhatian tulus dari Ardi membuat dada Sarah terasa hangat, mengalahkan panas matahari. "Terima kasih banyak, Ardi. Aku... aku baik-baik saja. Aku kuat."

Ardi mengangguk. "Aku harus pergi dulu. Hati-hati di sawah, ya. Sampai ketemu di sekolah nanti!" Dia melambai dan berjalan pergi, meninggalkan Sarah dengan perasaan campur aduk: malu karena kotor, senang karena diperhatikan, dan ada rasa hangat aneh yang menggelitik di perutnya. Dia menyimpan bungkusan kue lapis Ardi dengan hati-hati, menyadari bahwa selain uang dan makanan, kerja kerasnya juga memberinya sesuatu yang lain: rasa dihargai, dan mungkin... perasaan khusus dari seseorang.

Istirahat singkat selesai. Sarah kembali turun ke sawah dengan energi baru. Pekerjaan terasa lebih ringan. Dia terus mencabuti rumput dan enceng gondok hingga petak yang menjadi tugasnya terlihat bersih, akar padi muda bisa bernapas lega. Sinar matahari terik siang benar-benar menyengat saat Pak Mamat akhirnya berkata, "Sudah cukup, Sarah! Bagus kerjanya!"

Sarah naik ke pematang, kakinya terasa sangat lelah dan pegal. Lumpur sudah mengering menjadi kerak kecoklatan di kulitnya. Pak Mamat menghampiri, mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celananya yang juga kotor. "Ini buat kamu, Nak. Terima kasih banyak bantuannya. Besok kalau kuat, boleh datang lagi. Masih banyak petak yang perlu disiangi."

Sarah menerima uang dua puluh ribu rupiah dari Pak Mamat. Ditambah uang dari Bu Salma dan uang kemarin, tabungannya mulai bertambah. "Terima kasih, Pak Mamat! Kalo ada kerjaan, aku pasti dateng." Dia tersenyum lebar, rasa lelah seolah terbayar lunas.

Dia berjalan pulang perlahan, tubuhnya terasa berat, tapi hatinya ringan. Sesampainya di rumah, Mak Nah sedang membersihkan peralatan membuat kue. "Sarah! Dasar anak Bapak, pulangnya kayak anak lumpur!" teriak Mak Nah, tapi matanya berbinar bangga melihat ketegaran anaknya. "Cepat mandi! Airnya sudah aku siapin di ember."

Sarah segera mandi dengan air dingin dari ember di belakang rumah, menyeka lumpur dan keringat yang melekat di kulitnya. Air dingin itu terasa menyegarkan, menghilangkan sisa-sisa kelelahan fisik. Setelah berganti baju bersih – baju biasa, bukan baju kerja – dia makan siang bersama Mak Nah: nasi hangat, sayur bening bayam dan jagung muda hasil kebun, dan sepotong ikan asin. Dia bercerita tentang paginya pada Mak Nah, tentang Bu Salma, Pak Mamat, dan... tentang Ardi yang membawakannya kue. Mak Nah hanya tersenyum bijak, menangkap sedikit kemerahan di pipi anaknya ketika menyebut nama Ardi.

"Mak, aku tidur sebentar ya? Satu jam aja," pinta Sarah sambil menahan letih yang mulai menyerang setelah perut kenyang.

"Tidurlah, Nak. Kamu pasti capek sekali. Nanti jam dua aku bangunin kamu buat bantu nyiapin kue," jawab Mak Nah lembut.

Sarah merebahkan diri di dipan. Begitu kepalanya menyentuh bantal anyaman kasar, matahari terik, dinginnya lumpur, suara ramai di warung Bu Salma, dan senyum hangat Ardi berbaur dalam pikirannya sebelum gelap dan lelap menelannya.

***

Tepat jam dua, Mak Nah membangunkannya dengan sentuhan lembut. "Sarah, bangun Nak. Waktunya bikin kue."

Sarah menggeliat, mengusap mata yang masih berat. Tapi dia segera bangun. Ada pekerjaan lain yang menanti. Di dapur kecil, bahan-bahan untuk kue sudah disiapkan Mak Nah: karung kecil tepung beras dan tepung terigu, gula merah yang sudah disisir halus, sebutir kelapa parut, ragi, daun pandan, dan cetakan kue dari kuningan.

Pekerjaan membuat kue bersama Mak Nah memiliki ritme yang berbeda. Lebih halus, lebih beraroma, dan penuh keakraban. Sarah membantu mencampur adonan. Dia mengayak tepung beras dan tepung terigu ke dalam baskom besar, mencampurkannya dengan tangan. Tekstur tepung yang halus dan dingin menyenangkan di kulit tangannya yang masih sedikit perih. Kemudian dia menambahkan air larutan gula merah yang sudah direbus Mak Nah dengan daun pandan hingga harum. Warna coklat kemerahan yang pekat perlahan bercampur dengan tepung putih, membentuk adonan kental. Sarah mengaduknya dengan kuat, lengannya yang kecil bekerja keras hingga adonan benar-benar halus dan tidak bergerindil. Aroma manis gula merah dan wangi pandan memenuhi dapur kecil.

Setelah adonan utama siap, Mak Nah mengolah kelapa parut untuk isian kue seperti getuk atau untuk taburan serabi. Sarah membantu mengukus adonan-adonan tertentu, menjaga api di tungku *aron* tetap stabil – tidak terlalu besar agar kue tidak gosong, tidak terlalu kecil agar matang sempurna. Dia belajar dari Mak Nah bagaimana mengetahui kue sudah matang hanya dari aromanya dan uap yang keluar dari kukusan. Mereka juga membuat adonan untuk kue kering sederhana seperti kastengel atau nastar nanas, memotong-motong adonan dengan cetakan kecil atau membentuknya dengan tangan.