Saat membuat serabi, Sarah bertugas menuangkan adonan ke atas cetakan kecil yang sudah diolesi minyak dan dipanaskan di atas tungku. *Sssss...* Bunyi adonan menyentuh cetakan panas dan segera mengeras di pinggirannya. Dia harus cepat dan hati-hati agar bentuknya bulat sempurna dan tidak gosong. Mak Nah mengawasinya dengan bangga. "Pelan-pelan, Nak. Sudah bagus, lihat? Warna kecoklatannya pas."
Kerja sama mereka berjalan lancar, diiringi obrolan ringan dan tawa kecil. Meski tubuh Sarah masih mengingat kelelahan pagi dan siang, ada kepuasan tersendiri dalam pekerjaan ini. Menciptakan sesuatu yang indah dan lezat dari bahan-bahan sederhana. Dan dia tahu, setiap kue yang laku besok pagi akan menambah pundi-pundi uang sekolahnya.
Hari semakin sore. Tumpukan kue berbagai jenis mulai memenuhi nampan-nampan bambu yang ditutupi kain bersih: kue cucur coklat keemasan, serabi putih bersih dengan taburan kelapa, getuk hijau pandan yang lembut, kue kering renyah berwarna kuning. Bau manis dan gurih memenuhi rumah kecil mereka.
Saat mereka sedang membersihkan peralatan, terdengar ketukan di pintu. Sarah membukanya. Di sana berdiri Bu Surti, didampingi Mbak Sum.
"Pagi tadi kerja bagus, Sarah," puji Bu Surti langsung. "Kebetulan besok ada tamu dari kota mau datang. Kamu bisa bantu bersih-bersih rumah lagi? Sama bantu Mbak Sum siapin makanan ringan untuk tamu."
Sarah langsung mengangguk antusias. "Bisa, Bu! Pagi aku bantu Bu Salma dulu, abis itu langsung ke rumah Ibu."
"Bagus. Upahnya nanti kita hitung lagi. Oh, kue-kue Mak Nah sudah jadi?" tanya Bu Surti, mencium bau harum.
"Iya, Bu. Baru selesai," jawab Mak Nah yang sudah menghampiri.
"Boleh aku beli beberapa? Untuk tamu besok juga. Yang cucur, serabi, sama getuk," pinta Bu Surti.
Transaksi kecil pun terjadi. Mak Nah dengan bangga membungkus kue pesanan Bu Surti. Uang tambahan mengalir ke tangan Mak Nah, dan senyum bangga mengembang di wajahnya. Sarah melihat itu, rasa lelahnya seolah terhapus. Dia tidak hanya membantu secara fisik; dia juga membantu memasarkan kue Mak Nah.
Setelah Bu Surti pergi, Sarah dan Mak Nah menyelesaikan bersih-bersih dapur. Matahari sore mulai menguning, menerangi debu-debu kecil yang berterbangan di dalam bilik bambu. Mereka duduk sebentar di ambang pintu, menikmati teh hangat dan sepotong kue cucur hasil buatan mereka sendiri.
"Lelah, Nak?" tanya Mak Nah, menatap Sarah dengan mata penuh kasih dan sedikit khawatir.
Sarah menghela napas, memandang tangannya yang mulai mengeras, ada kapalan kecil di telapak tangan, lecet di jari, dan kuku-kuku yang pendek dan tidak terawat. "Lelah, Mak. Tapi..." Dia memandang ke arah tumpukan kue yang siap dijual besok, lalu meraba saku celananya yang berisi uang hasil kerja hari ini. Dia juga memikirkan janjinya ke Bu Salma, Pak Mamat, dan Bu Surti untuk esok hari. Dan dia memikirkan mimpinya, berdiri di depan kelas, membagikan ilmu. "Tapi enggak apa-apa. Aku bahagia bisa bantu Mak. Dan ini..." Dia meraba sakunya lagi. "Ini buat masa depanku. Buat jadi guru."
Mak Nah menarik Sarah dalam pelukan. "Anak Bapak memang hebat. Tapi ingat janjimu. Sekolah nomor satu. Kalo kelamaan kerja sampai ngantuk di kelas, harus kurangi."
"Enggak akan, Mak. Aku janji," bisik Sarah, menikmati kehangatan pelukan ibunya.
Malam tiba dengan cepat. Setelah makan malam sederhana dan shalat, Sarah duduk di bawah lampu minyak yang temaram. Di depannya terbuka buku pelajaran IPA dan buku tulisnya. Matanya terasa berat, kepalanya terasa penuh. Kelelahan seharian menyerang dengan gencar. Angka-angka dan istilah sains berputar-putar di depan matanya. Dia menguap lebar.
*Tidur saja,* bisik sebuah suara menggoda di kepalanya. *Besok pagi juga bisa belajar.*
Tapi dia menggeleng, mengusap matanya. Dia mengambil botol minum, memercikkan sedikit air dingin ke wajahnya. *Tidak.* Dia membuka buku diary kecilnya yang sudah usang. Di halaman kosong, dengan tulisan yang rajin meski tangannya gemetar lelah, dia menulis:
> **Hari Kedua Berjuang.**
> *Pagi: Bantu Bu Salma di warung. Dapat sarapan & Rp 10.000.*
> *Siang: Bantu Pak Mamat nyiangi sawah. Dapat Rp 20.000. Lintah gigit! Tapi aku kuat. Ardi bawa kue. Senang.*
> *Sore/Malam: Bantu Mak bikin kue. Laku ke Bu Surti.*
> *Tabungan hari ini: Rp 30.000. Total tabungan: Rp 63.000.*
> *Lelah sekali. Tapi bahagia. Mimpi: Guru. Besok kerja lagi! Sekolah jangan ketinggalan!*
Dia menatap tulisan itu, lalu menatap buku pelajarannya. Dia mengingat kata-kata Ardi, "Kamu kan masih harus sekolah juga." Dia mengingat janjinya pada Mak Nah. Dan dia mengingat mimpinya.
Dengan tekad yang mengeras seperti baja, dia menundukkan kepalanya kembali ke buku IPA. Bibirnya komat-kamit membaca penjelasan tentang fotosintesis. Tangannya mencatat poin-poin penting. Kelelahan adalah musuh, tapi mimpinya adalah senjata. Dia akan belajar. Dia harus belajar. Untuk menjadi guru yang suatu hari nanti tidak hanya mengajarkan IPA, tapi juga tentang ketangguhan dan arti perjuangan.
Lampu minyak terus menemani, melambai-lambai dalam temaram, menyaksikan seorang gadis yatim yang tubuhnya lelah namun jiwanya membara, menari di atas lembaran kelelahan, melangkah mantap di jalan panjang menuju mimpinya. Fajar esok akan segera tiba, membawa hari baru, kerja baru, dan langkah baru dalam tarian perjuangan Sarah. Tapi untuk saat ini, di bawah temaram lampu minyak dan bintang-bintang yang berkelip di langit gelap Desa Talun Sari, Sarah berjuang dengan caranya sendiri: dengan membuka pintu ilmu pengetahuan, satu kata,satu kalimat, satu halaman demi satu halaman.
Fajar yang ketiga dalam perjalanan baru Sarah menyingsing, membawa aroma tanah basah dan janji kesibukan yang tak kalah padat. Tubuhnya masih menyimpan memori pegal dari dua hari sebelumnya – punggung yang kaku dari membungkuk di sawah, telapak tangan yang perih oleh lecet dan kapalan baru, betis yang masih menyisakan titik-titik merah gigitan lintah. Namun, ketika matanya terbuka di balik temaram bilik bambu, sebelum ayam jantan pertama berkokok, yang terasa bukanlah keluhan. Api kecil yang menyala di dadanya sejak menerima uang pertama dari Bu Surti justru membesar, menjadi kobaran tekad yang menghangatkan seluruh tubuhnya yang lelah. *Hari ini lagi,* bisiknya pada diri sendiri. *Langkah demi langkah.*
Rutinitas pagi dimulai dengan gerakan terampil yang semakin efisien. Menyalakan tungku *aron*, memanaskan air untuk teh, membantu Mak Nah menyiapkan bahan-bahan kue yang akan dijual esok hari sebelum kemudian bersiap untuk tugas pertamanya: warung Bu Salma. Dia menyentuh saku celana dalamnya, merasakan ketebalan uang kertas hasil dua hari kerja. Sekitar seratus ribu rupiah. Jumlah yang belum pernah dia pegang sendiri. Itu adalah energi tambahannya.
Di warung Bu Salma, ritme sudah mulai dikenalnya. Menyiapkan piring, mengiris bahan, lalu melayani pelanggan pagi yang berdatangan seperti air bah kecil. Keramaian itu, teriakan pesanan, bunyi piring, dan percakapan ringan warga desa menjadi soundtrack paginya yang hidup. Sarah menyambut Ardi yang lewat dengan senyum dan lambaian lebih percaya diri hari ini. Ardi membalas dengan senyum lebar dan jempol, membuat jantung Sarah berdegup kencang, bukan lagi karena malu, tapi karena diakui.
"Liat tuh, si Sarah makin cekatan," komentar Pak Jum sambil menyendok soto.
Bu Salma tersenyum bangga. "Iya, Pak. Anak emas Bu sekarang." Dia menyenggol Sarah lembut. "Besok tetep dateng ya, Nak. Bu Salma bagi rejeki."
"Siap, Bu!" jawab Sarah sambil mengantar dua piring ketupat soto ke meja pelanggan baru.
Setelah jam sibuk usai dan menerima bungkusan sarapan serta uang sepuluh ribu yang sekarang terasa seperti bagian dari ritual, Sarah melangkah keluar warung. Mentari pagi sudah hangat, menyinari jalan menuju sawah Pak Mamat. Namun, hari ini, langkahnya terhenti sejenak di sebuah persimpangan kecil. Pandangannya tertarik pada sesuatu yang berbeda.