bab 8

*Ada yang nyewa rumah Mbah Kromo?* pikir Sarah penasaran. Jarang sekali pendatang baru di Desa Talun Sari, apalagi yang memilih tinggal di ujung desa yang agak terpencil itu. Siapa pun dia, pasti orang baru. Pertanyaan itu menggelitik pikirannya sepanjang jalan menuju sawah Pak Mamat.

"Pagi, Sarah! Siap nyemplung lagi?" sambut Pak Mamat seperti biasa, topi capingnya sudah meneduhi wajahnya yang keriput.

"Pagi, Pak! Siap!" jawab Sarah, meletakkan bungkusan sarapan dan botol minum di pematang. Dia sudah lebih siap menghadapi lumpur dan potensi lintah hari ini. Garam kasar di sakunya terasa seperti tameng. Dia menggulung celananya lebih tinggi, turun ke petak sawah yang menjadi tugasnya hari ini. Dinginnya lumpur masih membuatnya menghela napas, tapi tidak lagi mengejutkan.

Kerja mencabuti rumput dan enceng gondok dimulai lagi. *Cabut, buang. Cabut, buang.* Gerakannya lebih terampil, lebih cepat dari kemarin. Dia tahu harus menghemat tenaga karena setelah ini, dia masih harus membantu Bu Surti bersih-bersih rumah dan menyiapkan hidangan untuk tamunya. Pikirannya sempat melayang ke rumah kayu di ujung desa. Siapa yang tinggal di sana? Kenapa memilih Talun Sari?

Tengah hari, saat istirahat dan menikmati lontong sayur Bu Salma di pematang, kejutan itu datang. Seorang pemuda, mungkin sekitar awal dua puluhan, muncul dari arah jalan setapak di seberang sawah. Dia berjalan perlahan, matanya memandang hamparan padi muda di depannya dengan ekspresi serius, hampir khidmat. Dia bertubuh tinggi, langsing, tapi terlihat kuat. Kulitnya tidak terlalu gelap, bukan kulit petani yang terbakar matahari. Dia mengenakan kemeja katun lengan panjang warna abu-abu yang sudah kusam tapi bersih, celana chino coklat yang juga sederhana, dan sepatu kets yang sudah lusuh. Rambutnya hitam ikal pendek, sedikit berantakan tertiup angin. Yang paling mencolok adalah tas ransel besar berwarna hijau tua yang dia bawa, terlihat berat.

Pemuda itu berhenti di ujung pematang, tidak jauh dari tempat Sarah duduk. Dia tidak menyadari keberadaan Sarah. Matanya masih menyapu sawah, lalu menatap ke arah bukit-bukit di kejauhan, seolah menghafal pemandangan. Ada aura kesendirian yang kuat di sekelilingnya, dan sesuatu yang lain… sesuatu yang tertutup, misterius.

Sarah, dengan mulut masih penuh lontong, memperhatikannya diam-diam. Pasti dia penghuni baru rumah Mbah Kromo. *Tampangnya bukan petani,* pikir Sarah. *Lalu kenapa dia di sini?*

Saat akan meminum air dari botolnya, gerakan Sarah menarik perhatian pemuda itu. Dia menoleh, mata coklatnya yang tajam dan dalam bertemu dengan mata Sarah. Sarah tersedak kecil, kaget karena ketahuan mengamati.

"Maaf," kata pemuda itu tiba-tiba, suaranya tenang, jernih, dan terdengar terdidik. "Apa saya mengganggu?" Dia menyapanya dengan bahasa Indonesia yang halus, bukan bahasa Jawa kasar yang biasa dipakai warga desa.

Sarah buru-buru menelan makanannya dan berdiri, sedikit kikuk karena kakinya masih berlumpur. "Oh, tidak, tidak. Enggak apa-apa." Dia menjawab dalam bahasa Indonesia campur Jawa, sedikit gugup. "Saya Sarah. Lagi bantu kerja di sini." Dia menunjuk petak sawah di belakangnya.

Pemuda itu mengangguk, ekspresinya tetap serius tapi tidak unfriendly. "Saya Raka. Baru tinggal di rumah kayu dekat sini." Dia membenarkan tas ransel di pundaknya. "Pemandangannya indah sekali. Sawahnya luas."

"Iya," jawab Sarah, tidak tahu harus berkata apa. "Memang… Bapak mau ke mana?" Dia bertanya polos.

"Raka," dia membetulkan. "Saya hanya jalan-jalan, mengenal daerah. Katanya di sini ada sungai kecil yang airnya jernih?" Dia bertanya balik, matanya memandang Sarah dengan perhatian yang membuatnya sedikit malu.

"Sungai Talun? Ada. Di belakang bukit itu." Sarah menunjuk ke arah barat. "Jalannya agak jauh, lewat jalan setapak di ujung desa itu." Dia menunjuk ke arah yang berlawanan dengan rumahnya.

Raka mengikuti arah tunjuk Sarah. "Terima kasih, Sarah." Dia mengangguk lagi, sopan. "Selamat bekerja." Tanpa basa-basi lebih lanjut, dia berbalik dan berjalan perlahan mengikuti arah yang Sarah tunjukkan, langkahnya mantap meski membawa tas besar.

Sarah terdiam, memperhatikan punggung Raka yang menjauh. *Raka.* Namanya sederhana. Tapi sikapnya… berbeda. Sopan, tapi ada jarak. Tidak seperti warga desa yang biasanya ramah dan langsung akrab. Dan matanya… matanya seperti menyimpan banyak cerita yang tidak dia bagikan. Misterius. Kenapa dia membawa tas besar hanya untuk ‘jalan-jalan’? Keingintahuan Sarah semakin besar.

Sisa waktu di sawah, pikirannya sesekali melayang ke pemuda pendatang itu. Dia menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, mendapat upah dua puluh ribu lagi dari Pak Mamat, dan bergegas pulang untuk mandi dan berganti baju sebelum ke rumah Bu Surti. Kali ini, dia mengenakan baju terbaiknya yang tidak terlalu usang – baju katun kuning muda dengan motif bunga kecil yang pudar.

Di rumah Bu Surti, kesibukan sudah dimulai. Mbak Sum terlihat kewalahan. Bu Surti ingin rumahnya berkilap untuk menyambut tamu dari kota besok.

"Sarah! Syukurlah kamu datang!" sambut Mbak Sum. "Bantuin gosok lantai ruang tamu dan teras pakai pel ya? Aku sibuk di dapur bikin kue dan potong buah."

Sarah langsung bekerja. Mengambil ember, mengisinya dengan air bersih dan sedikit sabun, lalu menggosok lantai ubin rumah Bu Surti yang luas dengan pel dan tangan yang cekatan. Dia berlutut, menggerakkan pel dengan tenaga penuh. Keringat membasahi pelipisnya. Bau sabun dan pembersih lantai memenuhi hidungnya. Dia fokus, ingin membuktikan kalau dia bisa diandalkan.

Saat sedang asyik menggosok sudut ruang tamu dekat jendela besar yang menghadap ke jalan, pandangannya tertangkap gerakan di luar. Raka! Dia sedang berjalan kembali di jalan desa, tas ransel besar masih di pundaknya, terlihat lebih berat. Bajunya sedikit kotor di bagian lutut, seperti habis berlutut di tanah. Dia berhenti sejenak di depan pagar rumah Bu Surti, melihat sekeliling, lalu pandangannya menatap ke arah jendela tempat Sarah berada.

Sarah cepat-cepat menunduk, merasa ketahuan mengintip lagi. Tapi rasa ingin tahunya mengalahkan rasa malu. Dia mengintip pelan. Raka masih di sana, tapi sekarang sedang berbicara dengan seorang anak kecil, Agus, anak tetangga yang sedang main layangan di jalan. Raka membungkuk, bertanya sesuatu pada Agus. Agus menunjuk ke arah rumah Mbah Kromo. Raka mengangguk, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya – sebatang permen lolipop – dan memberikannya pada Agus. Agus menerimanya dengan senyum lebar sebelum berlari pergi. Raka berdiri lagi, melihat sekeliling sekali lagi, dan kali ini, matanya benar-benar menangkap Sarah yang sedang mengintip dari balik jendela.

Mereka saling memandang sejenak. Sarah merasa darah mengalir deras ke wajahnya. Dia tersipu malu. Raka tidak tersenyum, hanya mengangguk pelan, sangat halus, sebelum akhirnya berjalan melanjutkan langkahnya menuju rumah Mbah Kromo.

*Dia pasti mengira aku pengintip,* pikir Sarah, merasa bodoh. Dia kembali fokus menggosok lantai, tapi pikiran tentang Raka dan permen yang dia berikan pada Agus tidak bisa hilang. Pemuda misterius yang sopan tapi berjarak, tapi bisa ramah pada anak kecil.

Kerja di rumah Bu Surti selesai menjelang sore. Sarah membantu Mbak Sum menyusun piring kue dan buah di meja tamu, menyetrika taplak meja, dan membereskan dapur. Bu Surti sangat puas.

"Kamu memang anak rajin, Sarah. Besok pagi sebelum tamu datang, bisa tolong bantu lagi? Terutama untuk hiasan bunga teras dan pastikan semuanya rapi," pinta Bu Surti sambil memberikan uang lima puluh ribu rupiah – jauh lebih banyak dari kemarin. "Ini termasuk untuk besok pagi.