Ref duduk diam di lantai beton itu selama entah berapa jam. Lampu di atasnya berkedip pelan, mengeluarkan suara listrik mendesis. Bau darah sudah menjadi bagian dari napasnya. Tapi ada yang lebih mengganggu daripada bau itu:
Kepalanya.
Suara. Bisikan. Bukan dari luar. Dari dalam.
"Potong urat lehernya."
Dia memejamkan mata. “Diam.” Tapi bisikan itu tidak pergi.
Tiba-tiba, suara pintu besi tua mengerang dari kejauhan. Ref mendongak. Seseorang—atau sesuatu—memasuki gudang itu. Langkahnya berat. Berbunyi logam. Satu… dua… tiga...
Ref meraih pisau berkarat yang tadi tergeletak. Tangannya gemetar… tapi tidak karena takut. Itu rasa lapar. Rasa ingin menghancurkan.
“Ref,” kata suara itu. Suara laki-laki, tapi dalam, berat. Seperti tenggorokan yang rusak. “Kau masih ingat suaramu sendiri?”
Dari balik bayangan pilar muncul pria tinggi. Wajahnya tertutup kain kasa. Tubuhnya penuh bekas luka. Dan di tangannya—topeng rusa.
“Kau belum selesai. Mayat-mayat ini belum cukup.”
Ref ingin lari. Tapi kakinya tak mau bergerak. Sebaliknya, ada senyum perlahan muncul di wajahnya.
Bukan senyum dirinya. Tapi senyum “Ref yang lain.”
Dan Ref sadar… dia tidak sendiri di tubuh itu.