Hari itu langit abu-abu. Kota seperti biasa—ramai, bising, penuh orang yang tak sadar bahwa ada seseorang di tengah mereka yang baru saja membunuh... dan menikmati rasanya.
Ref mengenakan jaket tua, wajahnya tertutup masker. Tak ada yang tahu siapa dia. Tapi dia tahu satu hal: semua orang di sini bisa jadi korban berikutnya.
“Yang ini saja, potong pelan.”
Suara itu kembali berbisik di kepalanya.
Ref mencoba menolak.
Tapi matanya bergerak sendiri... menatap seorang remaja perempuan di halte. Sendirian. Headset. Matanya kosong.
Dia mendekat.
Tapi sebelum tangannya bergerak, seseorang menyentuh bahunya.
“Ref?”
Dia membalikkan badan. Seorang pria muda. Berkacamata.
“Kau… Ref, kan? Lu temennya Odi?”
Nama itu. Odi.
Sebuah kilasan muncul. Gudang. Tangan. Jeritan.
Ref menatapnya lama.
“Iya,” katanya pelan.
Pria itu tertawa lega. “Gila, bro. Lu ngilang udah 2 minggu. Gue kira udah… ya tau lah.”
Ref hanya diam. Tangannya bergetar.
Dalam pikirannya: “Harusnya dia juga ikut lenyap.”
Tapi tidak.
Dia tahan. Dia balik badan dan pergi cepat.
“Kenapa kau lari?” bisik suara dalam.
“Kau bisa mulai hari ini. Satu… dua… mereka tidak penting.”
Ref masuk ke gang sempit. Bersandar ke tembok. Napasnya berat.
Tangannya berdarah. Padahal dia tak ingat menyentuh siapa pun.
Lalu dia sadar. Pisau di saku jaketnya... tidak kosong.
Ada darah segar.
Dia memejamkan mata. Tertawa kecil.
“Jadi aku udah mulai... ya?”
Tak jauh dari situ, suara sirine polisi meraung. Seseorang ditemukan tergeletak di halte.
Nafasnya nyaris habis.
Lehernya... terbuka.