Hari itu Ref bermimpi terbakar. Tapi bukan oleh api.
Melainkan oleh mata—ratusan mata tak kasatmata, menatap dari balik dinding, dari balik kaca, dari balik dirinya sendiri.
Saat bangun, tangannya penuh luka kecil seperti cakaran… padahal ia tidur sendirian.
Di cermin, ada coretan samar di lehernya.
Sebuah simbol. Tiga garis yang membentuk satu mata tertutup.
Ia mencoba menghapusnya—tapi tidak bisa. Simbol itu seperti tertanam.
Dan ketika dia menatapnya lebih lama… matanya sendiri berubah merah.
---
Di luar, malam turun cepat. Ref berjalan ke arah rel tua di pinggir kota, seperti ditarik oleh sesuatu. Dan di sana—di bawah tiang listrik mati—ia melihatnya:
Seorang wanita.
Masker hitam. Rambut pendek. Mata tajam. Berdiri diam, menatap Ref… seolah sudah menunggunya sejak lama.
“Ref,” katanya tanpa suara—tapi suaranya muncul di kepalanya.
Dia melangkah mendekat.
“Kau... nomor tiga. Tapi kau belum siap.”
Ref mundur. “Siapa kau?”
“Namaku Dera. Aku… pengaktif. Dan kau adalah salah satu dari tujuh.”
Ref mencengkeram pisau. Tapi Dera tak gentar.
“Ruah memilihmu karena kau rusak. Tapi rusak bukan kutukan. Itu hadiah.”
Dia melangkah pelan.
Tangannya menyentuh dada Ref — dan dunia tiba-tiba berputar.
Suara. Darah. Jeritan. Lima wajah muncul dalam pikirannya — semuanya… akan mati.
Dan satu wajah terakhir—wajahnya sendiri. Tapi bukan sebagai korban.
Sebagai algojo.
Ref terjatuh, tubuhnya bergetar. Dera berdiri di atasnya, tenang.
“Ini awalnya, Ref. Ruah telah menanam benih dalam dirimu.”
Ia menunduk.
“Dan aku… yang akan membuatnya tumbuh.”