Uji Darah

Pukul 03:12 pagi. Ref terbangun di lantai pabrik tua. Tangan terikat. Mulut berdarah.

Di depannya: seorang pria paruh baya terikat juga. Matanya membiru karena dipukul.

Ia terus berkata: “Tolong, saya nggak kenal kamu. Tolong… saya cuma petugas parkir…”

Di tengah mereka, ada meja besi.

Di atasnya: pisau, palu, gunting, dan sebuah kamera menyala.

Di balik kaca gelap, siluet Dera terlihat, duduk tenang.

Suaranya keluar lewat speaker rusak:

“Ref. Sekarang, uji darah dimulai.”

Ref menggertakkan gigi. “Aku nggak akan nurut. Bukan aku yang taruh dia di sini.”

Dera menjawab, datar:

“Bukan. Tapi bagian darimu yang sudah kami lepaskan — dia yang pilih korban.”

Layar menyala.

Tiga rekaman muncul. Semuanya wajah Ref.

Ketiganya… menyiksa orang dengan benda berbeda.

Tapi Ref tak ingat melakukannya.

Atau… mungkin itu mimpi? Atau hanya visual manipulasi?

“Kau bisa bebaskan dia,” lanjut Dera. “Cukup… pilih satu dari alat di meja.

Kalau kau pakai itu padanya, bahkan hanya satu goresan kecil… kami akan bebaskan dia.”

Ref menatap lelaki itu. Korbannya.

Lalu menatap cermin di dinding.

Dan ia melihat — bayangannya… sudah berdiri di belakang pria itu.

Menatapnya. Tersenyum.

Mengangkat palu… siap menghancurkan.

Dera berkata, pelan.

“Kalau kau tak mulai… bayanganmu yang akan selesai.”

Ref menjerit:

“Berhenti! AKU YANG AKAN—”

Tangannya bergerak sendiri. Ia ambil gunting.

Tangan gemetar. Air mata jatuh.

Ia tak tahu lagi… apa yang ia lindungi, dan apa yang ia hancurkan.

Satu goresan. Di pipi korban.

Dera mengetuk kaca.

Bayangan Ref menghilang.

Korban dilepaskan.

Ref… ditinggalkan sendiri, berlutut di darah yang bukan miliknya.