Pecahnya Filter

Hari kelima.

Ref tak tidur. Atau… mungkin ia tidur dan tak pernah bangun.

Ia tak yakin lagi.

Di jendela, bayangannya tidak mengikuti geraknya. Ia berkedip — bayangan tidak.

Ia bernafas — bayangan hanya menatap.

Di tengah malam, ia mendengar langkah kaki… dari dalam kepalanya.

Bukan suara. Bunyi. Berat. Pelan. Mendekat.

Tiba-tiba, suara ibunya.

“Ref, kamu kenapa, Nak?”

Ref terdiam. Ibunya sudah meninggal tiga tahun lalu.

Tapi suara itu… begitu nyata.

Dan dari pantulan cermin kecil di meja, ia melihat — sosok wanita, berdiri di belakangnya. Bukan ibunya. Tapi dengan suara ibunya.

“Kau harus ikuti saja, Ref,” katanya lembut.

“Jangan dilawan. Dunia ini bukan untukmu lagi.”

---

Hari berganti.

Ia pergi ke supermarket, mencoba menjalani hidup biasa. Tapi saat ia bicara pada kasir… semua orang di dalam toko berhenti bergerak.

Diam. Beku.

Lalu menoleh serempak, menatap Ref.

Dan serempak… tersenyum.

Dari speaker toko, suara pecah terdengar:

“Tiga masih menolak. Haruskah kita rusak filternya?”

Ref berlari keluar. Dunia mulai seperti panggung, dan dia bukan aktor… tapi bahan eksperimen.

---

Malamnya, Dera datang ke kamarnya.

Diam. Menatap. Ref mencengkeram pisau.

“Apa aku gila?” tanya Ref.

Dera menjawab, “Tidak. Kau hanya… kehilangan filter.”

Ia duduk di meja, tenang.

“Ruah membuat dunia jadi seperti ini. Bukan untuk menyiksa, tapi menyaring. Dan kau… terlalu sadar untuk tetap waras.”

Dera meletakkan tangan di kepala Ref.

“Kau tak akan mati, Ref. Tapi bagian dalammu… akan perlahan tergantikan.”

Di kepalanya, Ref melihat kota yang terbakar, jalan penuh orang bertopeng, dan dirinya sendiri… tanpa wajah, berjalan membawa obor.

Suara-suara itu kembali:

“Tiga. Kau tak bisa pergi. Kau bukan manusia biasa lagi.”