Tabir tersembunyi

Bi Surti sudah hafal mati suara-suara di rumah besar ini.

Bukan cuma debam pintu atau langkah kaki yang berat, tapi juga desah napas tersembunyi. Suara-suara yang tidak terucap, namun terasa menusuk di setiap dinding, di setiap ubin yang dingin.

Seolah rumah itu sendiri sedang menahan napas, penuh dengan amarah yang mendidih atau rahasia yang terkubur dalam-dalam.

Sejak malam pertengkaran hebat antara Tuan Deva dan Nyonya Tiara, suasana rumah jadi makin kaku.

Tuan Deva, biasanya setenang air danau, kini berubah seperti batu.

Ia nyaris tak pernah bicara, seolah setiap kata adalah beban yang terlalu berat untuk diucap. Langkahnya cepat, mata tajam dan dingin, bibirnya kaku, enggan sedikit saja tersenyum.

Bahkan saat berpapasan dengan Nyonya Tiara, tubuh Tuan Deva tampak menolak, seolah Nyonya Tiara adalah virus yang harus dijauhi.

Nyonya Tiara? Ah, Bi Surti mengenal betul sandiwara gadis itu.

Senyum manisnya saat menyapa Bi Surti setiap pagi, senyum yang tak pernah sampai ke mata.

Tangan cekatannya menyiapkan sarapan, kesabarannya menyiram tanaman, ketelitiannya membersihkan meja makan—semua itu cuma topeng.

Wajah sabar istri teladan yang sempurna di mata dunia. Tapi Bi Surti tahu, hari ini, topeng itu mulai retak.

Pagi itu, aroma sayur bening dan ikan goreng memenuhi dapur.

Bi Surti tengah merapikan alat masak, matanya melirik Nyonya Tiara yang sedang memotong bawang.

Mata sembab itu bukan karena pedasnya bawang, Bi Surti tahu.

Wanita itu gelisah sejak semalam, hatinya terus berdesir tak enak. Bukan, bukan karena Tuan Deva yang semakin menjauh.

Tapi karena keterjebakannya sendiri yang mulai terlihat.

Bi Surti memang selalu ada, mendengarkan setiap bisikan, diam-diam mencatat setiap gerak-gerak Nyonya Tiara dalam benaknya yang tajam.

Ia sudah lama merasakan ada yang tidak beres dengan Nyonya Tiara.

"Bi, tolong ambilkan aku garam di rak atas," ucap Tiara tanpa menoleh, suaranya dipaksakan tenang.

Bi Surti tidak menjawab, ia hanya bergerak. Tangannya terulur, meraih botol garam dari rak tanpa ekspresi apa pun.

Lalu meletakkannya di meja dapur. Ting! Suara botol kaca menyentuh kayu terdengar lebih keras dari biasanya, Bi Surti sengaja.

Ia tahu itu akan menggetarkan saraf Nyonya Tiara.

Nyonya Tiara mengangkat wajah, menatapnya.

"Bi... kamu kenapa?" Nada suaranya pura-pura lembut, Bi Surti bisa merasakan ketegangan yang sulit disembunyikan di baliknya.

Bi Surti menatap gadis itu datar, matanya seperti sumur tanpa dasar. "Saya ini cuma pembantu, Neng.

Tapi saya tahu mana yang bener... mana yang sandiwara." Ada nada mencemooh yang tak bisa disembunyikan Bi Surti dari ucapannya yang sopan.

Tangan Nyonya Tiara yang memegang pisau terhenti di udara.

Jantungnya pasti berdegup kencang, Bi Surti bisa melihatnya dari sorot mata Tiara.

"Apa maksud bibi?" Wanita itu memiringkan kepala sedikit, wajahnya masih tersenyum, namun senyum itu kini tampak seperti topeng yang nyaris pecah di mata Bi Surti.

"Maksud saya..." Bi Surti mendekat, suaranya hampir seperti bisikan, namun setiap kata terasa seperti tusukan yang tepat sasaran.

"Kalau mau mempertahankan rumah tangga, jangan cuma akting, jaga sikap, jangan terlalu berani."

Bi Surti tahu siapa yang dia provokasi.

Nyonya Tiara membeku, darahnya terasa dingin.

Bi Surti bisa melihat dadanya bergemuruh, amarah dan ketakutan bercampur aduk.

Tapi wanita itu tetap tersenyum, berusaha keras mempertahankan kendali diri.

"Bi Surti mulai kurang ajar, ya? Saya ini istri Mas Deva, saya majikan kamu juga."

Nyonya Tiara menekan nada bicaranya, suaranya kini penuh otoritas palsu.

"Saya berhak atas semua yang ada di rumah ini."

Bi Surti menyeringai sinis, senyum yang selalu membuat Nyonya Tiara tidak suka.

"Iya, berhak... Tapi tidak sepenuhnya, kan?"

Ada kemenangan yang jelas di mata Bi Surti, ia tahu ia sudah memojokkan gadis itu.

Deg.

Bi Surti melihat mata Nyonya Tiara membelalak sesaat, terkejut karena dia tahu.

Tapi dengan cepat, wanita itu menutupi keterkejutannya, berusaha keras agar tidak terlihat lemah. "Jaga mulut bibi!" bisiknya tajam, ancaman tersirat jelas.

"Kalau mulut saya bicara, kamu yang hancur duluan," jawab Bi Surti santai, seolah sedang membicarakan cuaca.

Ia lalu berbalik, meninggalkan dapur, meninggalkan Nyonya Tiara yang terpaku dalam kemarahan dan ketakutan yang berusaha ia sembunyikan.

Bi Surti tahu Nyonya Tiara berdiri mematung di sana, tangannya gemetar, bukan karena takut... tapi karena marah.

Marah karena ada orang lain yang tahu rahasianya, marah karena Bi Surti berani melawannya.

Beberapa saat kemudian, Tuan Deva keluar dari kamarnya.

Wajahnya tampak lelah dan dingin, seperti biasa.

Bi Surti tahu Tuan Deva tidak pernah tidur nyenyak, pikirannya pasti dipenuhi masalah pekerjaan dan kekacauan rumah tangganya.

Rambutnya sedikit berantakan, matanya sayu namun penuh tekanan.

Tekanan yang Nyonya Tiara tidak akan pernah pahami, karena gadis itu tidak pernah benar-benar mencoba memahami.

Tuan Deva berjalan menuju ruang tengah tanpa melirik ke arah Nyonya Tiara sedikit pun, seolah gadis itu tidak ada di sana.

Nyonya Tiara yang sejak tadi duduk di sofa dengan tangan gemetar dan hati kacau, segera berdiri.

Ia memberanikan diri untuk kembali mendekat, mencoba menyentuh lengan Tuan Deva dengan ekspresi setenang yang bisa ia ciptakan.

Topengnya terpasang kembali.

"Mas... aku masakin sup ayam hangat," katanya pelan, suaranya terdengar manis dan penuh perhatian.

Tuan Deva berhenti sejenak, lalu menoleh. Matanya tajam, menusuk, seolah melihat menembus topeng Nyonya Tiara.

Ia tidak berteriak kali ini, namun ucapannya lebih menusuk daripada teriakan apa pun.

"Tiara, aku tidak butuh makananmu." Suaranya datar, tanpa emosi.

Nyonya Tiara menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang mendesak.

"Tapi aku istri mas—"

"Berhenti menggunakan status itu untuk mengikatku," potong Tuan Deva cepat, suaranya meninggi sedikit.

"Kau pun tahu semua ini tidak normal.

Kau tahu segalanya sejak awal, tapi tetap memainkan peran sebagai korban. Aku lelah dengan semua ini."

Nyonya Tiara terdiam, terpukul oleh kata-kata Tuan Deva yang tepat sasaran.

Matanya membelalak, nyaris menangis lagi, tapi Bi Surti tahu itu tak akan berarti apa-apa bagi Tuan Deva.

Wanita itu mencoba merespons, mencari pembelaan, namun suara Bi Surti dari arah dapur menghentikannya.

Bi Surti muncul dari balik pintu dapur, membawa nampan berisi gelas-gelas teh.

"Apakah kamu beneran sedih atau cuma sedang berakting?" ujarnya santai, namun ada nada mengejek yang jelas.

Tiara melirik cepat ke arahnya.

Bi Surti tahu ada tatapan menghina di sana—atau mungkin itu hanya perasaan Tiara saja, paranoia yang mulai menggerogotinya.

Tapi senyum sinis yang tak sepenuhnya hilang dari wajah Bi Surti membuat Tiara menggertakkan giginya diam-diam, menahan amarah yang membuncah.

"Kalau kamu tahu kamu nggak diinginkan, jangan terus ngerecokin rumah ini," gumam Bi Surti pelan, namun cukup keras untuk didengar Tiara.

Dia tahu persis bagaimana memprovokasi gadis itu.

Nyonya Tiara mendekat, matanya menyala.

"Apa maksud Bibi?" suaranya rendah, nyaris seperti desisan ular yang siap menyerang.

Bi Surti menatap balik, tak gentar sedikit pun. Ia sudah terlalu lelah dengan sandiwara Nyonya Tiara.

"Maksud saya, ada tempat buat orang yang tahu diri. Tapi rumah ini bukan salah satunya. Kamu tidak pantas di sini."

Mata Tiara melebar, wajahnya memerah padam karena amarah dan penghinaan.

Tapi sebelum ia sempat membalas, Tuan Deva sudah berjalan menjauh, seolah tak tahan lagi dengan drama yang terus berulang.

Ia meninggalkan dua wanita yang saling membenci dalam diam, terperangkap dalam perang dingin mereka sendiri.

Tuan Deva berdiri membelakangi Tiara, menatap jendela yang perlahan mengembun oleh udara malam.

Pikirannya kalut, mencari jalan keluar dari labirin rumah tangganya.

Tangan kirinya mengepal di sisi tubuh, tegang, sementara tangan kanannya gemetar memegang gelas berisi air yang bahkan belum disentuhnya.

Bi Surti bisa melihat kegelisahan batin Tuan Deva yang begitu mendalam.

Langkah kaki Nyonya Tiara terdengar pelan, ragu, seperti ingin mendekat namun juga takut disalahkan lagi, takut akan penolakan Tuan Deva.

"Mas Deva..." Suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara detik jam dinding yang bergema di keheningan.

Tuan Deva tidak menjawab, ia tidak ingin lagi berinteraksi dengan Nyonya Tiara.

Ia hanya ingin kedamaian.

Nyonya Tiara menatap punggung pria itu dengan mata yang sulit ditebak—bukan hanya sedih, tapi ada sesuatu yang lebih kelam di sana, sebuah rahasia yang ia simpan rapat.

Sesuatu yang tidak bisa disuarakan, hanya bisa disembunyikan di balik wajah lembut dan senyum yang ia bangun setiap hari untuk menipu dunia.

Bi Surti berdiri di ujung lorong, diam-diam memperhatikan, matanya tajam mengawasi.

Di tangannya masih ada sisa noda sabun dari cucian yang belum sempat ia bilas, bukti dari kerja kerasnya.

Matanya tidak lepas dari Nyonya Tiara, mengamati setiap gerak-gerik gadis itu.

Sesaat pandangan mereka bersitatap. Nyonya Tiara tersenyum kaku, senyum yang tidak mencapai matanya.

Bi Surti membalas dengan anggukan ringan, namun di balik anggukan itu ada perhitungan.

Bi Surti tahu, ia telah melihat cukup.

Ia melihat retakan pada topeng itu, tanda-tanda kebenaran yang akan segera terungkap.

Saat itu... sebuah notifikasi bunyi terdengar dari ponsel Nyonya Tiara, memecah keheningan.

Bi Surti melihat mata gadis itu membelalak, jantungnya berpacu.

Satu pesan baru. Nomor tak dikenal.

"Kamu pikir dia akan tetap diam selamanya?"

Nyonya Tiara buru-buru mematikan ponsel dan menyembunyikannya di balik bantal sofa, seolah pesan itu adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Tapi Bi Surti masih menatapnya, bukan dengan kecurigaan buta, melainkan seperti saksi yang menunggu kehancuran Tiara yang tak terhindarkan.

Dan Tuan Deva? Ia masih membelakangi semuanya, terperangkap dalam dunianya sendiri. Seolah dinding di depannya lebih jujur daripada apa pun yang ada di rumah ini, lebih jujur daripada sandiwara yang dimainkan Nyonya Tiara, lebih jujur daripada rahasia yang disembunyikan semua orang.

Malam kembali hening.

Tapi tidak satu pun dari mereka benar-benar tenang.

Karena satu persatu kebenaran... mulai menyusup lewat celah-celah ketenangan palsu, siap meruntuhkan fondasi rumah yang selama ini berdiri di atas kebohongan.​