Cila, Kedatangan mama papah dan deva

POV Tiara

Kisah cintaku yang rumit dan palsu

****************

Sudah tiga hari ini aku merasa seperti tahanan rumah.

Rumah megah ini seperti penjara berdinding kaca....mewah, tapi hampa.

Mas Deva belum pulang sejak pertengkaran terakhir itu, dan Bi Surti tak banyak bicara padaku, hanya menatap seperti menahan muntah setiap kali aku minta dibuatkan teh.

Pagi ini aku menyerah pada kejenuhan.

Aku mengenakan blouse putih longgar dan celana kulot hitam, memulas lip balm tipis, dan mengambil tas selempang kecil.

Satu helaan napas sebelum keluar, dan langkahku terasa lebih ringan, meski hanya sebentar.

“Bi, aku ke luar sebentar ya, mauu ketemu temen,” kataku sambil tersenyum.

Bi Surti bersedekap di dapur, menatapku seperti sedang menakar kesabaran. Ia tak menjawab. Biar saja.

Hari ini aku berencana mengunjungi Kafe yang sering kudatangi saat aku ke kampus.

Saat ini aku sedang libur menjelang pernikahan ku kemarin.

Diperjalanan kali ini cukup lenggang tidak sepadat biasanya.

Jadi mudah untukku melajukan mobilku, ah mobil ini hadiah pernikahan dari mama dan papaku.

Aku dilahirkan dikota Cin, saat lulus SMP aku memutuskan melanjutkan SMA ku di kota Mon.

Selain kita ini lebih besar dan ramai, Oma Opa serta keluarga ku yang lain... juga tinggal disini.

Beberapa menit kemudian, aku akhirnya sampai,

kaki ku melangkah memasuki sebuah Kafe Saffron Bean di Distrik Jons tak pernah gagal memberi rasa hangat, bahkan dengan AC nya yang sangat dingin menusuk.

Aku memilih duduk di pojok, dekat jendela besar. Latte favoritku mengepul pelan di atas meja, temaram cahaya pagi menyinari pinggiran cangkirnya.

Langkah tergesa dan suara khas menyentakku.

“Ih, Ra! Lo ke mana aja sih? Tiba-tiba ngilang! Chat nggak dibalas, di kampus nggak kelihatan, di grup Line juga lenyap.

Gue sampe mikir lo kabur ke Bali!” Cila menjatuhkan dirinya di kursi seberang, napasnya masih tersengal.

Aku tertawa kecil, mencolek ujung cangkir. “Maaf, Cil... Aku lagi ribet banget akhir-akhir ini.”

Dia melotot setengah bercanda. “Ribet apaan? Jangan-jangan lo kabur sama cowok, ya?”

Aku menggigit bibir, mengatur nada. “Aku... udah nikah, Cil.”

“Hah?!”

“Dijodohin.”seru Cila

Mata Cila membesar, seolah butuh waktu buat mencerna. “Sumpah?”

Aku mengangguk pelan.

“Mama sama Papaku maksa, katanya... demi menutupi aib keluarga.” Jelasku pelan, seperti takut didengar meja sebelah.

“Aku nggak punya pilihan, Cil. Kalau aku nolak... bisa-bisa keluarga aku berantakan.”

Cila mengembuskan napas panjang.

“Ya ampun, Ra... Lo baru dua puluh tahun.

Ngapain sih orang tua lo mikir sejauh itu? Suaminya siapa?”

“Namanya Deva,” jawabku, nyaris berbisik.

“Yang suka jemput lo pake mobil hitam? Gila, Ra... dia ganteng banget! Tapi kok... kelihatannya kayak... galak?”

Aku menatap kopi yang mulai mendingin. “Iya dia baik, kok. Cuma... mungkin kaget juga dijodohin sama aku.”

Cila anak Sastra, beda fakultas denganku yang masuk Seni.

Kami satu kampus di Gunadarma, dan udah sahabatan sejak SMA.

Dulu dia anak rumahan yang hidupnya nggak jauh-jauh dari buku puisi dan film lawas.

Tapi itu justru bikin aku nyaman.

Cila selalu percaya setiap kalimatku.

Dulu waktu SMA, aku pernah cerita soal cowok yang nyakitin aku, dan dia langsung nangis.

Padahal... ya, nggak separah itu juga.

Tapi ada sesuatu yang menyenangkan saat seseorang menangis karena ceritamu.

Rasanya... kayak dicintai.

Di kampus, aku nggak punya banyak teman.

Bukan karena aku aneh, cuma... orang-orang kadang nggak suka kalau kita terlalu beda.

Mungkin gaya bicara, mungkin cara berpakaian, atau mungkin karena aku nggak suka basa-basi yang mereka agungkan.

Mereka mungkin mikir aku nyebelin. Tapi... siapa peduli? Aku punya Cila.

Dan Cila nggak pernah bilang apa-apa soal itu. Dia selalu percaya apa pun yang aku bilang.

“Terus lo bahagia?” tanya Cila.

Aku mengangkat bahu, menyesap sisa latte. “Aku berusaha bahagia.”

Dan itu bukan bohong. Aku memang berusaha.

Karena aku yakin, Mas Deva akan sayang kalau aku cukup sabar.

Karena aku tahu dia sebenarnya butuh aku....

dia cuma belum sadar.

Aku masih ingat jelas pertama kali lihat Mas Deva, waktu aku masih SMA.

Dia datang ke rumah untuk urusan keluarga, pakai kemeja biru langit dan celana bahan. Dingin, rapi, nyaris nggak tersentuh.

Aku ngintip dari balik pintu dapur waktu dia bicara sama Mama.

Waktu itu aku cuma bisa berdoa dalam hati, semoga suatu hari nanti... aku bisa jadi bagian dari hidupnya.

Dan sekarang... doa itu terkabul.

Dengan caraku sendiri.

****************

Setelah pertemuan itu, aku melangkah pulang dengan langkah ringan tapi kepala penuh kebingungan.

Dunia kampus yang semarak berganti dengan udara dingin dan sepi saat mobil menurunkanku di depan rumah.

Aku melangkah masuk, berharap menemukan ketenangan. Tapi seperti biasa...

“Akhirnya pulang juga, Neng,” dengus Bi Surti begitu melihatku melangkah masuk. “Udah sore, Bu Tiara.”

Nada suaranya tajam, dan matanya menatapku penuh penilaian. Aku berusaha tetap tersenyum. “Tadi agak macet, Bi.”

“Macet katanya...” gumamnya, sebelum kembali melanjutkan pelan-pelan mengepel lantai, tapi sorot matanya tetap menusuk.

Aku memilih mengabaikannya dan langsung menuju kamar.

Tapi sebelum sempat menutup pintu, suara Mas Deva terdengar dari lantai bawah, tegas dan mengandung peringatan.

“Tiara, orang tuamu sebentar lagi sampai. Jangan bikin masalah.”

Aku membeku di ambang pintu. “Orangtuaku... datang ke sini?”

“Ya. Mereka mau lihat keadaanmu,” jawabnya dingin.

Jantungku berdetak lebih cepat. Entah senang, entah panik.

Sudah lama aku tidak bertemu Mama dan Papa sejak pernikahan itu.

Apa mereka akan percaya kalau aku benar-benar baik-baik saja di rumah ini?

****************

Sore itu, rumah terasa berbeda. Untuk pertama kalinya, Mas Deva memintaku menyiapkan kamar bersama.

Katanya, hanya sementara.... demi meyakinkan Mama dan Papa bahwa kami hidup bahagia. Jantungku berdebar saat ia berkata begitu, tapi wajahnya datar seperti biasa.

“Kalau mereka lihat kita masih pisah kamar, mereka akan mulai curiga,” katanya. “Aku nggak mau itu terjadi.”

“Jadi... kita tidur sekamar malam ini?” tanyaku pelan, hampir tak percaya.

Ia tidak menjawab. Hanya berbalik pergi, meninggalkanku dengan senyum kecil yang kupaksakan.

****************

Malam yg datang begitu cepat, membawa udara dingin dan aroma embun yang samar.

Lampu-lampu rumah menyala temaram, dan saat bel rumah berbunyi, jantungku ikut berdegup lebih cepat.

Aku berlari kecil ke pintu, dan begitu membukanya, kulihat dua wajah yang paling kurindukan—Mama dan Papa.

“Mama… Papa…” bisikku, nyaris tercekat.

Mama langsung memelukku erat.

Hangat tubuhnya membuatku ingin menangis, tapi aku tahan. Tidak boleh. Tidak malam ini.

“Anak kesayangan Mama… apa kabar, sayang?” suara Mama lembut, namun ada getar khawatir di sana.

Matanya menyapu wajahku, seolah mencari jawaban dari kerutan tipis yang mungkin belum bisa kusembunyikan.

Aku mengangguk cepat, tersenyum paksa. “Alhamdulillah, baik, Mah…” suaraku nyaris tak terdengar.

Papa mengangguk, lalu menepuk pundakku pelan. “Kamu makin dewasa, Tiara. Tapi Papa lihat matamu masih menyimpan banyak hal…”

Aku terdiam, menunduk.

Tak tahu harus membalas apa.

“Papa, Mama gimana? Sehat? Gimana di rumah sejak Tiara nikah?” aku mencoba mengalihkan suasana, menyambung tawa yang kutarik paksa ke bibirku.

Mama dan Papa saling pandang.

Lalu hanya menjawab dengan senyuman kecil.

Tak ada kata.

Tapi senyum itu cukup menjelaskan...rindu, lega, dan mungkin juga sedikit sesal.

Setelah keheningan yang canggung, suara Papa memecahnya.

“Mana suamimu? Papa ingin ketemu dan ngobrol. Kangen ama temen ngobrol yang dulu sering manggil Abang, eh sekarang malah manggil Papah.”

Aku menelan ludah. Panik sekejap.

“Masih di kamar, Pah… Mas Deva biasanya kerja malam-malam, sering fokus di dalam.

Nanti juga ketemu, kok.” Aku menyelipkan tawa kecil, berharap bisa menyembunyikan kegugupan yang nyaris meledak.

Mama mengusap lenganku lembut.

“Kalau dia sibuk, jangan diganggu dulu.

Tapi kamu jangan terlalu sendiri, ya, Tiara. Jangan pendam semuanya sendirian.”

Aku mengangguk lagi. “Iya, Mah… Yuk, aku antar ke kamar tamu dulu. Tiara mau siapin makan malam.”

Kuhentikan langkah sejenak di lorong dekat kamar yang beberapa hari yang lalu di tempati Mas Deva.

“Ini kamarnya. Mama Papa istirahat aja dulu, ya. Nanti Tiara panggil kalau makan malam sudah siap.”

Saat mereka masuk, aku menutup pintu perlahan. Punggungku bersandar di dinding lorong, dan napasku terengah pelan.

Tersenyum di depan orang tua ternyata lebih sulit daripada di depan siapa pun.

Karena mereka mengenal luka tanpa harus melihat darah.

****************

Setelah beberapa waktu meja makan sudah penuh dengan susunan makanan lezat hari ini.

Walaupun meja makan malam itu terasa… asing.

Bukan karena hidangannya berbeda, tapi karena kehadiran seseorang yang selama ini lebih sering menghilang dari pandanganku.

Untuk pertama kalinya sejak aku tinggal di rumah ini, Mas Deva duduk bersamaku di meja makan.

Di hadapan Mama dan Papa.

Aku bisa mendengar degup jantungku sendiri saat ia menarik kursi dan duduk di ujung meja, berseberangan dengan Papa.

Wajahnya datar. Dingin. Tapi aku pura-pura tidak merasakannya.

“Astaga, Tiara… kamu masak semua ini?” tanya Mama dengan mata yang berkaca-kaca.

Ia menatap piring demi piring yang kususun rapi di atas meja—sayur sop, ayam goreng lengkuas, sambal terasi, dan semangkuk kecil kerupuk.

Aku tersenyum kecil dan mengangguk.

“Iya, Ma… aku belajar pelan-pelan.” Suaraku terdengar lebih lirih dari yang kuinginkan, tapi Mama tetap tersenyum bangga.

“Hebat banget anak Papa,” gumam Papa sambil meraih sendok.

“Dulu kamu bahkan nggak tahu mana cabe, mana tomat.”

Dari dapur, kulirik sosok Bi Surti yang berdiri diam. Wajahnya tampak menahan sesuatu.

Tapi saat mata kami bertemu, ia melotot tajam, seolah ingin menerkamku hidup-hidup.

Aku mengalihkan pandangan.

Mas Deva tidak banyak bicara.

Tapi sesekali aku menangkap tatapan tajamnya padaku. Seolah ingin berkata, “Yang... Benar saja.”

Namun bibirnya tak mengatakan apapun.

"Dev, papah liat kamu kok dia terus?, ada masalah?." pertanyaan papah membuatku menahan nafas.

"Nggak pah, Mas Deva cuma lagi capek aja." Senyumku terulas sambil menjawab pertanyaan papah.

"Iyah kan mas." kualihkan pandanganku ke arah Mas Deva berharap ia menyetujui perkataanku.

"Ah... Emm iya Pah, Deva lagi capek." akhirnya Mas Deva menjawab pertanyaan papah walau terasa sangat singkat.

Dulu Mas Deva sangat akrab dengan papah, tapi sekarang Mas Deva seakan menjauhi Papah.

Mamah juga sekarang tidak seperti dulu yang perhatian ke Mas Deva.

Entah ada masalah apa diantara mereka.

Aku kurang tau, dan hanya bisa berharap mereka akan kembali seperti dulu.

Makan malam berlangsung dengan keheningan yang panjang.

****************

Setelah makan malam usai, Mamah papah kembali kekamar untuk beristirahat.

Sementara aku dan Mas Deva kembali ke kamar kamu bersama.

Mas Deva masih saja membisu, tak ada satupun kata yang keluar dari bibirnya yang indah itu

Bahkan saat membenarkan selimut di tempat tidur kamar yang kini harus kami bagi bersama.

Malam itu, untuk pertama kalinya aku benar-benar tidur satu kamar dengannya.

Walau jarak kami sejauh dinding dan tembok, rasanya seperti... mimpi kecil yang jadi nyata.

Tapi Mas Deva sama sekali tidak menyentuhku. Bahkan selimutnya sendiri pun ia bawa dari kamar lamanya. Ia tidur membelakangi aku. Dingin. Diam.

Dan saat lampu kamar padam, aku bergumam pelan, cukup untuk diriku sendiri...

“Aku tahu... kamu masih belum bisa menerimaku. Tapi suatu hari nanti, kamu akan sayang padaku. Kamu harus.”–batinku

Tanganku terulur ke perutku.

Perut yang belum menunjukkan tanda,

tapi aku tahu....

di dalamnya ada kehidupan kecil yang tumbuh. Anak yang akan jadi pengikatku dan Mas Deva.

Anak yang akan membuat semua ini jadi nyata.

Aku tahu, anak ini akan mengubah segalanya.

Meskipun...

bahkan aku sendiri tidak tahu apakah yang kulakukan ini benar.

Tapi sudah terlambat untuk menoleh ke belakang.