Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu-lampu jalan berkelip pelan, menambah suasana sendu yang membungkus sepanjang trotoar tempat Raka melangkah seorang diri. Di balik bayangan tubuhnya yang memanjang, pikirannya masih bergumul dengan percakapan sore tadi.
"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku, Tiara?" gumamnya lirih, nyaris seperti angin yang tak sempat menyentuh dedaunan.
Ia menengadah menatap langit. Awan-awan tipis mengambang tenang, seolah tak peduli pada keributan batin yang sedang menggerogoti hatinya. Raka baru saja pulang dari rumah Tiara—atau lebih tepatnya, pergi dari sana dengan seribu tanya yang tak sempat diucapkan.
Perempuan itu tadi bersikap berbeda. Terlalu tenang, terlalu sopan, dan terlalu... dingin.
"Maaf ya, Rak. Aku lagi banyak pikiran."
Itu satu-satunya alasan yang Tiara berikan ketika Raka menatapnya lekat, mencoba membaca gerak-gerik tubuh dan ekspresi wajahnya yang tampak tak seterbuka biasanya. Biasanya Tiara cerewet. Biasanya, dia yang paling dulu cerita panjang lebar tentang hari-harinya. Tapi hari ini, dia diam seperti batu.
Langkah Raka berhenti di pinggir jembatan kecil. Ia menatap sungai yang mengalir tenang di bawah sana, dengan riak-riak air yang memantulkan cahaya lampu oranye dari sisi jalan.
“Kalau kamu nggak bisa cerita sekarang, aku bisa nunggu,” bisik Raka, entah kepada siapa.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari Tiara.
> "Rak, maaf. Kalau nanti aku nggak bisa ngabarin kamu beberapa hari, jangan khawatir dulu, ya."
Dada Raka langsung sesak. Tangannya mencengkeram ponsel lebih erat. Ia membaca ulang pesan itu dua kali, berharap ada bagian yang ia salah tangkap. Tapi tidak. Jelas dan ringkas: Tiara akan menghilang sementara waktu.
"Kenapa, Tiara... kenapa harus gini?" bisiknya.
Ia menghela napas panjang lalu melanjutkan langkah. Tapi langkahnya kini terasa berat. Seberat pikiran-pikiran yang tak menemukan ujung. Ia merasa seolah berdiri di antara dua dunia: satu dunia di mana ia dan Tiara bisa tertawa seperti kemarin, dan satu dunia asing yang penuh tanda tanya hari ini.
Sesampainya di rumah, Raka langsung menjatuhkan diri ke kasur. Kamar yang biasanya menjadi tempat paling nyaman kini justru terasa sempit. Ia memejamkan mata, berharap bisa tidur dan semua ini hanya mimpi buruk biasa. Tapi tidak. Ponselnya bergetar lagi.
> "Jaga diri baik-baik ya. Kamu orang baik. Jangan terlalu mikirin aku dulu."
Hanya itu.
Tidak ada penjelasan. Tidak ada alasan. Tidak ada janji kapan kembali. Raka menggigit bibirnya, menahan amarah yang mulai naik ke ubun-ubun. Tapi di saat yang sama, ada ketakutan yang lebih besar: takut kehilangan.
Di luar, suara motor malam melintas cepat. Di dalam, hanya suara detak jam dinding yang menemani perasaan sepi yang makin pekat.
Raka bangkit dari tempat tidur. Ia membuka kotak kecil di laci mejanya. Di dalamnya, ada beberapa lembar foto polaroid: foto-foto kenangan bersama Tiara. Salah satunya adalah foto saat mereka berdua main ke taman bunga dan tertawa sampai perut keram. Di foto itu, Tiara memeluk lengannya erat, dan Raka tersenyum penuh percaya diri.
"Lo bilang nggak akan ninggalin, kan?"
Raka menatap foto itu lama, lalu meletakkannya kembali. Ia tidak ingin menuduh Tiara. Ia hanya ingin tahu... kenapa.
Keesokan harinya, Raka mencoba mengalihkan pikirannya. Ia pergi ke kampus, menyibukkan diri dengan tugas, menyapa teman-temannya seperti biasa. Tapi semua terasa hampa. Tiara masih menjadi bayang-bayang di belakang setiap tawa palsu yang ia tunjukkan.
Di kelas, ia duduk di dekat jendela, memandangi langit yang kali ini terlalu cerah untuk suasana hatinya. Dosen bicara di depan, tapi pikirannya mengembara. Apakah Tiara sedang sakit? Apakah dia punya masalah keluarga? Atau... apakah dia memilih menjauh?
Raka menggeleng. “Gue nggak mau mikir yang aneh-aneh.”
Seusai kelas, ia mampir ke tempat biasa mereka nongkrong. Kafe kecil di pojok jalan, dengan musik akustik yang selalu menenangkan. Ia duduk di pojok, memesan minuman kesukaan Tiara—cappuccino dengan ekstra foam dan taburan cokelat.
Tangan Raka meraih buku catatan. Ia menulis:
"Hari ini kamu nggak ada, dan aku ngerasa kayak bukan aku. Dunia masih jalan, tapi kayaknya aku tertinggal di suatu tempat yang namanya 'kamu'."
Ia tak menyadari air matanya menetes. Cepat ia sapu dengan tangan. Tak ingin ada yang melihat. Tapi perasaan itu sudah keburu mengalir dan tak bisa dibendung.
Beberapa hari berikutnya, Raka masih menunggu. Setiap pagi ia mengecek ponsel. Setiap malam ia berharap Tiara mengirim kabar. Tapi yang ia dapat hanyalah sunyi.
Sampai akhirnya, satu sore yang tenang, saat matahari hampir tenggelam, ponselnya kembali bergetar.
> “Rak, boleh nggak aku ketemu kamu malam ini?”
Jantung Raka berdebar. Ia duduk tegak. Membaca pesan itu beberapa kali.
> “Aku harus ngomong sesuatu. Dan setelah itu… kamu bebas mau terus nunggu atau nggak.”