Rahasia di Malam Paling Sunyi

Raka duduk di halte tua, menatap jalanan yang perlahan sepi ditelan malam. Lampu-lampu kota menyala kekuningan, memantulkan cahaya lembut ke aspal yang mulai basah oleh embun. Di tangannya, ponsel masih menyala, memperlihatkan pesan terakhir dari Tiara.

> “Aku harus ngomong sesuatu. Dan setelah itu… kamu bebas mau terus nunggu atau nggak.”

Pesan itu membuat dada Raka seperti diremas. Campur aduk. Ada harapan, tapi juga ketakutan. Ia menatap jam. Pukul 20.07. Tiara bilang akan datang sekitar pukul delapan lewat. Tapi belum ada tanda-tanda.

Beberapa menit kemudian, suara langkah pelan terdengar mendekat. Raka menoleh. Di bawah cahaya lampu jalan yang remang, sosok Tiara muncul dari balik bayang.

Ia mengenakan hoodie abu-abu yang sering ia pakai saat sedang ingin menyendiri. Rambutnya diikat sederhana, dan wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Tapi matanya—mata itu tetap sama, mata yang pernah membuat Raka jatuh untuk pertama kali.

Tiara duduk pelan di samping Raka, menyisakan jeda yang tidak terlalu jauh tapi juga tidak terlalu dekat. Seperti jarak antara dua hati yang ingin bicara, tapi takut menyakiti.

“Maaf, udah bikin kamu nunggu,” ucap Tiara pelan, tanpa menatapnya.

Raka menahan napas. “Nggak apa-apa. Yang penting kamu datang.”

Tiara menunduk, memainkan ujung lengan jaketnya. Suara mobil melintas di kejauhan. Waktu seakan memperlambat segalanya.

“Aku mau jujur, Rak…” Tiara akhirnya membuka suara. “Tapi mungkin, setelah kamu tahu ini, kamu bakal lihat aku beda. Mungkin kamu bakal nyesel pernah kenal aku.”

Raka langsung menoleh, mengernyit.

“Apaan sih, Tiara. Aku kenal kamu, bukan buat nilai kamu dari masa lalu atau rahasia kamu. Tapi karena aku sayang. Itu aja.”

Tiara menarik napas dalam, lalu menatap langit sebentar, seakan butuh kekuatan dari bintang-bintang yang mulai muncul.

“Kamu masih inget waktu kita pertama kali ketemu di perpustakaan?”

“Jelas. Kamu minta tolong ambilin buku paling atas. Padahal kamu bisa naik kursi.” Raka tersenyum kecil.

Tiara ikut tersenyum, tapi matanya tetap berkabut. “Sejak hari itu, aku udah tahu… kamu orang baik. Tapi aku belum pernah kasih tahu kamu, kenapa waktu itu aku ada di sana sendirian.”

Ia menggeser tubuhnya sedikit, menghadap Raka. “Hari itu aku baru keluar dari… tempat rehabilitasi.”

Raka terdiam.

“Waktu SMA, aku sempat kena depresi berat. Sempat kabur dari rumah. Bahkan sempat…” Tiara menelan ludah, “—pakai zat yang nggak seharusnya.”

Kalimat itu seperti guntur yang jatuh di tengah keheningan.

“Aku bukan anak baik, Rak. Aku hancur dulu. Aku pernah jadi orang yang ngerusak diri sendiri karena ngerasa hidup ini nggak adil.”

Raka menatap Tiara dengan napas tertahan.

“Aku nggak bilang ini supaya kamu kasihan. Tapi karena aku nggak mau bohong lagi. Aku butuh waktu buat pulih. Dan selama kita deket, aku terus dihantui rasa takut. Takut kamu tahu. Takut kamu menjauh.”

Tiara mengusap air mata yang mulai turun, tapi ia terus bicara.

“Beberapa hari kemarin aku pergi ke klinik. Bukan karena kambuh. Tapi karena aku ikut sesi terapi terakhir. Dan dokter bilang… aku dinyatakan stabil.”

Raka masih diam. Tidak tahu harus merespons apa. Tapi hatinya penuh.

“Aku nggak minta kamu terima masa laluku. Aku cuma… pengen kamu tahu, kalau selama ini aku nggak jujur, itu bukan karena aku nggak percaya kamu. Tapi karena aku takut kehilangan satu-satunya orang yang bikin aku ngerasa hidupku masih bisa diselamatkan.”

Hening.

Raka mengusap wajahnya, mencoba menenangkan napasnya yang mulai berat. Ia tidak marah. Tidak kecewa. Justru... ia merasa sangat kecil.

Ia menggenggam tangan Tiara. Erat.

“Tiara,” katanya, nyaris berbisik. “Kamu tahu nggak? Dari semua orang yang aku temuin di dunia ini, kamu satu-satunya yang punya keberanian segede ini.”

Tiara menatapnya, air mata masih menetes.

“Aku nggak nyesel kenal kamu. Aku bangga sama kamu. Dan kalau kamu butuh waktu, butuh teman, atau butuh orang yang siap diem nemenin kamu kapan pun... aku di sini.”

Tiara terisak, tapi kali ini bukan karena sedih. Ada rasa lega, seperti beban berton-ton yang akhirnya ia letakkan.

Malam itu mereka tidak bicara banyak lagi. Tapi genggaman tangan mereka tak pernah lepas. Di bawah langit yang penuh bintang, dua manusia duduk berdampingan, tak lagi menyembunyikan luka, tak lagi berpura-pura kuat. Hanya dua hati yang belajar menerima dan saling memahami.

Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Raka bisa pulang dengan dada yang tidak lagi penuh tanya. Ia pulang dengan satu kepastian:

Cinta itu bukan soal siapa yang paling sempurna, tapi siapa yang tetap tinggal saat semua topeng ditanggalkan.