Malam yang Membawa Cahaya

Raka duduk di meja belajarnya, memandangi laptop yang masih menyala dengan halaman kosong. Seharusnya ia menyelesaikan tugas kuliah. Tapi pikirannya masih tertinggal di halte semalam, tempat Tiara akhirnya membuka lembaran masa lalunya yang selama ini tersembunyi rapat.

Ia tidak bisa melupakan tatapan Tiara—tatapan seseorang yang berani mengungkapkan luka, bukan untuk menarik simpati, tapi sebagai tanda bahwa ia siap menatap masa depan.

Malam itu, Tiara membuktikan sesuatu. Bukan hanya bahwa ia kuat, tapi juga bahwa cinta yang tulus harus dimulai dari kejujuran yang paling dalam.

Raka membuka jendela kamarnya. Angin malam masuk pelan, membawa aroma tanah basah dan suara jangkrik yang bersahutan. Ia mengambil napas panjang. Lalu mengirim pesan:

> “Besok sore, kamu ada waktu? Aku pengen ajak kamu ke tempat yang belum pernah kita kunjungi bareng. Tapi penting.”

Tak butuh waktu lama, Tiara membalas:

> “Ada. Aku siap. Kemana, Raka?”

> “Rahasia. Tapi kamu bakal suka.”

---

Keesokan sorenya, matahari belum tenggelam sepenuhnya saat Raka menunggu di depan gang kecil, membawa dua helm dan motor bebek kesayangannya. Tiara datang mengenakan jaket jeans dan celana hitam. Wajahnya tampak lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keraguan seperti malam sebelumnya.

“Boleh tanya nggak? Kita mau ke mana?” tanyanya sambil naik ke motor.

Raka hanya tersenyum. “Boleh. Tapi nanti, ya. Kita jalan dulu.”

Perjalanan mereka melewati jalanan kecil, lalu keluar kota. Pohon-pohon mulai menggantikan gedung, sawah mulai menggantikan aspal padat. Suasana berubah jadi tenang dan hijau. Udara pun lebih segar.

Setelah hampir setengah jam berkendara, mereka sampai di sebuah bukit kecil yang belum banyak dikenal orang. Di atas bukit itu, ada sebuah bangku kayu dan pohon besar yang berdiri seperti penjaga waktu. Dari sana, pemandangan kota terlihat seperti taburan lampu kecil yang mulai menyala.

Tiara turun dari motor, terpukau.

“Raka… ini indah banget,” katanya nyaris berbisik.

Raka tersenyum. “Aku biasa ke sini kalau lagi bingung, lagi stres, atau lagi pengen denger suara diri sendiri.”

Mereka duduk di bangku kayu itu. Langit di atas berwarna jingga-keemasan, dan angin sore menyapu lembut rambut Tiara.

“Aku ajak kamu ke sini bukan cuma buat lihat pemandangan, Tiara. Tapi juga karena aku pengen bilang sesuatu.”

Tiara menoleh, serius.

Raka menarik napas panjang.

“Dulu, waktu aku masih SMA, aku pernah punya adik sepupu yang deket banget sama aku. Namanya Nayla. Dia lebih muda dua tahun. Kami sering bareng, tukar cerita, sampai kadang orang ngira kita pacaran.”

Tiara tersenyum kecil. “Kamu pernah punya pacar rasa saudara, ya?”

“Kurang lebih.” Raka tertawa tipis, tapi kemudian wajahnya kembali tenang. “Tapi Nayla... dia pergi pas kelas 10. Kecelakaan motor. Padahal hari itu aku yang janji jemput.”

Tiara terdiam.

Raka melanjutkan, pelan. “Aku telat datang karena motor aku mogok. Dan sejak itu... aku selalu nyalahin diri sendiri. Aku ngerasa kalau aja aku datang lima menit lebih cepat, dia mungkin masih hidup.”

Angin berhenti sebentar. Seperti ikut mendengarkan.

“Makanya aku sering ke tempat ini. Buat minta maaf, walau cuma lewat angin. Dan aku pikir, sejak dia pergi, aku nggak akan bisa sayang orang lain kayak aku sayang dia.”

Tiara menyentuh tangan Raka. “Tapi kamu bisa, kan?”

Raka mengangguk, menatap Tiara.

“Bisa. Karena aku ketemu kamu.”

Keheningan jatuh di antara mereka, tapi bukan keheningan yang canggung. Lebih seperti pelukan tak bersuara dari dua jiwa yang akhirnya menemukan tempat pulang.

“Makasih udah percaya aku,” kata Tiara lirih. “Aku pun baru tahu... kamu juga bawa luka.”

“Kita semua punya luka, Tiara. Tapi luka itu bukan buat disembunyikan. Luka itu bisa jadi jendela buat saling mengenal lebih dalam.”

Tiara memejamkan mata sejenak. Angin sore menyentuh wajahnya, dan di tengah damainya tempat itu, ia merasa seperti sedang berdiri di ambang sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih baik.

“Kalau gitu,” katanya sambil membuka mata, “mulai hari ini… aku janji nggak akan nutupin apapun lagi. Dan kamu juga harus janji satu hal.”

“Apa?”

“Kalau kamu capek, sedih, atau ada beban… jangan dipendam. Jangan ke bukit ini sendirian. Ajak aku.”

Raka menatapnya lama. “Janji.”

---

Hari mulai gelap saat mereka turun dari bukit. Di tengah perjalanan pulang, Tiara tiba-tiba berkata, “Aku pengen bikin sesuatu.”

Raka melirik. “Bikin apa?”

“Semacam buku. Atau blog. Isinya cerita tentang orang-orang yang pernah bangkit dari masa kelam.”

Raka tertarik. “Kenapa?”

“Karena aku tahu, di luar sana, ada banyak orang kayak aku yang butuh tahu... mereka nggak sendirian. Bahwa bisa kok, pelan-pelan berdiri lagi.”

Raka tersenyum lebar. “Kalau gitu, aku dukung. Kamu tulis, aku bantu desain. Kita bikin bareng.”

Tiara tertawa, untuk pertama kalinya dengan suara penuh. “Deal!”

Di balik semua luka dan kesunyian, ternyata masih ada tempat untuk tawa, harapan, dan rencana masa depan.

Dan malam itu, bukan hanya malam yang membawa angin dan bintang. Tapi juga malam yang membawa cahaya—cahaya dari dua orang yang memilih untuk saling percaya, saling mendengar, dan berjalan ke masa depan tanpa lagi membawa beban sendirian.