Sudah seminggu sejak mereka turun dari bukit itu—sejak kejujuran menjadi jembatan, dan masa lalu bukan lagi sesuatu yang harus disembunyikan.
Tiara duduk di depan laptop di kamar kosnya yang kecil namun nyaman. Ia sedang mengetik draft pertama untuk proyek yang mereka bicarakan waktu itu—blog yang berisi kisah-kisah penyintas luka batin dan jiwa yang pernah nyaris menyerah.
Judul sementara yang terpampang di atas layar:
"Pelan-pelan Pulih: Kisah dari Orang Biasa"
Ia menulis:
> "Dulu, aku kira satu-satunya cara untuk bertahan adalah diam. Tapi ternyata, yang benar adalah: berbicara. Menulis. Membagikan cerita. Karena ketika kita bicara, luka tidak hanya sembuh, tapi juga berubah jadi cahaya untuk orang lain."
Tiara berhenti sebentar. Menyandarkan punggungnya dan tersenyum. Ada rasa yang hangat muncul di dada. Rasa bahwa dirinya akhirnya berjalan di jalur yang benar.
Notifikasi WhatsApp berbunyi.
Raka:
> “Laptop aku udah selesai instal semua. Nanti malam aku ke tempatmu bawa desain draft blog. Siap-siap ya, Editor-in-Chief 😄”
Tiara:
> “Siap, Desainer Hebat. Bawa juga cemilan ya!”
Raka:
> “Oke. Jangan minta yang mahal-mahal, anak kos juga punya budget ✌️”
Tiara tertawa kecil. Tapi tawa itu terhenti saat satu notifikasi lain muncul. Bukan dari Raka.
Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal.
> “Hai, Tiara. Ini aku... Nino.”
Dunia seolah berhenti sejenak.
Nama itu. Suara itu di kepala. Wajah yang sempat ia hapus dari kenangan, kini kembali muncul seperti bayangan di kaca yang mulai bening.
Tangannya gemetar sedikit saat membalas.
> “Kamu... dapet nomorku dari mana?”
> “Temen lama. Aku lagi di kota. Boleh ketemu?”
Tiara tidak langsung menjawab. Ia meletakkan ponsel di atas meja, berdiri, dan menatap bayangannya sendiri di kaca. Sorot matanya berubah. Ada ragu. Ada cemas. Tapi juga... ada keberanian yang mulai tumbuh.
Ia tahu, kalau dia bertemu Nino, berarti dia akan membuka kembali lembar yang selama ini ia segel rapat. Tapi bukankah ia sudah berjanji? Pada dirinya sendiri. Pada Raka. Untuk tidak sembunyi lagi.
---
Malamnya, Raka datang seperti biasa, membawa laptop, dua bungkus gorengan, dan satu kotak kecil donat cokelat.
“Eh, kamu kenapa? Mukanya beda,” tanya Raka begitu masuk kamar kos Tiara.
Tiara diam sebentar. Lalu berkata pelan, “Nino kirim pesan.”
Raka berhenti meletakkan laptopnya. “Nino?”
“Dia minta ketemu.”
Ada jeda. Tapi tak ada amarah di wajah Raka. Hanya perhatian yang dalam.
“Kamu mau ketemu dia?”
Tiara mengangguk pelan. “Aku rasa aku harus. Bukan karena aku pengen kembali ke masa lalu, tapi karena aku pengen menyelesaikan yang belum selesai.”
Raka duduk di lantai, bersandar ke dinding. “Kalau kamu yakin, aku dukung. Tapi... kamu nggak sendiri, ya. Kalau kamu ngerasa nggak kuat, bilang.”
Tiara merasa ingin menangis. Tapi ia hanya tersenyum dan duduk di samping Raka.
“Makasih, Ra. Kamu nggak tahu seberapa besar artinya buat aku.”
Malam itu, mereka tidak banyak bicara. Tapi keheningan di antara mereka bukan jarak—melainkan kepercayaan.
---
Keesokan sore, Tiara menunggu di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Tempatnya tenang, dengan tanaman hias di setiap sudut dan lagu akustik pelan yang diputar.
Nino datang sepuluh menit kemudian. Wajahnya masih sama, hanya lebih tirus dan tampak lebih dewasa. Ia mengenakan kemeja abu-abu dan jeans.
“Tiara,” katanya dengan suara yang dulu pernah ia rindukan, tapi kini terasa asing.
“Hai,” jawab Tiara, singkat namun tegas.
Mereka duduk. Beberapa detik hanya diisi diam.
“Aku kaget kamu masih mau ketemu,” kata Nino akhirnya.
“Aku juga kaget kamu masih berani muncul,” balas Tiara, tidak dengan marah, tapi dengan luka yang belum benar-benar pulih.
Nino menunduk. “Aku minta maaf.”
“Untuk yang mana? Untuk pergi tanpa pamit? Untuk memutus kontak begitu aja? Atau untuk bikin aku ngerasa bodoh karena percaya sepenuhnya?”
Nino menatapnya. “Semuanya. Aku waktu itu... takut, Tiara. Takut dengan perasaan sendiri. Takut menghadapi kenyataan. Aku pergi bukan karena kamu. Tapi karena aku nggak siap jadi laki-laki yang bisa bertanggung jawab atas perasaanmu.”
Tiara menahan napas. Lalu berkata pelan, “Dan sekarang kamu datang... buat apa?”
Nino menarik napas dalam. “Karena aku lihat kamu sekarang... lebih kuat. Lebih dewasa. Dan aku sadar, kamu bukan orang yang bisa aku biarkan jadi bayangan masa lalu. Aku pengen minta maaf langsung. Dan kalau boleh jujur... aku masih—”
Tiara mengangkat tangan, menghentikannya.
“Nggak usah lanjut.”
Nino terdiam.
Tiara melanjutkan, “Dulu, aku nunggu kamu. Setiap malam. Tapi sekarang, aku udah nggak butuh jawaban dari kamu. Karena aku udah nemu jawabannya sendiri.”
Ia berdiri, mengambil tasnya. “Aku maafin kamu. Tapi bukan karena kamu layak dimaafkan. Tapi karena aku mau bebas. Dan bebas itu artinya aku nggak mau bawa kamu ke masa depan aku.”
Nino berdiri. “Kalau suatu hari—”
“—kita nggak akan ketemu lagi,” potong Tiara dengan tenang. “Terima kasih sudah datang. Tapi selamat tinggal, Nino.”
Tiara melangkah keluar dari kafe. Nafasnya gemetar, tapi langkahnya mantap. Langit sore tampak cerah. Dan ia merasa... entah bagaimana, lebih ringan.
---
Malam itu, Raka sudah menunggunya di gang kecil dekat rumah kos. Tanpa banyak tanya, ia membukakan jok motornya.
“Lapar?” tanyanya.
“Banget.”
“Gas, makan mie rebus dua level pedas!”
Tiara tertawa. “Kamu emang tahu cara ngasih pelukan lewat makanan.”
Dalam perjalanan ke warung mie, Tiara bersandar pelan di punggung Raka. Tidak ada kata yang terucap, tapi hati mereka berbicara.
Masa lalu memang tidak bisa dihapus. Tapi masa depan bisa ditulis ulang. Dan malam itu, dengan mesin motor yang berdengung dan aroma gorengan dari pinggir jalan, Tiara tahu: halaman hidupnya yang baru sedang benar-benar dimulai.