Langit sore tampak memerah, seperti sedang menyembunyikan amarah yang telah lama ditahan. Raka berdiri di tepi balkon lantai dua rumah besar itu, memandangi halaman belakang yang sepi.
Angin berembus pelan, membawa aroma bunga melati yang mulai merekah di pekarangan, namun bagi Raka, aroma itu tak lagi menenangkan.
Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar pelan. Itu suara Talia—gadis yang sejak pagi tadi tak menatapnya sama sekali. Sejak kejadian kemarin malam, segalanya terasa berubah.
Sesuatu di antara mereka terasa runtuh. Raka tahu, rahasia yang ia simpan terlalu besar untuk ditutupi terlalu lama.
“Kamu nggak mau jelasin apa-apa?” tanya Talia, tanpa melihat wajahnya. Suaranya tenang, tapi ada gemuruh yang terdengar jelas di balik nadanya—gemuruh kecewa yang dalam.
Raka menelan ludah. Ia menunduk, menggenggam pagar balkon erat-erat, seolah dari situ ia bisa menarik keberanian.
“Aku cuma... nggak tahu harus mulai dari mana,” ucap Raka pelan. “Yang pasti, aku nggak pernah niat nyakitin kamu, Tal.”
Talia menoleh, tatapannya tajam dan penuh luka. “Tapi kamu tetap bohong. Dari awal.”
Raka menghela napas, dan akhirnya menatap gadis itu. “Aku memang bukan sekadar anak biasa, Tal. Aku datang ke sini bukan cuma karena ikut tanteku. Aku disuruh seseorang. Orang yang kamu kenal.”
Talia menyipitkan mata. “Siapa?”
“Pamanmu,” jawab Raka. “Pak Armand.”
Talia membeku. Nama itu seperti petir yang menyambar tiba-tiba. Paman yang telah lama menghilang dan kini kembali disebut dengan begitu tenangnya.
“Aku disuruh ngawasin kamu, jaga kamu. Tapi selama itu juga aku ngerasa bersalah, karena makin lama, aku malah makin dekat sama kamu—bukan sebagai pengawas, tapi sebagai... seseorang yang beneran peduli.”
Talia membalikkan badan, menahan air mata yang mulai berkumpul di pelupuk. “Jadi selama ini semua yang kamu lakukan cuma bagian dari tugas? Kamu pura-pura jadi sahabatku, pura-pura peduli, semuanya bohong?”
“Enggak!” Raka maju selangkah, nyaris memegang lengannya, tapi ia urungkan. “Nggak semuanya bohong. Justru setelah kenal kamu, aku mulai nyesel. Karena aku nyadar... aku nggak pengin bohongin kamu terus. Aku pengin kamu tahu semuanya. Tapi aku takut.”
Talia diam. Dari matanya, Raka tahu gadis itu sedang bertarung dengan rasa percaya yang remuk dan serpihan kepercayaan yang masih tertinggal.
“Aku pengin jujur sekarang,” lanjut Raka. “Tapi aku minta kamu siap denger sesuatu yang mungkin nggak pernah kamu duga.”
Talia perlahan menoleh. “Aku siap.”
Raka mengangguk. Ia menarik napas dalam-dalam, dan mulai membuka cerita tentang organisasi tempat Pak Armand tergabung, tentang proyek rahasia yang melibatkan keluarga Talia, dan tentang bahaya yang mengintai sejak lama.
Ia juga menjelaskan kenapa Pak Armand memintanya menjaga Talia—karena Talia menyimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bahkan gadis itu sendiri belum tahu.
“Tal, kamu... punya ingatan masa kecil yang hilang, kan?”
Talia mengerutkan kening. “Iya, sejak usia enam tahun. Mama bilang aku pernah jatuh dan lupa banyak hal.”
“Bukan karena jatuh. Tapi karena... kamu pernah diculik. Dan mereka menghapus ingatanmu.”
Talia terdiam. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Semua ingatan yang samar-samar tiba-tiba terasa seperti potongan puzzle yang mulai membentuk gambar menakutkan.
“Kenapa aku diculik?” bisiknya.
“Karena kamu adalah kunci dari data yang tersembunyi—data milik ayahmu yang disimpan dalam sistem biologis. Mereka pernah coba ekstrak itu dari kamu, tapi gagal. Dan sejak itu, kamu dilindungi. Tapi sekarang... mereka mulai bergerak lagi.”
Talia mundur beberapa langkah. “Kamu bilang... aku cuma hidup sebagai target selama ini?”
“Enggak, kamu lebih dari itu,” ucap Raka tegas. “Kamu punya hak untuk tahu semua. Dan aku akan bantu kamu untuk ngadepin ini semua. Karena aku udah janji—bukan ke Pak Armand, tapi ke diriku sendiri. Aku nggak akan biarin kamu sendirian.”
Air mata menetes di pipi Talia. Ia berjalan pelan ke arah Raka, menatapnya dalam.
“Aku nggak tahu harus percaya siapa sekarang, Ka.”
Raka menunduk. “Kalau kamu butuh waktu, aku ngerti.”
Talia mengangguk pelan, lalu berbalik dan pergi meninggalkan balkon itu. Raka berdiri sendirian, dengan perasaan yang tak kalah hancurnya. Tapi setidaknya, sebagian kebenaran sudah terungkap.
Malam itu, Raka duduk di depan laptopnya, membuka koneksi aman ke jaringan Pak Armand. Di layar muncul wajah pria paruh baya itu, terlihat lelah tapi masih penuh wibawa.
“Dia tahu sekarang,” kata Raka.
Pak Armand mengangguk pelan. “Bagus. Kamu sudah melakukan bagianmu.”
“Dia hancur, Pak. Aku nggak yakin dia siap.”
“Kalau kamu sayang dia, kamu harus bantu dia berdiri. Jangan cuma ngelindungin dari belakang.”
Raka menatap layar dengan mata yang menyala. “Saya akan tetap di sisinya. Sampai akhir.”
Dan malam pun melanjutkan putarannya, menyimpan rahasia-rahasia yang mulai terbuka. Tapi setiap kebenaran yang diungkap, hanya membuka lebih banyak pintu yang tertutup rapat selama ini. Dan Raka tahu—perjalanan ini belum berakhir. Bahkan baru saja dimulai.