Jebakan dalam Jaringan

Heningnya malam di rumah besar itu hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak pelan. Talia terjaga di kamarnya. Matanya yang sembap masih belum sanggup terpejam, sementara pikirannya terus menari di antara serpihan ingatan dan rahasia yang baru ia dengar.

Ia menatap tangannya, seolah mencari petunjuk fisik yang bisa menjelaskan apa yang telah dikatakan Raka: bahwa dalam dirinya, tersimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari hidup biasa.

Di lantai bawah, Raka menutup laptopnya. Percakapannya dengan Pak Armand beberapa jam lalu masih terngiang jelas. Ia diminta melakukan satu hal terakhir—membuka data yang selama ini disembunyikan di balik firewall sistem warisan ayah Talia.

Tapi ada satu masalah: seseorang sudah lebih dulu berusaha membobol sistem itu. Dan jejak digitalnya menunjukkan IP address dari satu tempat: Yokohama, Jepang.

“Ada pihak lain yang udah mulai masuk,” gumam Raka sambil menyalakan server lokal miliknya.

Layar laptop menampilkan peta digital dengan titik-titik merah yang mewakili aktivitas login mencurigakan. Salah satu titik paling aktif bergerak naik-turun, seolah sedang mencoba brute force system berlapis.

“Gila... ini bukan kerjaan amatir.”

Raka mengerutkan alis. Ia mengetik cepat, memasukkan script deteksi, lalu mengaktifkan ‘mirror trace’—sebuah teknik pemantulan data palsu agar sang penyerang tersesat.

Sementara itu, di lantai atas, Talia bangkit dari tempat tidur. Ia membuka laci meja belajarnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hijau tua. Itu adalah kotak tua yang dulu diwariskan ibunya, dan tak pernah ia buka karena katanya hanya bisa dibuka “di waktu yang tepat”.

Talia menggenggam kunci kecil dari liontin kalungnya, dan memasukkannya ke dalam lubang mungil di sisi kotak. Klik. Kotak itu terbuka perlahan.

Di dalamnya, ada potongan kertas lusuh yang dilipat rapi. Talia membukanya, dan matanya membelalak: itu adalah peta digital dalam bentuk kode QR, dengan tulisan tangan di pojok bawah:

> “Kalau kamu membaca ini, berarti kamu sudah tahu siapa dirimu sebenarnya. Lindungi datanya. Jangan percaya siapa pun kecuali satu nama: Raka.”

Talia terdiam. Jemarinya bergetar. Ibunya tahu. Dari dulu, ibunya tahu semua.

Seketika, ia berlari ke bawah. Raka yang masih fokus dengan layar laptop, menoleh begitu mendengar langkah tergesa itu.

“Kamu harus lihat ini,” kata Talia sambil menunjukkan kertas itu.

Raka mengambilnya, lalu membuka ponselnya untuk memindai QR tersebut. Dalam hitungan detik, layar menampilkan sebuah jalur folder yang terkunci dan berlabel: “KALISTA_PROJEK-X_BACKUP”.

“Aku nggak percaya ini masih ada,” bisik Raka.

“Apa itu?” tanya Talia.

“Itu… adalah sistem utama. Data lengkap tentang proyek ayah kamu, yang udah dianggap hilang sepuluh tahun lalu. Ini bisa bikin mereka panik.”

Talia menarik napas dalam-dalam. “Kita harus buktiin kebenaran semua ini. Biar nggak ada lagi yang ngatur hidupku dari bayang-bayang.”

Raka mengangguk. Tapi saat ia hendak mengakses folder tersebut, layar tiba-tiba blank.

“Eh?” Raka mengernyit.

Seketika muncul pesan pop-up di layar:

> “ANDA DIAWASI. JANGAN BERMAIN API.”

“Ini jebakan...” gumam Raka.

Tiba-tiba seluruh lampu di rumah padam. Komputer mati. Telepon rumah berbunyi keras—panik.

Raka dan Talia saling menatap. “Kita harus keluar dari sini sekarang juga,” kata Raka.

“Ke mana?”

“Ke tempat yang lebih aman. Ke tempat Pak Armand.”

Mereka segera mengambil tas dan dokumen penting. Namun begitu membuka pintu depan, seorang pria berjas hitam sudah berdiri di sana. Di belakangnya, dua orang bersenjata ringan.

“Saudari Talia. Anda ikut kami. Sekarang,” kata pria itu dengan suara tenang namun dingin.

Raka maju. “Siapa kalian?”

“Bukan urusanmu,” jawab pria itu.

“Kalau kalian bawa dia paksa, kalian harus lewatin aku dulu.”

Mata pria itu menyipit. “Kami tidak ingin membuat keributan. Kami hanya ingin data itu. Berikan kami QR code-nya.”

“Jadi kalian yang dari Yokohama,” ucap Raka sambil melangkah pelan ke samping.

Dalam satu gerakan cepat, ia menarik Talia ke samping, lalu menendang meja kecil ke arah pria di depan. Terdengar teriakan, dan Raka langsung menarik tangan Talia.

“Lari!”

Mereka menerobos pintu belakang, melompati pagar rendah, dan menyusuri lorong sempit menuju jalan besar. Di belakang, suara langkah kaki mengejar makin dekat.

“Kita harus pisah!” teriak Raka.

“Gila?!”

“Kalau kita bareng, mereka bisa nangkep dua-duanya! Cari rumah Pak Armand. Gunakan rute Plan C!”

Talia menatapnya satu detik, lalu mengangguk, meski berat. Ia berlari ke arah kanan, sementara Raka ke kiri. Mereka berpisah di bawah cahaya lampu jalan yang berkedip-kedip.

Malam itu, pengejaran terus berlanjut. Raka masuk ke lorong bawah tanah yang biasa digunakan untuk jalur pelarian darurat. Di sana ia membuka kembali laptop cadangan, lalu mengirim sinyal diam-diam ke Pak Armand.

Tak lama, suara dari earphone kecil terdengar.

> “Kamu diserang?”

“Iya. Mereka dari Jepang. Mereka udah tahu posisi QR code-nya.”

> “Simpan baik-baik. Kalau mereka berhasil dapat backup itu, semua bukti bakal hancur.”

“Aku butuh ekstraksi Talia. Segera.”

> “Kami sudah kirim drone tracker dan tim khusus. Tunggu 30 menit. Jaga posisi.”

Sementara itu, Talia bersembunyi di antara tumpukan kontainer tua di gudang pelabuhan. Nafasnya tersengal. Tapi dalam genggamannya, kertas QR itu masih ia pegang erat.

Di kejauhan, ia bisa mendengar suara kendaraan mendekat. Tapi kali ini, ia tak merasa takut seperti tadi. Ada satu hal yang tumbuh di dalam dirinya—keteguhan. Untuk pertama kalinya, Talia merasa hidupnya bukan sekadar soal diselamatkan, tapi soal memperjuangkan kebenaran.