Raka berjalan cepat melewati lorong kantor kosong yang sudah gelap. Hanya lampu darurat di dinding yang menyala redup, menciptakan bayangan panjang di setiap langkahnya. Di tangannya, flashdisk kecil tergenggam erat.
Data yang baru saja ia salin dari server utama bukan hanya berisi informasi biasa—tapi semua detail tentang proyek ‘Aletheia’, kode yang selama ini hanya muncul di bisikan organisasi bawah tanah yang bahkan polisi pun tak punya akses.
Dari headphone kecil di telinganya, suara Pak Armand terdengar berat dan tergesa.
> “Raka, kau harus segera keluar. Ada pergerakan tak dikenal di area Selatan gedung. Kemungkinan mereka sudah tahu keberadaanmu.”
Raka mempercepat langkah. “Berapa orang?”
> “Minimal tiga. Dan satu di antaranya dikenal sebagai pemburu digital. Jangan hadapi mereka sendirian.”
Lift rusak. Tangga darurat.
Raka berbalik, membuka pintu logam dan segera menuruni anak tangga dengan langkah ringan tapi cepat. Jantungnya berdegup kencang. Tapi bukan karena takut—melainkan karena ia tahu apa yang dipertaruhkan.
Talia.
Gadis itu sekarang menjadi bagian dari cerita besar ini. Bukan lagi sekadar seseorang yang perlu dilindungi, tapi juga bagian dari inti konflik.
Dan malam ini, setelah ia menyelesaikan misinya, ia berencana menemui Talia. Menjelaskan semuanya... atau setidaknya apa yang masih bisa ia jelaskan.
Saat Raka mencapai lantai bawah, suara langkah kaki cepat terdengar dari lorong sebelah. Ia mendadak berhenti, menempel ke tembok dan menarik napas panjang.
Dari sudut matanya, ia melihat tiga siluet bergerak cepat. Semua berpakaian hitam, masker menutupi wajah, dan tangan membawa senjata kejut elektrik.
Raka mundur perlahan, lalu melesat ke arah pintu darurat belakang. Namun baru tiga langkah, suara tembakan kejut menghantam dinding tepat di samping kepalanya. Ia membungkuk, melompat ke belakang rak besar yang berdebu.
“Dia di sini!” suara seseorang berteriak.
Tanpa pikir panjang, Raka mengeluarkan smoke grenade kecil dari sakunya—alat pemberian Pak Armand. Ia lempar ke tengah lorong. Seketika kabut putih pekat memenuhi ruangan.
Dalam kekacauan itu, Raka merunduk dan melesat ke luar melalui pintu besi yang terbuka setengah. Udara malam langsung menyambutnya. Hembusan angin menusuk kulit, namun terasa seperti kebebasan yang tipis.
Ia masuk ke dalam mobil hitam kecil yang sudah menunggu di sisi jalan. Mesin langsung menyala otomatis saat ia mendekat.
Mobil itu meluncur di jalanan kota yang sepi, sementara dari kursi pengemudi otomatis terdengar suara sistem:
> “Rute aman telah ditetapkan. Menuju lokasi Markas 3, estimasi waktu tiba: dua belas menit.”
Raka membuka dashboard, memasukkan flashdisk ke slot khusus. Layar menyala dengan kode digital yang mulai bergerak.
Namun saat ia hendak membuka data itu, layar tiba-tiba berkedip. Sebuah pesan muncul:
> “Access denied. Decryption key required: TALIA.”
Wajah Raka langsung menegang. “Apa maksudnya... dia yang bisa membuka ini?”
Ia segera meraih ponsel, menekan nomor Talia.
Nada sambung.
Sekali.
Dua kali.
Tiga—
Tersambung.
“Halo?”
Suara Talia terdengar lemah, tapi masih stabil.
“Tal... kamu di mana sekarang?” tanya Raka cepat.
“Di rumah. Kenapa?”
“Aku butuh kamu. Sekarang. Data ini—semuanya ada padamu. Tanpa kamu, aku nggak bisa buka apapun.”
Di ujung sana, Talia terdiam. “Aku masih bingung, Ka. Aku belum tahu apa yang harus aku percaya. Tapi... aku tahu kamu nggak akan minta kalau ini nggak penting.”
Raka menahan napas. “Aku bakal ke sana sekarang.”
---
Di Rumah Talia
Lima belas menit kemudian, mobil Raka berhenti di depan rumah klasik bercat abu-abu muda. Talia sudah menunggu di depan pintu, mengenakan sweater tebal dan celana panjang. Wajahnya masih terlihat lelah, tapi matanya kini lebih tenang.
“Masuk,” ucapnya.
Raka masuk dan langsung membuka laptop di meja ruang tengah. Ia hubungkan kembali flashdisk itu. “Kamu... coba sentuh di bagian fingerprint ini.”
Talia menurut. Begitu jarinya menyentuh permukaan kecil di samping layar, kode di layar berubah—dan terbuka.
Data-data rahasia berhamburan.
Dokumen PDF, video pengawasan lama, foto, bahkan rekaman suara dari tahun-tahun lalu. Semuanya adalah bukti tentang proyek Aletheia—proyek penciptaan sistem kecerdasan buatan yang bisa memanipulasi opini publik melalui data rekayasa.
Tapi lebih dari itu, proyek ini juga melibatkan teknologi pemrograman saraf—dan Talia ternyata adalah subjek utama dalam eksperimen itu, secara tidak langsung.
Wajah Talia pucat.
“Jadi... sejak kecil aku—”
“Kamu pernah ditanamkan algoritma pengaman di dalam tubuhmu. Organism-mapped code. Karena itulah kamu jadi target.”
Talia menutup mulutnya. Ia gemetar. Tapi Raka memegang bahunya pelan.
“Kamu bukan produk eksperimen. Kamu korban. Dan kamu berhak untuk ambil kembali hidupmu.”
Air mata Talia jatuh. Ia mengangguk pelan. “Kalau ini semua harus dihentikan... kita harus bongkar semuanya ke publik.”
Raka menatapnya. “Itu berarti kita harus melawan organisasi yang membiayai proyek ini. Dan itu... nggak kecil.”
“Aku nggak peduli,” kata Talia dengan suara gemetar, tapi kuat. “Kalau hidupku selama ini cuma dibentuk oleh kebohongan, aku mau kebenaran jadi alasan aku bertahan.”
---
Malam pun semakin larut.
Tapi semangat mereka justru baru menyala. Di tengah bayangan bahaya yang makin nyata, kini mereka punya alasan yang sama: menyelesaikan apa yang selama ini dikubur.
Dan di balik semua kode, peluru, dan rahasia...
Ada harapan yang perlahan menyala: bahwa mungkin, sekali ini, kejujuran bisa menang atas kebohongan.