Operasi Dimulai

Langit malam di Jakarta tampak kelabu. Lampu-lampu jalan seperti gemetar dalam kabut tipis, seakan tahu bahwa sesuatu sedang bergerak dari balik layar kota.

Raka menatap monitor laptopnya dalam diam, garis-garis kode mengalir seperti sungai data—menghantarkan takdir yang tak bisa dihindari.

Talia duduk di sampingnya, mengenakan hoodie abu-abu dengan bekas luka kecil di pelipis kirinya yang belum sepenuhnya sembuh. Di tangannya tergenggam sebuah flashdisk perak kecil dengan simbol segitiga berbalik: simbol organisasi yang menciptakan proyek Aletheia.

"Kamu yakin mau mulai malam ini?" tanya Talia, suaranya nyaris berbisik.

Raka mengangguk. "Kalau kita tunda, mereka bisa pindahkan semua server besok pagi. Kita harus masuk sekarang, sebelum backup dikirim ke luar negeri."

Di dinding belakang ruangan itu, papan tulis penuh dengan diagram serangan. Mereka tak lagi sendiri. Raka telah mengumpulkan kembali tim lamanya dari komunitas underground: orang-orang dengan reputasi bayangan yang dulu nyaris tak terdeteksi, tapi pernah mengguncang sistem keuangan negara hanya demi membuktikan titik lemah keamanan.

Ada Ari 'Necrobyte', spesialis malware sekaligus penggila kopi hitam.

Ada Cika 'Skylark', gadis tenang yang jago brute-force AI dan bisa membongkar firewall sekuat beton.

Dan Kevin 'NullZero', ahli rekayasa sosial yang dulu nyaris diterima oleh pemerintah—jika saja tak ketahuan membajak sistem absensi DPR.

Mereka semua berkumpul malam itu, di sebuah gudang bekas percetakan yang kini disulap menjadi pusat komando darurat.

"Target kita bukan cuma server," ujar Raka sambil menunjuk layar holografis. "Ada satu data kunci: Athena.vault, yang disimpan dalam sistem mereka dengan enkripsi tiga lapis berbasis quantum. Tanpa itu, kebocoran informasi bakal dipatahkan sebagai hoaks."

Talia berdiri, menyalakan tablet transparan miliknya. "Dan aku yang harus masuk ke ruang utama Aletheia di lantai 42, tempat server backup manual disimpan. Kalian masuk dari sisi digital, aku dari sisi fisik."

"Dan kau yakin bisa lewat semua lapisan keamanan fisik sendirian?" tanya Ari ragu.

Talia mengangguk, matanya mantap. "Ayahku yang dulu mendesain sistem itu. Dan dia meninggalkan pesan untukku."

Ia membuka sebuah folder terenkripsi, lalu menampilkan sebuah rekaman holografis. Seorang pria berambut putih—ayah Talia—berbicara cepat, seolah diburu waktu.

> “Talia... kalau kau menemukan pesan ini, berarti kau sudah tahu kebenarannya. Di ruang server utama, ada satu celah di belakang panel listrik, di bawah kotak pendingin.

Kau bisa masuk lewat situ. Tapi satu hal yang harus kau ingat—setelah kau masuk, semua sistem akan mengenali biometrikmu. Kau hanya punya satu kesempatan.”

Semua terdiam. Tak ada yang bicara beberapa detik, seolah sedang mencerna kenyataan bahwa semua ini akan segera nyata. Tidak lagi sekadar kode atau wacana idealisme. Ini pertempuran.

Raka menarik napas panjang.

"Kalau ini berhasil," katanya lirih, "dunia bakal tahu siapa yang memegang kendali otak-otak manusia lewat jaringan."

Cika menatap layar sambil mengetik cepat. "Firewall mereka aktif 24 jam. Aku bisa brute-force lima pintu digital, tapi kalau Rayhan ikut campur, kita dalam masalah."

Rayhan. Nama itu mengendap seperti racun dalam kepala Raka. Mantan seniornya. Teman belajar algoritma waktu dulu. Tapi ia memilih jalan gelap—berpihak pada Aletheia dan menjadi tangan kanan dalam pengembangan sistem kendali saraf.

"Aku yakin dia akan muncul," kata Raka. "Dan kalau itu terjadi, kita hadapi bareng-bareng."

Pukul 01:04.

Operasi dimulai.

Ari membuka koneksi masuk dari peladen dummy ke salah satu pintu belakang sistem Aletheia—sebuah sistem lama yang dulu pernah bocor, tapi tak pernah benar-benar ditutup. Sebuah kelemahan kecil yang kini jadi satu-satunya harapan.

Sementara itu, Talia mengenakan jas petugas kebersihan lengkap dengan ID palsu. Ia masuk lewat basement gedung Aletheia dengan wajah tertunduk, langkah mantap.

Satu demi satu pintu digital dibuka. Setiap kali Cika berhasil melewati lapisan keamanan, layar holografis menyala merah—tanda alarm internal berbunyi, tapi belum terdeteksi secara eksternal.

"Raka, kita punya waktu 7 menit sebelum sistem pendeteksi auto-fix aktif," ujar Cika tegang.

"Terus buka. Aku backdoor masuk ke server log utama sekarang."

Di sisi lain gedung, Talia berhasil sampai ke lantai 38 lewat lift darurat. Ia harus melanjutkan naik tangga, karena sistem kontrol utama otomatis memblokir lantai 40 ke atas tanpa izin biometrik asli.

Napasnya mulai berat. Luka lamanya terasa nyeri. Tapi ia terus naik.

Pukul 01:10.

Tiba-tiba koneksi Cika terputus. Layar padam sesaat.

"Ada yang memutus koneksi kita," desisnya.

Ari mengumpat. "Gak mungkin itu sistem otomatis. Itu... Rayhan."

Layar lain menyala. Wajah Rayhan muncul, seperti hantu dari masa lalu. Rambutnya lebih panjang, matanya dingin seperti logam.

> “Kalian pikir bisa menembus benteng Aletheia dengan trik lama? Dunia tidak butuh kebenaran, Raka. Dunia butuh stabilitas. Dan aku—kami—sudah memberikannya.”

"Aku gak percaya kamu masih bisa ngomong soal stabilitas," balas Raka dingin. "Kamu mencuri kendali atas pikiran manusia. Itu perbudakan modern."

Rayhan tertawa kecil. "Dan kau pikir, manusia layak dibiarkan memilih? Mereka selalu gagal. Kau tahu itu."

Talia tak bisa mendengar percakapan itu. Ia kini berada di ruang pendingin utama lantai 42, mencari panel listrik seperti petunjuk ayahnya.

Tangannya gemetar. Ia membuka satu demi satu panel, dan akhirnya—di bawah unit pendingin raksasa, ia temukan panel tersembunyi. Dibaliknya, sebuah port manual dengan slot kabel optik.

Ia menarik napas, lalu mencolokkan flashdisk perak itu. Sebuah cahaya biru menyala—kode mulai berjalan.

Di ruang kontrol, Raka melihat data mulai mengalir.

"Dia berhasil!" seru Kevin. "Vault Athena.vault mulai terbuka."

Namun... detik berikutnya, alarm darurat menyala. Layar Raka berubah merah total.

"Sial! Sistem mendeteksi penyusupan manual! Protokol self-destruct aktif!"

Raka berdiri panik. "Kita harus keluarkan Talia dari sana sekarang!"

"Enggak bisa," kata Ari. "Kalau kita cabut koneksi sekarang, file-nya gak akan terkirim penuh. Semuanya bakal sia-sia."

Raka terdiam. Di layar, hitungan mundur dimulai: 300 detik.

Talia menatap layar kecil di tangannya. Ia tahu itu. Dan ia tahu tak ada jalan keluar kalau terus di sana.

> “Raka... kalau kau dengar ini... teruskan. Jangan selamatkan aku. Dunia butuh kebenaran ini.”

Suaranya masuk lewat interkom. Semua terdiam.

Air mata mengalir di pipi Raka.

"Jangan ngomong kayak gitu... Aku gak akan biarin kamu mati!"

> “Aku gak takut mati, Rak... Aku cuma takut, aku gak akan sempat bilang terima kasih... karena udah bikin aku ngerasa hidup lagi.”

100 detik tersisa.

Talia duduk bersila, menutup mata, membiarkan tubuhnya menghangat oleh cahaya dari sistem.

Sementara itu, Raka mengetik dengan tangan gemetar, memaksimalkan kecepatan transfer data. Cika dan Ari membantu mengalihkan jalur enkripsi ke puluhan mirror server agar data tetap tersebar.

20 detik... 10... 5...

Seketika semua layar padam. Jaringan offline.

Dan—sunyi.

Tak ada yang bicara. Tak ada suara. Hanya napas berat, hening, dan harapan.

Beberapa detik kemudian, sebuah notifikasi kecil menyala di pojok kiri monitor Raka.

> Transfer complete: Athena.vault uploaded to 48 mirror servers.

Dan satu suara masuk ke interkom.

> "...Raka?"

Raka membelalakkan mata.

"Talia?!"

> "Aku... aku masih hidup. Tapi aku terkunci di ruangan ini. Pintu meledak... Tapi sistem pendingin otomatis mengurungku. Entah berapa lama udara bisa bertahan."

Semua langsung bergerak. Raka berlari keluar. Tak ada waktu untuk menangis. Belum sekarang.