Di Balik Jejak dan Nama

Udara malam di pelataran kota itu terasa semakin dingin. Di atap gedung tua yang kini menjadi markas sementara Raka dan tim kecilnya, angin mengibaskan jaket-jaket mereka.

Peta digital terpampang di layar holografik, dengan titik-titik merah yang terus bergerak mewakili para pengejar yang mulai mendekat.

“Kita nggak bisa bertahan di sini lama,” ujar Farhan, mantan teknisi yang kini menjadi rekan Raka. Ia menatap monitor dengan napas berat.

Raka menatap peta, lalu melirik Talia yang duduk bersandar di tiang antena. Matanya kosong, sejak kabar terakhir datang dari Pak Armand—bahwa sang paman telah ditangkap oleh pihak dalam organisasi yang telah menyusup terlalu dalam ke tubuh negara.

Talia tak berkata-kata sejak itu.

“Tal,” panggil Raka pelan.

Talia menoleh, lambat. “Aku nggak ngerti lagi mana yang bisa dipercaya.”

Raka mendekat, duduk di sampingnya. “Aku tahu rasanya. Tapi kalau kita berhenti sekarang, mereka menang. Semua yang udah dikorbankan—pamanmu, ayahmu... semua akan sia-sia.”

Talia memejamkan mata. Air matanya tak turun, tapi kepedihan tampak jelas.

“Jadi sekarang kita ngapain?” tanyanya, suara lirih.

Raka berdiri. “Kita bongkar semuanya. Kita temuin jejak terakhir Ayahmu, dan buka sistem yang disegel itu.”

Farhan menghampiri, membawa tablet yang menampilkan jaringan server tersembunyi.

“Gue dapet ini dari hard drive lama di rumah Pak Armand. Ada satu lokasi yang belum pernah terdeteksi sebelumnya—dalam sistem AI lama yang nggak lagi aktif sejak dua tahun lalu. Lokasinya... di tempat penelitian ayah Talia dulu. Di pulau terpencil yang bahkan nggak ada di peta umum.”

Talia menatap layar. Nama itu muncul: Pulau Rahmat.

“Gue pikir itu cuma cerita bohong waktu kecil,” gumam Talia.

“Enggak. Pulau itu nyata. Dan sepertinya... di sanalah semua jawaban disimpan,” kata Farhan.

Raka mengangguk. “Kita berangkat malam ini.”

---

Perjalanan menuju Pulau Rahmat memakan waktu hampir seharian, lewat jalur laut yang harus disamarkan. Perahu kecil yang mereka naiki dihantam ombak beberapa kali, tapi Raka tetap menggenggam tangan Talia erat.

“Kalau kamu takut, kita bisa putar balik,” bisiknya.

Talia menatapnya dengan senyum samar. “Aku nggak takut. Aku cuma... siap untuk akhirnya tahu kebenaran.”

Begitu mendekati pulau, kabut tebal menyelimuti sekitar. Farhan yang mengendalikan GPS memperlambat laju.

“Pulau ini kayak dilindungi sesuatu,” ucapnya. “Sinyal mulai gangguan sejak setengah mil terakhir.”

Saat mereka menepi, pulau itu tampak seperti surga yang hilang: pepohonan rimbun, pantai berbatu, dan bangunan tua tersembunyi di balik semak liar. Namun ada kesan sunyi yang tak wajar—seolah pulau itu menyimpan ribuan mata yang tak terlihat.

Mereka berjalan masuk, menyusuri jejak lama yang tertutup dedaunan. Raka memegang kompas digital, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besi tua. Lambang segitiga berputar terpampang di sana—lambang organisasi riset ayah Talia.

“Ini tempatnya,” gumam Raka.

Gerbang itu terkunci dengan sistem biometrik. Talia maju, meletakkan tangannya di pemindai. Ajaibnya, lampu hijau menyala dan pintu terbuka perlahan, seolah mengenali darah yang sama.

Ruangan di dalam gelap, berdebu, tapi masih menyimpan teknologi tinggi. Komputer tua, proyektor holografik, dan lemari-lemari besi dengan label: “Data Riset Tahap 6”.

Farhan langsung menuju terminal utama, mencoba menyalakan ulang server.

“Aku butuh waktu untuk bypass sistem ini,” katanya.

Sementara itu, Talia menjelajahi ruangan dan berhenti di depan satu kaca besar. Di baliknya, ada satu kamar kecil dengan tempat tidur mungil. Ia menempelkan tangan ke kaca.

“Ini kamarku dulu, ya?” bisiknya lirih.

Raka berdiri di sampingnya, meremas bahu Talia pelan. “Sepertinya begitu.”

“Jadi semua ini... nyata.”

Dari terminal belakang, Farhan berseru, “Gue dapet akses!”

Mereka segera berkumpul di depan layar. Muncul rekaman holografik lama—ayah Talia, dengan wajah penuh semangat, berbicara di depan kamera.

> “Jika kamu melihat ini, berarti kamu telah berhasil menemukan tempat ini. Talia, Ayah mencintaimu. Dan kamu... adalah bagian terpenting dari riset ini. Aku menanam data di dalam ingatanmu, bukan untuk membebanimu, tapi untuk menyelamatkan masa depan.”

Talia menutup mulutnya dengan tangan. Suara ayahnya yang selama ini hanya ada dalam ingatan kabur, kini begitu nyata.

> “Ada banyak pihak yang ingin menggunakan teknologi ini untuk menghancurkan, bukan membangun. Tapi kamu, Talia, bisa memilih jalan yang berbeda. Kode terakhir ada di ingatanmu—tersimpan saat kamu masih kecil, lewat lagu yang sering Ayah nyanyikan...”

Tiba-tiba layar berkedip. Sistem terguncang. Farhan berteriak, “Kita dilacak!”

Dari luar, suara baling-baling helikopter mulai terdengar. Pasukan hitam mendekat.

“Kita nggak punya waktu banyak!” teriak Raka.

Talia menutup matanya, mencoba mengingat lagu masa kecil. Dan saat ia menyenandungkan nada lembut yang pernah dinyanyikan ayahnya, sistem tiba-tiba merespons—sandi terbuka, dan semua file penting terbuka.

“GUE DAPET SEMUANYA!” teriak Farhan.

Tapi suara langkah kaki di luar semakin dekat. Raka menarik Talia. “Kita harus keluar sekarang!”

Farhan menyalin semua data ke dalam chip kecil, lalu mereka bertiga berlari keluar lewat pintu belakang laboratorium.

---

Pelarian mereka melalui hutan pulau itu penuh ketegangan. Cahaya senter pasukan pengejar terus menyapu dari arah belakang. Namun Raka tahu jalur ini—ia pernah melihat peta lama pulau itu di kantor Pak Armand.

Mereka melompat ke tepi tebing, di mana perahu kecil tersembunyi. Tapi saat mereka nyaris sampai, suara tembakan terdengar. Bahu Farhan terkena peluru.

“GUE NGGAK APA-APA! AMBIL CHIP-NYA!” serunya sambil melemparkan chip itu ke arah Raka.

Raka menangkapnya. Tapi ia menatap Farhan yang mulai limbung. “Lo harus ikut!”

Farhan tersenyum pahit. “Gue bakal tahan mereka. Lo harus bawa dia keluar.”

Talia menangis. “Farhan...!”

Tapi Farhan mendorong mereka ke perahu. “Jangan sia-siain pengorbanan gue!”

Raka menarik Talia dan segera mengayuh menjauh. Dari kejauhan, mereka melihat Farhan berdiri tegak di tengah kegelapan, menghadapi pasukan bersenjata.

Perahu terus melaju, membelah laut gelap yang dingin. Dan saat Talia menangis di pelukan Raka, ia tahu—semakin dekat mereka ke kebenaran, semakin banyak yang harus mereka korbankan.

Tapi semuanya sudah terlambat untuk berhenti.