Cahaya senja merambat pelan menuruni dinding laboratorium tua di pinggiran kota, membentuk bayangan panjang yang terasa seperti kenangan lama yang baru dibangkitkan.
Di tengah ruang rahasia itu, Talia berdiri terpaku. Matanya menatap layar holografik yang baru saja diaktifkan Raka dengan kode yang mereka temukan semalam dari data tersembunyi.
Pada layar, muncul sosok pria paruh baya dengan mata tajam dan wajah yang sangat mirip dengan Talia—ayahnya.
“Halo, Tal,” suara rekaman itu terdengar serak namun penuh kehangatan. “Kalau kamu menonton ini, berarti waktunya telah tiba. Waktunya kamu tahu semuanya.”
Talia menutup mulutnya, gemetar. Raka berdiri di sampingnya, siap menahan gadis itu jika ia roboh. Tapi Talia tetap berdiri tegak, meski air matanya sudah mengalir.
“Proyek Eden bukan sekadar sistem perlindungan. Ini adalah teknologi pembebas umat manusia dari dominasi korporat yang merusak dunia. Tapi karena aku menolak menjualnya ke mereka, aku diburu. Dan kamu... menjadi target.”
Gambar di layar berubah, menampilkan skema rumit. Data genetik. Peta jaringan saraf otak. Rangkaian enkripsi biologis.
“Semua ini kutanam di dalam dirimu, Tal. Bukan untuk membebanimu. Tapi karena kamu satu-satunya yang bisa kupercaya. Kamu bukan cuma anakku. Kamu harapan terakhir dari kerja keras yang ingin menyelamatkan dunia dari kekuasaan buta.”
Talia memejamkan mata. Rekaman berakhir. Keheningan menyelimuti ruangan.
“Ayahmu...” bisik Raka. “Dia tahu suatu hari kamu akan sampai di titik ini.”
Talia mengangguk pelan. “Dan sekarang, mereka pasti juga tahu aku sudah tahu.”
Baru saja ia mengucapkan kalimat itu, alarm darurat di laboratorium menyala. Lampu merah berkedip. Suara sistem otomatis bergema:
> “Infiltrasi terdeteksi. Perangkat pengawasan eksternal disabotase.”
Raka langsung meraih laptopnya. “Mereka datang. Kita harus pergi sekarang juga.”
“Tunggu!” seru Talia. Ia menunjuk satu rak tua di pojok ruangan. Di balik rak itu, tersimpan satu brankas kecil yang nyaris tersembunyi. Raka membantunya membukanya dengan paksa.
Di dalamnya, sebuah chip data berwarna perak berkilau.
“Ini... pasti cadangan sistem Eden,” gumam Talia.
Tanpa membuang waktu, mereka mengambil chip itu dan melarikan diri dari pintu belakang laboratorium. Di luar, malam sudah menyambut dengan hawa yang menusuk. Tapi mereka tahu, kegelapan bukan perlindungan. Justru saat inilah bahaya paling sering bersembunyi.
---
Malam itu, di tempat lain.
Di ruang kaca lantai tertinggi Gedung Orion, seorang pria berdiri menatap kota yang gemerlap. Di belakangnya, dua eksekutif muda berdiri diam, menunggu instruksi.
“Dia sudah menemukan video ayahnya?” tanya pria itu dengan suara datar.
“Ya, Tuan Edrick,” jawab salah satu eksekutif. “Dan membawa chip Eden.”
Edrick tersenyum kecil. “Luar biasa. Anak dari Leo akhirnya masuk ke permainan.”
“Apakah kita langsung tangkap mereka?”
“Belum. Biarkan mereka merasa punya harapan. Manusia paling mudah dihancurkan ketika mereka merasa nyaris menang.”
Lalu Edrick menoleh ke layar monitor yang menampilkan wajah Talia dan Raka dalam pengawasan satelit.
“Sebentar lagi, semuanya akan selesai. Eden akan milik kita. Dan dunia... akan tunduk.”
---
Sementara itu, di sebuah tempat persembunyian.
Raka dan Talia kini bersembunyi di rumah tua milik Pak Armand di luar kota. Rumah itu terlihat seperti rumah kebun biasa dari luar, tapi di bawahnya ada ruang penyimpanan data lengkap dengan sistem pengamanan tingkat tinggi.
Pak Armand menyambut mereka dengan wajah serius.
“Jadi, kalian berhasil menemukan chip Eden?”
Raka mengangguk. “Tapi mereka juga tahu. Kita nggak punya banyak waktu.”
Pak Armand membuka lemari besi dan mengeluarkan satu perangkat bundar seukuran piring kecil.
“Ini namanya Core Translator. Alat ini satu-satunya yang bisa mengaktifkan chip Eden dan memvisualisasikan sistemnya. Tapi hanya bisa bekerja kalau Talia yang memegangnya.”
Talia menatap alat itu, lalu memandang Pak Armand. “Kenapa harus aku terus?”
“Karena genetikmu sudah disinkronkan sejak kecil. Kamu bukan hanya penyimpan kunci, Tal. Kamu pintunya sendiri.”
Raka memegang tangan Talia, menenangkannya. “Kita bareng-bareng. Kamu nggak sendiri.”
Talia mengangguk dan mengambil alat itu. Saat ia menyentuhnya, cahaya biru menyebar, dan ratusan simbol muncul di udara. Gambar, peta, data—semua berputar mengelilingi mereka.
Raka terkesiap. “Ini... gila.”
Pak Armand tampak puas. “Inilah Eden. Bukan senjata, tapi sistem penyelaras. Ia bisa mengatur ulang seluruh sistem ekonomi digital dunia. Tapi jika jatuh ke tangan Edrick, ia akan menggunakannya untuk mengontrol segalanya.”
Talia menatap simbol itu lekat-lekat. “Apa yang harus kita lakukan?”
Pak Armand menatapnya tajam. “Kita harus jalankan misi terakhir ayahmu. Unggah Eden ke sistem bebas, biar siapa pun bisa mengakses, bukan hanya satu pihak. Tapi itu artinya kalian harus masuk ke pusat data utama milik Edrick.”
“Gedung Orion...” bisik Raka. “Misi bunuh diri.”
Pak Armand mengangguk. “Mungkin. Tapi kita punya satu keunggulan—kalian.”
---
Tengah malam, di halaman belakang rumah persembunyian.
Talia duduk sendiri, menatap chip Eden di tangannya. Ia teringat masa kecilnya—potongan-potongan kenangan mulai kembali. Ayahnya menggendongnya di taman. Ibunya tertawa. Sebuah pelukan hangat. Dan kemudian... gelap. Teriakan. Lampu merah. Bau besi. Lalu hilang.
Raka datang dan duduk di sampingnya.
“Kamu nggak takut?” tanya Talia lirih.
“Takut. Tapi aku lebih takut kehilangan kamu.”
Talia menoleh padanya, mata mereka bertemu. Untuk sesaat, dunia terasa hening.
“Aku juga,” bisik Talia. “Tapi kalau ini semua harus berakhir dengan aku kehilangan segalanya, aku nggak nyesel pernah ketemu kamu.”
Raka menghela napas pelan. Ia mengangkat tangan dan menyentuh pipi Talia dengan lembut.
“Aku janji, kita bakal keluar dari ini hidup-hidup. Bersama.”
Malam pun berlalu, membawa dua jiwa yang bersiap menghadapi hari paling penting dalam hidup mereka—hari di mana masa lalu, rahasia, dan harapan harus dihadapi dalam satu waktu.