Bangunan tua itu berdiri seperti hantu masa lalu—diam, lapuk, tapi penuh rahasia. Dindingnya dipenuhi lumut, jendela-jendelanya berdebu, dan atapnya nyaris roboh di beberapa sudut.
Namun di dalamnya, tersembunyi sebuah ruangan bawah tanah yang terlindung oleh pintu besi setebal tiga puluh sentimeter, dengan sistem pengamanan biometrik yang hanya bisa diakses oleh satu orang: Talia.
Gadis itu berdiri di depan panel pengenal retina. Tangannya gemetar, bukan karena takut pada teknologi itu, melainkan karena keputusan besar yang sebentar lagi harus ia ambil. Raka berdiri tak jauh darinya, memegang bahu Talia seolah ingin membagi keberanian.
“Tal,” suara Raka nyaris berbisik, “kita bisa berhenti di sini kalau kamu belum siap.”
Talia menggeleng perlahan. “Justru karena aku siap, makanya kita harus lanjut.”
Satu kedipan mata ke pemindai retina membuat pintu besi berderak berat, lalu terbuka perlahan, memperlihatkan lorong panjang yang dingin dan remang.
Aroma logam dan debu menyambut mereka seperti napas tua yang baru saja dibebaskan dari penjara.
Di ujung lorong, mereka menemukan sebuah ruangan bundar. Di tengahnya ada terminal komputer kuno dengan layar tebal berwarna kehijauan, tampak seperti sisa peninggalan zaman yang sudah terlupakan. Namun Raka tahu—di sanalah rahasia terbesar dunia disimpan.
Talia melangkah pelan ke depan layar. Tangannya mengetikkan sesuatu, deretan kode dan kata sandi yang seperti muncul dari ingatannya yang selama ini tersembunyi. Setiap tombol yang ditekan membawa mereka semakin dekat pada inti persoalan: Kode Tertinggi.
“Ini... kode yang Papa sembunyikan?” tanya Talia lirih.
Raka mengangguk. “Dan kamu adalah satu-satunya orang yang bisa membukanya.”
Layar menampilkan simbol aneh, seperti perpaduan huruf kuno dan geometri. Talia menatapnya dalam, dan seketika... ingatan demi ingatan kembali seperti ledakan yang tak bisa dibendung. Ia ingat tangan ayahnya menggenggam erat jemarinya.
Ingat suara lembut sang ibu membisikkan doa ketika dunia mulai runtuh. Ingat betapa ia disembunyikan dari semua kekacauan karena ia—bukan ayahnya, bukan ibunya—yang kelak harus memilih: menyebarkan atau mengubur.
“Kode ini... bukan cuma data,” bisik Talia, suaranya bergetar. “Ini senjata. Tapi juga harapan.”
Raka melangkah mendekat, berdiri di sisinya. “Apa yang sebenarnya bisa dilakukan kode ini?”
Talia menatap ke arah layar. “Bisa mengaktifkan sistem pemantauan global yang memungkinkan siapa pun yang punya akses untuk mengendalikan semua jaringan komunikasi dan senjata dunia... atau bisa meretas sistem itu dan menguncinya selamanya, memastikan tidak ada yang pernah menggunakannya.”
“Jadi,” gumam Raka, “kamu bisa jadi penyelamat dunia... atau pencetus kekacauan berikutnya.”
Talia tersenyum tipis. “Pilihan yang terlalu berat untuk seorang anak yang cuma pengin hidup tenang.”
Suasana di ruangan itu sunyi, seperti bumi menahan napasnya. Di luar, malam jatuh perlahan. Di dalam, waktu terasa beku. Talia menarik napas panjang, lalu mengangkat tangannya untuk menekan tombol terakhir—tombol yang akan menentukan ke mana arah dunia bergerak.
Tapi sebelum ia menekannya, sebuah suara menggema dari balik lorong.
“Jangan tekan itu, Talia.”
Talia dan Raka spontan berbalik. Seorang pria berdiri di ambang pintu besi, bayangannya panjang di dinding. Raka mengenalnya seketika—itu Falkner, sosok kelam dari masa lalu Pak Armand. Mata pria itu menyorot tajam, senyum dinginnya tak menyembunyikan niat jahat.
“Kalau kamu tekan itu, kamu menghancurkan segalanya. Termasuk orang-orang yang kamu cintai,” ujar Falkner pelan, tapi tajam seperti pisau.
Raka berdiri di depan Talia, siap melindunginya. “Kamu nggak berhak ada di sini!”
Falkner tertawa pendek. “Kalian pikir cuma kalian yang tahu tempat ini? Aku sudah mengikuti langkah kalian sejak meninggalkan markas di utara.”
Talia menggenggam pergelangan tangan Raka, mencoba tetap tenang. “Apa maumu?”
Falkner melangkah perlahan. “Aku hanya ingin kamu memilih opsi pertama—aktifkan sistem, lalu berikan aksesnya padaku. Kita bisa mengatur dunia ini, Talia. Kamu dan aku. Kita bisa ciptakan tatanan baru, tanpa kebohongan, tanpa kekacauan yang tidak terarah.”
Talia menatap pria itu, jijik sekaligus marah. “Kamu mau kupercayai setelah semua yang kamu lakukan? Setelah menculikku, memaksa ayahku bekerja untukmu, dan membunuh orang-orang yang mencoba melindungiku?”
Falkner mendengus pelan. “Aku hanya melakukan apa yang diperlukan. Dunia tidak bisa berubah tanpa pengorbanan.”
“Tapi itu bukan pengorbanan,” potong Raka, suaranya tajam. “Itu kekejaman.”
Ketegangan memuncak. Falkner merogoh jasnya, mengeluarkan pistol kecil berwarna hitam legam. Ia menodongkan senjata itu ke arah Raka.
“Tinggalkan dia, atau kamu yang mati duluan.”
Talia berdiri cepat. “Beraninya kamu!”
“Cuma ada satu cara kamu keluar dari sini dengan selamat, Talia,” ujar Falkner dingin. “Tekan tombol itu dan berikan akses ke jaringan.”
Raka memejamkan mata sejenak, lalu melangkah maju, berdiri tepat di depan senjata Falkner. “Kalau kamu mau ambil kendali dunia, kamu harus lewat mayatku.”
Untuk sesaat, dunia membeku. Lalu, suara tembakan meletus.
Talia menjerit, tapi bukan tubuh Raka yang roboh. Sebuah suara lain muncul dari belakang Falkner—dan pria itu terhuyung, ambruk ke lantai dengan darah mulai merembes dari bahunya.
Pak Armand muncul dari balik lorong gelap, memegang senapan laras pendek. Wajahnya keras, matanya berkaca-kaca. “Kau tak pernah tahu kapan harus berhenti, Falkner.”
Talia segera berlari memeluk pamannya. “Paman... kau datang!”
Pak Armand memeluknya singkat. “Aku selalu bersamamu. Dari jauh.”
Raka membantu mengikat tangan Falkner dengan kabel dari panel komputer. Ia masih hidup, tapi tak lagi menjadi ancaman.
Setelah memastikan semuanya aman, Pak Armand menatap Talia dalam-dalam. “Waktunya memilih, Nak.”
Talia memandang layar kembali. Jari-jarinya menggantung di atas dua pilihan: AKTIFKAN atau HAPUS SELAMANYA.
Ia menutup mata. Dalam pikirannya, wajah ayah dan ibunya hadir. Raka, pamannya, semua orang yang telah percaya padanya. Semua luka, semua pengorbanan. Ia sadar, dunia tidak butuh senjata baru. Dunia butuh kepercayaan, dan keberanian untuk tidak tergoda oleh kekuasaan.
Ia menekan tombol: HAPUS SELAMANYA.
Layar berkedip, lalu sistem mulai menghancurkan seluruh jaringan kode. Data, akses, blueprint teknologi, semuanya perlahan lenyap, dibakar oleh enkripsi berlapis yang tak bisa diurai ulang.
Talia mundur, air mata menetes. Tapi kali ini, bukan air mata ketakutan—melainkan kelegaan.
Raka menggenggam tangannya. “Kamu luar biasa.”
Pak Armand mengangguk bangga. “Ayah dan ibumu akan bangga padamu.”
Dan saat fajar mulai menyingsing di luar sana, dunia pun menyambut harapan baru. Sebuah dunia yang tak lagi dikendalikan oleh kode, tapi oleh hati manusia yang tahu cara memilih.