Jebakan di Balik Cermin

Tiga hari sejak Talia dibawa pergi. Tiga hari pula Raka dan tim rahasia yang tersisa menyusuri sisa-sisa jejak dari sistem pengawasan rumah tempat Talia terakhir terlihat.

Tiga hari tanpa tidur yang utuh, tiga hari penuh rapat di ruang bawah tanah rumah Pak Armand—dan kini semuanya bertumpuk menjadi satu: rasa bersalah, kemarahan, dan semangat untuk mengambil kembali orang yang paling berarti.

“Lokasi terakhir sinyal pelacaknya muncul di wilayah pesisir utara,” ujar Jani, mantan programmer utama Divisi Enkripsi yang kini bekerja di pihak Pak Armand secara diam-diam. Ia menunjuk peta hologram di atas meja.

Raka mengangguk pelan, matanya merah karena lelah. “Mereka pasti tahu kita sedang melacak.”

“Sudah pasti,” timpal Pak Armand dari sudut ruangan. “Makanya ini bisa jadi jebakan. Tapi kita tidak bisa tinggal diam.”

“Kita harus ke sana malam ini,” kata Raka. “Aku akan masuk duluan. Kalian tunggu aba-aba.”

Semua menoleh padanya.

“Sendirian?” tanya Jani.

“Aku yang mereka tunggu,” sahut Raka. “Kalau ini jebakan, aku satu-satunya yang bisa bertahan cukup lama untuk buka celah kalian masuk.”

Pak Armand menatap Raka lama. Lalu ia mengangguk.

---

Langit malam tampak seperti tenda besar berwarna kelabu. Angin laut berembus pelan, namun dinginnya menusuk. Raka menyusup melewati pagar karat dari kompleks tua di pinggir pelabuhan yang sudah lama tak terpakai.

Di dalamnya berdiri sebuah bangunan besar seperti gudang, dan dari celah-celah jendelanya, tampak sinar remang-remang lampu neon yang berkedip pelan—seperti detak jantung yang tidak tenang.

Ia menyelinap masuk lewat pintu belakang, menonaktifkan sensor gerak dengan alat portabel kecil yang diprogram Jani. Langkahnya pelan, hampir tanpa suara, menyusuri lorong sempit berbau lembap.

Kemudian, suara terdengar. Lembut, lirih, dan penuh luka.

“Raka?”

Ia langsung membalikkan badan. Suara itu datang dari balik cermin besar di ujung lorong. Cermin? Raka mendekat perlahan. Di balik permukaan kaca dua arah itu, terlihat sosok Talia—duduk di kursi, dengan tangan terikat dan mata yang berkaca-kaca.

“Talia...”

Suara Raka tercekat. Tapi ia segera sadar—tempat itu bukan ruang penahanan biasa. Ini… semacam ruang observasi. Dan keberadaan cermin dua arah hanya satu arti: jebakan psikologis.

“Masuk saja, Raka,” suara berat pria terdengar dari pengeras suara di langit-langit. “Sudah kubilang kan? Cepat atau lambat kamu akan datang sendiri.”

Itu suara Damar. Kepala proyek pengkhianat yang dulu adalah rekan Pak Armand, dan kini memimpin faksi gelap yang ingin mengeksploitasi memori biologis Talia untuk membuka kode utama sistem pusat negara.

“Lepaskan dia!” teriak Raka.

“Tentu. Setelah kamu menyelesaikan satu hal dulu.”

Tiba-tiba lantai tempat Raka berdiri menyala merah. Sinar laser muncul dari berbagai sudut, membentuk jaringan yang kompleks—perangkap yang tak bisa dilompati sembarangan.

“Kalau kamu berhasil lewati itu dalam waktu 3 menit, Talia bebas. Kalau tidak... kamu tahu apa yang terjadi.”

Jebakan. Tapi Raka sudah siap. Ia menekan tombol di belakang sarung tangannya—alat modifikasi sinyal otot yang ia dan Jani kembangkan. Tubuhnya jadi lebih ringan, gerak refleks meningkat.

Ia mulai melangkah.

Satu… dua… tiga…

Tubuhnya berputar, melompat, menekuk di antara sela-sela cahaya merah. Setiap gerakan harus tepat. Satu kesalahan, dan laser itu akan membakar kulitnya dalam sekejap.

Dari balik cermin, Talia menatapnya dengan air mata. “Jangan, Raka… kamu bisa mati…”

Tapi Raka tak mendengar. Fokusnya penuh. Ia harus sampai ke ujung. Demi Talia. Demi janji yang ia buat waktu gadis itu menatapnya di balkon, penuh luka tapi masih percaya.

Dua menit lewat.

Raka tergelincir. Bahunya hampir tersambar sinar. Tapi ia menarik napas dan menggigit lidahnya agar tetap sadar.

Tiga detik sebelum waktu habis, ia melompat, berguling, dan sampai di ujung lantai. Tombol lepas laser ditekan. Semua sinar padam.

Talia menangis.

Tapi belum sempat ia menyentuh pintu kaca, sebuah tembakan memecah keheningan.

BRAK!

Peluru menembus bahu kiri Raka.

“Aku tahu kamu bakal berhasil,” suara Damar kembali terdengar. “Makanya kami siapkan rencana B.”

Pintu di depan terbuka. Empat pria bersenjata masuk. Tapi sebelum mereka mendekat, terdengar ledakan dari sisi luar gudang.

DOOOM!

Dinding roboh. Debu mengepul. Suara-suara perintah terdengar dari headset yang menempel di telinga Raka.

“Masuk! Tim B ke sayap kanan! Ambil target dan lindungi Raka!”

Itu suara Jani.

Tim penyelamat masuk, bersenjata dan berseragam hitam. Tembakan terjadi. Bentrok. Asap. Jeritan.

Raka, dengan bahu yang terluka, masih berdiri dan memegangi gagang pintu kaca.

Akhirnya, ia buka. Talia berdiri di seberangnya, tubuhnya gemetar.

“Maaf aku terlambat,” bisik Raka.

Talia memeluknya tanpa suara. Tangisnya pecah, bercampur dengan suara tembakan yang semakin menjauh.

---

Beberapa jam kemudian, mereka kembali ke rumah aman. Bahu Raka sudah dibalut perban, dan Talia tertidur di kursi panjang, masih dengan selimut di pangkuannya.

Pak Armand menatap layar dengan raut serius. “Kita berhasil menyelamatkan dia. Tapi ini belum selesai.”

Jani duduk di sampingnya. “Mereka hampir berhasil membongkar sistem inti memori Talia. Kalau telat dua hari saja, semua rahasia bisa jatuh ke tangan mereka.”

“Berarti kita harus bertindak cepat,” ucap Raka pelan.

“Benar,” kata Pak Armand. “Tapi untuk itu, kita harus buka satu hal terakhir: ingatan Talia yang dikunci paling dalam. Hanya kamu yang bisa bantu.”

Raka menatap Talia yang tidur. Dalam hatinya, ia tahu... saat Talia terbangun nanti, hidupnya tak akan pernah sama. Tapi Raka akan tetap di sana. Mendampinginya.

Apa pun yang akan terjadi.