Sudah lima hari sejak Talia diselamatkan dari markas musuh. Lima hari sejak Raka tertembak di bahu, dan dunia mereka berubah lagi. Kini, rumah aman Pak Armand dipenuhi suasana siaga. Mereka semua tahu, perang belum berakhir. Bahkan, bisa dibilang baru dimulai.
Di ruang observasi bawah tanah, Talia duduk sendirian di depan sebuah layar yang menyala redup. Di tangannya, sebuah perangkat kecil berbentuk kapsul transparan. Isinya: fragmen terakhir dari sistem memori yang ditanamkan padanya sejak kecil.
“Kalau aku buka ini,” gumamnya pelan, “semua kenangan yang selama ini dikunci… akan muncul.”
Jani yang berdiri tak jauh darinya, menatap dengan campur aduk. “Kamu yakin mau tahu semuanya?”
Talia mengangguk. “Aku harus tahu siapa aku sebenarnya. Dan… kenapa hanya aku yang menyimpan kunci utama sistem negara.”
---
Sementara itu, Raka sedang duduk di halaman belakang rumah aman. Bahunya yang masih diperban sesekali terasa nyeri, tapi itu tak sebanding dengan nyeri di dalam pikirannya sendiri.
Pak Armand datang menghampiri, membawa dua cangkir kopi.
“Dia akan membukanya,” ujar Raka, tanpa perlu ditanya.
“Ya,” kata Pak Armand. “Dan kalau itu terjadi… kita semua harus siap.”
“Aku tahu. Tapi, apa kau yakin ini bukan cuma bagian dari rekayasa besar yang lebih tinggi lagi? Bisa jadi… Talia hanya bagian dari rencana orang-orang di atas yang tak pernah kelihatan.”
Pak Armand menghela napas panjang. “Selama ini, aku juga curiga. Ada satu hal yang tak pernah kuberitahu siapa pun.”
Raka menoleh.
“Sepuluh tahun lalu, bukan hanya Talia yang ditanamkan memori biometrik. Ada satu subjek eksperimen lainnya. Tapi sistem menolak dia. Terjadi kegagalan total. Subjek itu dikira mati.”
Raka menegang. “Siapa?”
Pak Armand menatapnya dengan mata berat. “Kamu, Raka.”
Dunia seolah berhenti bergerak. Angin berhenti berhembus. Suara burung tak terdengar.
“Apa maksudmu… aku…?”
“Kamu adalah subjek uji pertama. Tapi sistem menolaknya. Tubuhmu sempat kolaps. Namun… ada yang aneh. Meski memori biometrik gagal tertanam, sebagian fragmennya tetap bertahan.
Dan secara tidak sadar, kamu tetap terhubung ke sistem. Itu sebabnya kamu bisa merasakan bahaya sebelum terjadi. Itu sebabnya kamu dan Talia… seperti dua sisi dari satu kunci.”
Raka memejamkan mata. Kilasan ingatan yang dulu samar—mimpi aneh, deja vu, firasat—semua seperti potongan puzzle yang kini menemukan tempatnya.
“Aku… dan Talia… dibentuk dari rencana yang sama?”
“Ya. Tapi kamu dibebaskan dari sistem, karena dianggap gagal. Sementara Talia, ditanamkan lebih dalam.”
“Lalu kenapa aku tidak pernah diingatkan? Tidak pernah diberi tahu?”
“Karena aku ingin kamu tumbuh sebagai manusia. Bukan alat.”
---
Di ruangan bawah tanah, Talia sudah siap. Perangkat kecil itu ia tempelkan ke pelipisnya. Layar menyala terang. Gelombang cahaya menyelimuti ruangan.
Jani bersiaga, matanya terpaku pada grafik denyut saraf yang terus melonjak.
Talia menggigit bibir. Seketika, matanya membelalak.
Suara. Wajah. Gambar. Potongan-potongan masa lalu seperti badai menghantam pikirannya.
Sebuah ruangan putih.
Dokter-dokter berjas panjang.
Suara perempuan—ibunya—berteriak, lalu menghilang.
Suara seseorang berbisik di telinga:
"Kamu adalah kunci. Dan kunci tidak boleh memilih. Kunci hanya dibuka oleh yang layak."
Lalu gelap.
Kemudian—tiba-tiba—muncul wajah Raka. Masih kecil. Duduk di sisi ranjang putih. Menangis.
Talia terisak. “Raka… kamu ada di sana… sejak awal…”
Mata Talia terbuka. Air matanya jatuh.
“Dia… teman eksperimenku. Kami dari awal memang… dijodohkan sistem…”
Jani menelan ludah. “Berarti kalian bukan hanya bagian dari proyek yang sama. Tapi kalian dua potongan memori. Kalau kamu dibuka… dan Raka diaktifkan… sistem pusat bisa terbuka total.”
Talia memutar wajah ke layar. “Lalu kenapa… sistem ini dibuat? Apa hanya untuk pertahanan negara?”
Jani ragu menjawab. Tapi dari pintu, Pak Armand masuk.
“Bukan,” katanya. “Ini bukan sekadar sistem pertahanan. Ini adalah kunci ke Project Eden.”
Talia menoleh. “Apa itu?”
“Program rahasia yang ingin menciptakan peradaban baru. Dunia baru. Dimulai dari kehancuran yang dirancang. Yang bisa mengatur ulang seluruh tatanan global. Tapi untuk memicunya… dibutuhkan dua kunci: kamu… dan Raka.”
Hening.
“Jadi… selama ini… aku bukan cuma gadis yatim piatu yang diselamatkan?” tanya Talia pelan.
“Kamu adalah bagian dari rencana untuk menghancurkan dunia—dan membangunnya kembali.”
Talia berdiri. Langkahnya goyah. Tapi matanya tak lagi takut. Ia menatap Raka yang baru saja masuk dari tangga.
“Kamu tahu sekarang?”
Raka mengangguk.
“Kamu marah?”
“Tidak,” jawab Raka. “Karena aku tahu… selama kamu masih bisa memilih, kamu tetap manusia. Bukan alat.”
Talia menutup matanya.
“Kita tak akan biarkan mereka memanfaatkan kita, kan?”
“Tidak,” kata Raka.
Pak Armand mendekat. “Ada satu hal yang bisa kalian lakukan. Tapi risikonya besar. Sangat besar.”
“Apa?”
“Jika kalian bersatu—secara sistemik dan biologis—kalian bisa menonaktifkan Project Eden. Tapi itu hanya bisa dilakukan jika dua memori kalian dilebur jadi satu. Artinya, salah satu dari kalian… akan kehilangan semua identitasnya. Menyatu ke yang lain.”
Talia tercekat.
“Apa maksudnya… salah satu dari kita… harus hilang?”
“Secara teknis… ya. Tapi tak sepenuhnya mati. Dia akan hidup dalam ingatan yang lain. Tapi takkan pernah bangun sebagai dirinya sendiri lagi.”
Raka dan Talia saling menatap. Hening. Panjang.
“Jadi,” ujar Pak Armand pelan, “kalian punya waktu dua hari sebelum Project Eden aktif otomatis. Pilihan ada di tangan kalian. Dunia… menunggu keputusan kalian.”
---
Malam itu, langit dipenuhi bintang. Raka dan Talia duduk di atap rumah aman. Udara dingin, tapi hati mereka lebih dingin lagi.
“Aku gak mau kehilangan kamu,” bisik Talia.
“Aku juga,” jawab Raka. “Tapi kalau harus memilih antara kehilangan kamu… atau dunia hancur…”
Talia menatapnya. “Kamu mau jadi aku?”
“Aku… bersedia hilang… kalau kamu bisa hidup.”
Talia menggeleng cepat, air matanya jatuh.
“Jangan ngomong kayak gitu. Kita pasti bisa cari cara lain.”
Raka menatap langit. “Mungkin. Tapi jika tidak ada… aku harap kamu akan ingat aku… meski aku hanya suara kecil di dalam hatimu nanti.”
Talia memeluknya. Kuat. Lama. Seolah ingin membekukan waktu.
Di kejauhan, langit mulai memerah.
Tanda bahwa waktu mereka… hampir habis.