Api Dalam Diam

Langit malam kota itu memerah, bukan karena senja, tapi karena lampu-lampu sirine dan cahaya dari gedung markas utama yang terbakar sebagian.

Alarm tak henti berbunyi, menembus setiap lorong, mengguncang dinding, dan menggema hingga ke lapisan paling bawah dari laboratorium rahasia yang selama ini tersembunyi dari publik.

Raka terengah, tubuhnya berlumur debu dan luka. Di belakangnya, ledakan dari generator cadangan membuat lantai bergetar.

"Raka! Jalur ini udah nggak aman!" teriak Aluna dari balik pintu besi yang hampir roboh. Wajahnya kotor, rambutnya kusut, tapi sorot matanya tetap sama—berani.

Raka mendekat sambil menyeret salah satu koper hitam berisi data dan file rahasia yang berhasil ia curi dari ruang utama. “Kita harus keluar sebelum mereka aktifkan sistem pembakar seluruh gedung ini.”

“API-PROTOCOL?” tanya Aluna dengan suara gemetar.

Raka mengangguk pelan. “Mereka lebih milih hancurin semuanya daripada jatuh ke tangan kita.”

Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari ujung lorong. Bukan hanya satu. Raka langsung menarik Aluna ke samping, ke balik tumpukan besi tua.

Dari balik bayangan, muncullah sosok musuh lama mereka. Pria bertubuh tinggi dan berjas hitam dengan lencana korporat bercahaya merah. Matanya seperti robot—dingin dan penuh kalkulasi.

“Direktur Kaizen…” bisik Aluna.

Raka mengencangkan rahangnya. “Dia sendiri yang datang.”

Direktur Kaizen melangkah pelan, membawa alat pemindai di tangannya. "Raka, aku tahu kau di sini. Kau tak akan bisa membawa data itu keluar hidup-hidup."

Raka menyahut, “Lucu. Dulu kau bilang aku bukan siapa-siapa. Sekarang kau kejar aku seperti aku harta karun.”

“Karena kau adalah harta karun. Produk gagal yang ternyata bisa berpikir.”

Saat itu juga, Aluna menarik Raka agar mundur melalui terowongan darurat yang sebelumnya mereka temukan.

Namun sebelum mereka masuk lebih jauh, suara Direktur Kaizen memanggil, "Bawa Aluna ke sini. Sekarang."

Raka berhenti.

Tiba-tiba, dari arah lain muncullah dua agen robotik, masing-masing membawa senjata laser. Salah satunya menarik Aluna dan mengacungkan senjata ke kepalanya.

“RAKA!!!” teriak Aluna, tubuhnya ditarik ke belakang.

Raka ingin menyerang, tapi Direktur Kaizen mengangkat tangan, dan semua berhenti.

“Kalau kau menyerahkan koper itu, aku akan lepaskan dia,” ucapnya tenang.

Raka menatap Aluna. Gadis itu menggeleng pelan. “Jangan kasih, Raka. Jangan!”

Tangannya gemetar. Raka tahu, semua yang ia kumpulkan, semua yang ia perjuangkan—bukti, kebenaran, data tentang eksperimen manusia yang selama ini disembunyikan perusahaan—ada dalam koper itu. Kalau ia serahkan, semuanya sia-sia. Tapi kalau tidak, Aluna bisa...

“Aku…” Raka menunduk, lalu perlahan meletakkan koper itu.

Kaizen tersenyum puas. “Pintar.”

Namun sebelum koper itu benar-benar lepas dari tangan Raka, tiba-tiba... BOOM!

Suara ledakan lain mengguncang gedung. Atap bagian atas runtuh sebagian, membuat semua orang terpukul mundur.

Dalam kekacauan itu, seseorang muncul dari balik reruntuhan. Wajahnya tertutup helm baja, tapi Raka mengenali langkahnya.

Arvid.

Sahabat lamanya yang dulu dianggap mati.

“Jangan serahkan koper itu, Raka!” serunya sambil melemparkan granat asap ke arah para agen.

Raka tanpa pikir panjang langsung menarik Aluna dan membawa koper itu kembali. Arvid maju, bertarung melawan agen-agen robotik dengan pisau laser di tangan.

“Cepat keluar dari sini!” teriak Arvid sambil menahan dua agen sekaligus.

Raka menatapnya dalam-dalam, matanya basah. “Kau masih hidup…”

Arvid tersenyum tipis. “Nanti kita cerita. Sekarang selamatkan dunia dulu.”

Raka dan Aluna melarikan diri ke dalam lorong darurat. Di belakang mereka, suara dentuman, tembakan, dan jeritan logam menggema seperti simfoni neraka.

Begitu mereka berhasil keluar dari kompleks dan masuk ke dalam mobil penyamaran, Raka segera menyalakan sistem pengacau sinyal.

Aluna duduk lemas, tubuhnya gemetar. “Arvid… dia menolong kita.”

Raka memegang tangannya. “Dia keluarga.”

Mobil itu meluncur menuju titik pertemuan. Kota itu terlihat lebih kacau dari sebelumnya. Jaringan listrik mulai mati satu per satu, dan kabar soal kebocoran data Kaizen Corp sudah menyebar di internet.

Dari radio komunikasi, terdengar suara seorang wanita, “Raka, Aluna, kalian di sana? Ini Kiara. Kami lihat ledakan besar. Kalian selamat?”

Raka menekan tombol. “Kami selamat. Tapi Arvid masih di dalam.”

“Arvid? Dia masih hidup?!”

“Dia selamatkan kami. Dia butuh bantuan.”

“Baik. Kami akan kirim tim bantuan ke sana. Kalian tetap menuju titik evakuasi.”

Raka mematikan komunikasi dan menatap langit kota dari jendela. “Tinggal dua babak lagi, Lu. Dan ini belum selesai.”

Aluna menoleh, senyumnya lemah namun hangat. “Kalau kita berhasil keluar dari ini semua, aku janji… kita pergi ke tempat yang tenang. Hidup biasa. Mungkin buka warung kopi kecil?”

Raka tertawa kecil. “Warung kopi sama cewek pejuang seperti kamu? Bisa rame tuh.”

Tapi di dalam hati mereka tahu, pertarungan belum selesai. Musuh yang lebih besar sedang mengintai. Kaizen Corp mungkin kehilangan satu markas, tapi belum seluruh kekuasaannya.

Babak akhir mendekat.

Dan Raka tahu—mereka tak bisa kalah.