Malam yang seharusnya tenang di perbatasan kota berubah menjadi ladang pelarian dan ketegangan. Di balik hutan-hutan sintetis dan menara-menara pengintai milik Kaizen Corp, Raka, Aluna, dan tim kecil mereka akhirnya tiba di titik evakuasi yang telah disiapkan oleh kelompok pemberontak independen yang menamakan diri “Ordo Nox”—organisasi rahasia yang telah lama mengintai Kaizen dari balik bayangan.
Dari atas bukit, Raka berdiri memandangi kota yang jauh di balik kabut. Api masih menyala dari reruntuhan markas utama Kaizen. Helikopter patroli terlihat terbang di atas sana, seperti burung-burung logam yang kehilangan arah.
"Kalau mereka tahu kita di sini, kita cuma punya waktu kurang dari dua jam sebelum tempat ini jadi kuburan massal," ujar Kiara, salah satu pemimpin Ordo Nox, dengan nada datar.
Raka menyahut sambil membuka koper hitam berisi data-data yang ia curi, “Mereka mungkin kuat, tapi data ini... bisa menghancurkan seluruh sistem mereka.
Semua kebusukan mereka, dari eksperimen ilegal, manipulasi politik, sampai pembunuhan terselubung... semua ada di sini.”
Aluna menatap layar monitor portabel yang menampilkan rekaman anak-anak yang dijadikan subjek percobaan. Matanya berkaca. “Mereka bukan cuma jahat. Mereka iblis berwajah manusia.”
“Dan iblis itu harus dilucuti di depan semua orang,” kata Raka sambil menatap langit yang mulai berubah warna—dari hitam ke ungu kebiruan.
Kiara mendekat dan menyerahkan chip transmisi khusus. “Gunakan ini untuk menyebarkan data itu ke seluruh jaringan global. Begitu kamu tekan tombol ini, tak ada jalan balik. Semua mata dunia akan melihat.”
Raka menerima chip itu, menatapnya sejenak. “Kalau ini yang harus kulakukan, aku siap.”
Tiba-tiba, suara ledakan mengguncang bukit tempat mereka berdiri. Tanah bergetar hebat. Debu dan serpihan beterbangan.
“Serangan udara! Mereka tahu posisi kita!” teriak Kiara.
“SEMUANYA TURUN! KE DALAM BUNKER!” teriak salah satu anggota Ordo Nox.
Raka menarik Aluna dan berlari ke dalam jalur bawah tanah tersembunyi di balik semak palsu. Ledakan lain menyusul, lebih dekat, hingga langit tampak berkilat merah.
Di dalam bunker, ruangan sempit namun penuh perangkat canggih, Raka mencoba menghubungkan chip ke terminal pusat. Tapi sistem mulai terguncang oleh gangguan sinyal.
“KAIZEN NGIRIM VIRUS!” seru salah satu teknisi.
Kiara memukul meja. “Kita butuh waktu lima menit untuk menembus firewall mereka.”
“Lima menit? Kita bahkan nggak punya lima detik!” teriak Aluna sambil melihat radar. “Ada pasukan darat mendekat. Dua puluh orang, dilengkapi drone tempur!”
Raka mengepalkan tangan. “Kalau mereka mau perang, mereka akan dapat perang.”
Ia meraih senjata di dinding, mengenakan rompi pelindung, dan menatap Aluna dalam-dalam. “Kalau aku nggak kembali dalam sepuluh menit, kamu teruskan ini.”
Aluna menggenggam tangannya erat. “Kamu balik. Kita harus selesaikan ini bareng.”
---
Di luar bunker, langit berwarna api. Pasukan Kaizen muncul dari balik pepohonan, membawa senjata berteknologi tinggi. Di barisan depan mereka, berdiri Direktur Kaizen, wajahnya tetap dingin dan penuh kebencian.
“Kalian kira kalian bisa mengubah dunia dengan satu koper? Dunia ini sudah lama milik kami,” katanya, suara beratnya terdengar jelas lewat pengeras suara.
Raka maju perlahan. “Justru karena dunia ini milik kalian, makanya harus direbut kembali.”
Direktur Kaizen tertawa kecil. “Beraninya kau, eksperimen gagal, menantang penciptamu sendiri.”
Raka tak menjawab. Ia langsung menembakkan peluru EMP ke arah salah satu drone, menghancurkannya dalam satu tembakan. Pertempuran pun pecah.
Dari balik bunker, Aluna dan Kiara mulai mengaktifkan sistem penyiaran darurat. Layar demi layar mulai menyala, tapi virus digital Kaizen terus menyerang balik, membuat jaringan terganggu.
“Raka, kami butuh lebih banyak waktu!” teriak Kiara lewat komunikasi internal.
“SIAP!” Raka membalas sambil bertarung di medan terbuka, bersama beberapa pasukan Ordo Nox. Meski jumlah mereka sedikit, semangat mereka membara.
Peluru berdesing, api menyala, dan tubuh jatuh satu per satu. Tapi Raka tak mundur.
Di tengah pertempuran, Direktur Kaizen mendekat. Kini tanpa pelindung, hanya membawa sebuah pedang plasma berukuran sedang.
“Kau pikir bisa menjatuhkan Kaizen hanya dengan satu malam kacau?” ujarnya sinis.
Raka melempar senjatanya yang sudah kehabisan peluru, lalu mengangkat sebatang besi dari reruntuhan. “Aku nggak butuh senjata canggih untuk ngelawan monster kayak kamu.”
Pertarungan tangan kosong meledak di antara dua sosok itu—masa lalu dan masa depan. Raka menyerang dengan amarah, Kaizen bertahan dengan kesempurnaan.
Di saat kritis, Kaizen menjatuhkan Raka ke tanah dan menekan lehernya.
“Kau ini bukan siapa-siapa, Raka! Kau ciptaan gagal yang hanya bisa berontak!”
Namun sebelum pukulan terakhir dilayangkan, DOR! suara tembakan memecah malam.
Direktur Kaizen terjatuh ke belakang.
Aluna berdiri di balik asap, pistol di tangannya bergetar. Matanya merah.
“Kau salah,” katanya dengan napas tersengal. “Dia bukan ciptaan gagal. Dia harapan.”
Raka bangkit perlahan. “Lu…”
Mereka berdua tak sempat bicara lebih lama. Dari bunker, suara Kiara terdengar, “RAKA, SEKARANG!”
Raka dan Aluna berlari kembali ke dalam. Chip berhasil tersambung. Data-data mulai tersebar ke seluruh dunia, dari media sosial, server pemerintah, hingga layar iklan di kota besar.
Orang-orang terkejut. Video-video eksperimen rahasia, laporan pembunuhan, rekaman anak-anak yang disiksa—semua terpampang terang.
Kaizen Corp runtuh dalam semalam.
---
Beberapa jam kemudian…
Raka duduk di atap bunker, menatap matahari pertama yang muncul setelah malam neraka itu. Di sampingnya, Aluna bersandar di bahunya.
“Jadi… kita berhasil?” bisik Aluna.
Raka mengangguk pelan. “Kita berhasil.”
“Kaizen tumbang?”
“Dan dunia tahu siapa mereka sebenarnya.”
Aluna menghela napas. “Lalu, apa selanjutnya?”
Raka tersenyum kecil. “Bab terakhir.”
Mereka berdua menatap langit, yang kini tak lagi merah. Tapi meski perang selesai, luka belum sepenuhnya sembuh. Banyak yang gugur. Banyak yang terluka. Dan dunia masih harus belajar memulihkan diri dari luka yang selama ini disembunyikan.
Namun satu hal pasti: tak ada yang akan melupakan malam itu. Malam saat kebenaran menang. Saat langit menyala. Saat manusia bangkit melawan ketidakadilan.
Dan saat dua orang pemberani—yang awalnya cuma remaja biasa—mengubah arah sejarah.