Cahaya di Ujung Kode

Raka berdiri di tengah auditorium besar itu, napasnya bergetar. Layar lebar di belakangnya menampilkan presentasi final proyek rintisan yang ia dan timnya kembangkan: NeuroLink AI, sistem konektivitas saraf-ke-komputer yang mampu menerjemahkan emosi manusia menjadi perintah digital secara real time.

Selama beberapa detik, ruangan hening. Jantung Raka berdebar cepat.

Namun kemudian, gemuruh tepuk tangan pecah. Penonton berdiri. Mata beberapa juri dari Silicon Asia Accelerator bahkan tampak berkaca-kaca.

Proyek Raka resmi diumumkan sebagai pemenang utama. Ia menatap layar dengan pandangan berkabut, nyaris tak percaya bahwa perjuangan panjangnya telah sampai ke titik ini.

---

Satu jam kemudian, ia keluar dari gedung bersama Dira, yang kini menjadi co-founder dan juga... cintanya yang tak lagi perlu ia sembunyikan.

"Lo berhasil, Raka," ujar Dira pelan. "Bukan cuma karena jenius lo, tapi karena lo nggak pernah berhenti percaya—sama ide lo, sama tim lo, sama gue."

Raka tersenyum lebar. "Dan gue juga berhasil karena gue pernah gagal. Gagal masuk kuliah. Gagal percaya diri. Gagal memaafkan diri sendiri. Tapi semua kegagalan itu... ternyata jalan menuju momen ini."

Mereka berdiri di taman kecil di samping gedung. Lampu kota berpendar tenang. Malam itu bukan malam biasa—itu malam yang menandai titik puncak dari semua perjuangan, luka, dan cinta yang telah mereka lewati bersama.

---

Keesokan paginya, Raka kembali ke rumah kontrakannya yang sempit di pinggir Jakarta. Ia duduk di kursi kayu reyot yang pernah jadi saksi saat dia lembur semalaman, coding sambil makan mi instan.

Kini, ia membuka laptop yang sama. Tapi bukan untuk coding.

Ia membuka email. Terdapat dua notifikasi penting:

1. Undangan resmi dari MIT untuk berbicara di seminar internasional teknologi neuro-interface.

2. Surat dari ibunya.

Tangan Raka gemetar saat membaca surat itu.

> Raka,

Ibu tahu kamu nggak pernah berhenti belajar, walau dulu kita nggak bisa bantu apa-apa.

Tapi hari ini, Ibu cuma ingin bilang:

Kamu bukan lagi anak yang gagal masuk universitas. Kamu adalah anak yang membuat dunia menoleh.

Dan Ibu bangga.

Selalu.

Air mata Raka mengalir. Ini bukan tentang teknologi. Bukan tentang penghargaan.

Ini tentang seorang anak yang pernah merasa tak berharga, kini mampu memeluk dunia dengan pencapaian dan ketulusan.

---

Beberapa minggu kemudian…

Raka berdiri di sebuah panggung kecil di kampung halamannya. Ia membawa dua laptop bekas, sepuluh keyboard murah, dan satu proyektor kecil. Di depannya, puluhan anak desa duduk bersila, mata mereka berbinar penasaran.

"Nama gue Raka. Dan gue dulu cuma barista warung kopi, yang gagal masuk kuliah," katanya.

"Tapi sekarang, gue mau ngajarin kalian sesuatu yang bisa bikin kalian lebih hebat dari gue."

Anak-anak itu bersorak kecil. Beberapa tak mengerti maksudnya, tapi mereka tahu satu hal: Raka pulang bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai saudara yang membawa cahaya.

Dan ketika malam turun di desa kecil itu, cahaya dari proyektor menyinari layar putih sederhana di dinding balai desa. Di situ, Raka menunjukkan kepada mereka: bagaimana cara menulis baris pertama kode. Bagaimana teknologi bisa tumbuh dari cinta.

---

Lima tahun kemudian…

Raka meluncurkan yayasan nirlaba Kode untuk Asa, yang mengajar anak-anak pelosok tentang teknologi, pemrograman, dan etika digital. Ia juga menjadi pembicara rutin di berbagai forum internasional. Namun, tak ada yang ia banggakan lebih dari satu hal:

Ia menikahi Dira. Mereka kini memiliki satu anak kecil bernama Yuna, yang lahir prematur tapi kuat, seperti ayah dan ibunya.

TAMAT.