Pukulan pertama Astraem mengenai... tanah.
Pukulan kedua, nyaris kena kaki sendiri.
Dan pukulan ketiga—ajaibnya—malah bikin tongkatnya patah dua.
Tapi entah karena faktor keberuntungan tingkat langit, atau karena kelinci iblis itu bosan, makhluk itu tiba-tiba melompat ke semak dan kabur. Meninggalkan Astraem yang terengah-engah dengan tongkat sisa satu jengkal.
“Aku menang?” gumam Astraem, masih bengong.
[Selamat! Anda berhasil membuat musuh merasa kasihan.]
[EXP +1. Moral +0. Harga Diri: … dipertanyakan.]
Astraem terduduk. Bukan karena lelah, tapi karena shock. Dunia fana ini… keras.
“Baru juga episode satu udah begini,” keluhnya.
Ia menatap sekitar. Hutan masih sepi. Udara mulai dingin. Dan ia baru sadar satu hal penting: dia lapar. Bukan lapar biasa, tapi jenis lapar yang bikin daun kering kelihatan menggoda.
“Aku butuh makanan. Atau minimal... Wi-Fi,” gumamnya sambil meraba perut.
Dan di saat itulah, seperti mukjizat zaman modern, muncul aroma lezat yang melayang-layang dari balik pepohonan. Wangi rebusan kaldu, bumbu rempah, dan sedikit bau gosong yang justru menambah selera.
Astraem berdiri.
“Hidungku tak pernah bohong,” ujarnya sambil mengikuti aroma itu.
Beberapa menit kemudian, ia sampai di sebuah jalan setapak. Di tepi jalan, berdiri tenda kecil dari kain tambal-tambalan, dan di depannya duduk seorang pria tua bertopi lebar dengan janggut acak-acakan. Di depannya, mendidih sebuah panci besar berisi sup yang tampak... mencurigakan.
“Oh, pengembara muda!” sapa si pria tua dengan suara ramah—terlalu ramah.
Astraem mendekat hati-hati. “Eh, selamat... malam, Pak.”
“Namaku Guru Bedul. Penjelajah. Peramu. Penjual panci. Dan terkadang, penyair,” jawabnya sambil menyendok sup ke mangkok kecil.
Astraem memiringkan kepala. “Penyair?”
“Cuma kalau lagi hujan,” jawabnya cepat. “Tapi lebih penting dari itu, kamu tampak kelaparan. Ciciplah ini, Sup Rasa Petualangan.”
Astraem mencium aroma mangkok yang disodorkan. Harumnya... luar biasa. Tapi ada satu hal aneh.
“Eh... ini kenapa ada potongan sandal di dalamnya?”
Guru Bedul tertawa. “Ah! Itu hanya hiasan. Sup ini bisa meningkatkan kekuatanmu, asal kamu siap menerima konsekuensinya.”
Astraem mengernyit. “Konsekuensi?”
Sebelum dijawab, muncul lagi layar transparan.
---
[Item Ditawarkan: Sup Rasa Petualangan Lv.1]
Efek: +5 Kekuatan selama 3 jam
Efek Samping: Bisa menyebabkan bersin bersinar.
Harga: Gratis untuk pemula miskin.]
---
“Gratis?” tanya Astraem curiga.
Guru Bedul mengangguk. “Tapi nanti kamu harus bantu aku ambil sesuatu di hutan. Gampang. Gak ada kelinci bertanduk.”
Astraem melirik mangkok. Lalu perutnya. Lalu mangkok lagi.
“Kita sepakati saja,” ucapnya. “Saya makan, lalu bantu ambil sesuatu. Tapi kalau saya bersinar dari hidung, saya tuntut.”
Guru Bedul tertawa. “Setuju!”
Astraem menenggak sup itu dalam sekali teguk. Rasanya... aneh. Campuran antara kaldu ayam, teh herbal, dan sedikit aroma dupa.
Beberapa detik berlalu. Tidak terjadi apa-apa.
Lalu—BRRRRRT!!
Kepala Astraem bersinar tipis. Bukan dari otak, tapi dari hidung.
Guru Bedul berseru, “Itu tandanya kamu siap!”
Astraem menutup hidungnya. “Ini gak lucu.”
“Yuk, kita cari item yang aku maksud,” kata Guru Bedul. “Namanya Panci Ajaib. Dulunya punyaku, tapi terlempar ke dalam hutan waktu aku latihan sihir... sambil salto.”
“Kenapa sambil salto?”
“Gaya hidup.”
---
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mereka tiba di tengah hutan yang lebih lebat. Guru Bedul menunjuk ke arah semak besar.
“Panci itu ada di balik semak itu. Tapi hati-hati. Dulu aku ninggalin monster penjaga di sana.”
Astraem mengangkat alis. “Monster? Ukuran berapa?”
“Hmm… segede sapi.”
“Segede sapi PET? Atau sapi kurban Idul Adha?”
“Ya... yang versi deluxe.”
Astraem menarik napas. Ia sudah bersinar dari hidung, lapar, dan kini harus menghadapi monster ukuran sapi. Hidup sebagai manusia fana benar-benar bukan liburan.
Ia mengendap ke arah semak, tongkat patah di tangan. Dan... di balik semak itu...
Seekor ayam.
Bukan ayam biasa. Ayam ini gemuk, berbulu warna pelangi, dan memakai helm dari... tutup panci?
[Mini Boss: Ayam Penjaga Panci Lv.5]
Ayam itu menatap Astraem. Kemudian—berkokok sambil menyemburkan api kecil dari paruhnya.
Astraem meloncat mundur.
“INI AYAM NAGA!?” teriaknya.
Guru Bedul tertawa dari kejauhan. “Sedikit modifikasi.”
Ayam itu mengepakkan sayap. Lalu, mengejar Astraem dengan kecepatan yang mengejutkan untuk seekor unggas.
Astraem lari muter pohon. “Ini kayak lomba tujuh belasan, tapi nyawanya nyata!”
Ayam itu menyemburkan api. Rambut Astraem nyaris terbakar.
Dalam putaran panik, ia terpeleset dan jatuh. Ayam mendekat, paruh terbuka, siap mencaplok.
Saat itu, layar muncul lagi:
---
[Aktifkan Sisa Sup Rasa Petualangan?]
Waktu tersisa: 2 menit 57 detik.
Efek tambahan: Lemparan acak item.]
---
Astraem berteriak, “AKTIFKAN!!”
Tiba-tiba, tangannya mengeluarkan cahaya, dan... plop! Sebuah sendok besar muncul di genggamannya. Sendok itu berkilau seperti senjata suci.
Ayam naga berhenti sejenak. Mungkin bingung, atau mungkin menertawakan.
Astraem tak menunggu. Ia mengayunkan sendok itu tepat ke arah kepala ayam.
PLOK!
Ayam itu pingsan.
[Mini Boss dikalahkan dengan Sendok Kebetulan Lv.0.5]
[EXP +20! Level naik ke Lv.2!]
Astraem terduduk, ngos-ngosan, sambil memeluk sendok.
Guru Bedul datang sambil bertepuk tangan. “Luar biasa! Kamu punya potensi sebagai... tukang masak.”
“Kenapa bukan petarung?” desah Astraem.
“Karena kamu barusan ngalahin ayam dengan sendok.”
Panci Ajaib akhirnya ditemukan, tertimbun di balik sarang ayam. Masih utuh. Bahkan masih ada sisa nasi di dalamnya.
Guru Bedul menepuk bahunya. “Hari ini kamu belajar satu hal penting.”
“Bahwa ayam bisa jadi monster?”
“Bahwa kadang solusi besar... datang dari sendok kecil.”
Astraem mendesah. “Saya bisa pulang sekarang?”
Guru Bedul mengangguk. “Besok pagi. Malam ini, kamu bisa tidur di tendaku. Gratis. Tapi paginya bantu aku nyuci panci.”
“Kenapa semua hal di dunia fana ini ada embel-embel kerjaannya?”
Guru Bedul tertawa. “Karena itulah hidup, Astraem.”
---
Dan malam itu, Astraem tidur di tenda tambal sulam. Hidungnya masih bersinar tipis, sendok masih dia peluk, dan suara ayam yang pingsan mendengkur pelan di kejauhan.
Dunia fana ini memang aneh. Tapi seaneh-anehnya... masih lebih baik daripada ujian matematika surgawi.
Besok, petualangan barunya dimulai.