Kereta meluncur tanpa suara di atas rel cahaya, menembus awan pekat yang terasa seperti selimut dingin di malam tak berujung. Tak ada suara mesin. Tak ada masinis. Hanya derak samar seperti napas dunia yang tertahan.
Astraem duduk di dekat jendela, jari-jarinya mengelus permukaan tongkatnya. Cahaya dari tongkat itu kini meredup, seolah ikut merenung.
“Ast,” suara Chibi lirih, “kau yakin ini jalur yang benar?”
Astraem mengangguk. “Petunjuk dari sistem jelas. Satu-satunya jalan untuk mengejar Shaila... lewat kota ini.”
Chibi menggigit bibir mungilnya. “Tapi... Kota Tanpa Waktu bukan tempat biasa. Di sana, waktu tidak berjalan. Dan mereka bilang... kenangan bisa terjebak selamanya.”
> [Sistem: Tujuan selanjutnya – Temukan “Menara Berbisik” di tengah Kota Tanpa Waktu.]
> [Waspada: Di kota ini, waktu tidak dapat dipakai sebagai acuan. Hari bisa menjadi detik. Detik bisa menjadi abad.]
---
Kereta berhenti di stasiun yang terlihat seperti peninggalan zaman para dewa kuno. Pilar-pilar kristal berdiri menjulang, retak-retak dan berlumut, dengan jam-jam raksasa menggantung di tiap sudut—semuanya rusak, jarumnya berputar mundur.
Astraem dan Chibi turun.
Di hadapan mereka terbentang kota yang megah namun sepi. Bangunan menjulang dalam arsitektur campuran: gaya Yunani, Jepang kuno, hingga sentuhan futuristik. Tapi semua tampak membeku. Seorang lelaki duduk di bangku taman, tak bergerak. Seekor kucing mematung di udara, seperti melompat tapi tertahan.
“Ini...” gumam Astraem, “bukan hanya waktu yang berhenti. Ini... dunia yang membeku.”
Chibi merapat ke pundaknya. “Jangan pisah dari aku, ya.”
---
Mereka melangkah hati-hati menyusuri jalan utama, menuju titik tertinggi kota: Menara Berbisik, tempat di mana waktu masih bisa “berbicara” meski tidak berjalan.
Namun, belum sampai di tengah jalan, suara langkah terdengar dari lorong samping.
Seseorang keluar dari bayangan.
Seorang anak laki-laki, sekitar 13 tahun, berambut abu-abu dan mengenakan jubah putih bersulam lambang jam pasir terbalik.
Dia tersenyum kecil. “Kau akhirnya datang, Astraem.”
Astraem waspada. “Siapa kamu?”
“Aku penjaga waktu. Tapi bukan waktu dunia ini. Aku menjaga waktu hatimu.”
> [Sistem: Kamu telah bertemu “Navi”, Fragmen Masa Kecil.]
> [Peringatan: Tidak semua Fragmen berpihak padamu.]
---
“Kenapa kau memanggilku?” tanya Astraem tegas.
“Karena di sini, hanya yang punya alasan kuat yang bisa bergerak,” jawab Navi. “Dan kamu... sudah terlalu banyak melupakan.”
Astraem mengepalkan tangan. “Aku tidak memilih lupa. Ingatanku dihapus.”
“Benar,” balas Navi. “Tapi ada bagian dari dirimu yang mengizinkan itu terjadi.”
Kalimat itu seperti pedang.
Astraem mundur selangkah.
“Di Lantai Tujuh,” lanjut Navi, “ada entitas bernama Veltha, Penghapus Kenangan. Tapi dia tidak bisa menghapusmu... kalau kamu benar-benar ingin mengingat.”
> [Petunjuk Baru: Kamu pernah membuat perjanjian dengan Veltha.]
> [Status: Perjanjian terkunci – hanya bisa dibuka dengan membuka tiga fragmen kenangan.]
---
Chibi memotong, “Tunggu, tunggu. Jadi Astraem sendiri yang menyerahkan kenangannya?”
“Tidak semua,” jawab Navi. “Tapi saat itu dia... patah. Dan dari patah itu, lahirlah alasan untuk melupakan.”
Astraem menggigit bibir. “Kalau aku memang pernah memilih melupakan, aku ingin tahu alasannya.”
“Kalau begitu, naiklah ke Menara Berbisik. Tapi bersiaplah. Di sana... kamu akan mendengar suara yang bahkan dewa pun takut mendengarnya.”
---
Perjalanan ke menara seperti berjalan di dalam mimpi. Tiap langkah membuat warna kota berubah. Terkadang langit jadi merah darah, kadang biru laut, kadang hitam seperti malam tak berbintang. Dan tiap mereka melangkah, mereka melihat bayang-bayang kenangan.
Di satu sudut, Astraem melihat dirinya kecil—berlatih dengan gurunya.
Di sudut lain, ia melihat dirinya menangis di hadapan mayat Shaila... lalu pemandangan itu berubah menjadi abu-abu, tak jelas.
“Shaila... meninggal?” bisik Astraem.
Chibi menahan nafas.
“Bukan begitu,” suara Navi muncul di belakang mereka. “Itu hanya salah satu kemungkinan. Tapi hanya Veltha yang tahu kenyataannya.”
---
Mereka akhirnya sampai di depan menara.
> [Sistem: Kamu memasuki “Menara Berbisik”.]
> [Efek: Semua suara akan menjadi kata-kata dari masa lalu.]
Begitu mereka melangkah masuk, suara-suara segera menyergap mereka.
“Kenapa kamu nggak nyelametin dia, Astraem?”
“Aku bilang padamu, jangan jatuh cinta pada manusia biasa.”
“Kau pikir jadi dewa itu cuma main-main?!”
“Kau egois!”
“Ast... kalau aku pergi nanti... jangan pernah berhenti.”
Astraem terhuyung. Ia menutup telinga, tapi suara-suara itu terus berdengung langsung di dalam pikirannya.
“Chib…” katanya terengah, “aku... nggak sanggup...”
Chibi memeluk lehernya, “Fokus! Fokus pada satu suara! Pilih satu! Yang paling penting!”
Astraem memejamkan mata. Di tengah semua suara itu, ia memusatkan pikirannya.
Dan akhirnya... satu suara muncul, lembut.
> “Ast… kamu bilang kamu mau lindungi aku. Tapi kadang, aku cuma pengen kamu tetap jadi dirimu. Bukan dewa. Bukan pahlawan. Cuma… Astraem.”
---
Suara itu seperti pelukan hangat.
Dan ketika Astraem membuka mata—ia berdiri di puncak menara.
Di hadapannya: sebuah cermin emas melayang, memantulkan bukan dirinya... tapi Shaila.
“Shaila!” teriak Astraem, melangkah maju.
Tapi begitu ia menyentuh permukaan cermin... gadis itu menoleh, dan wajahnya penuh luka.
“Kenapa kamu gak datang, Ast?”
> [Sistem: Fragmen Kenangan – “Janji di Menara” ditemukan.]
> [Fragmen Kedua Terbuka: Kamu pernah membuat janji dengan Shaila untuk tidak naik ke atas Sistem Dewa.]
> [Kamu melanggarnya demi menyelamatkan dunia.]
Astraem terduduk. “Aku... aku ingat. Kami... saling berjanji untuk tetap bersama. Tapi saat itu... dunia kacau. Aku dipaksa memilih.”
Chibi menatapnya dalam diam. Wajahnya sedih.
“Kalau kamu bisa kembali ke masa itu,” tanya Chibi, “apa kamu akan pilih dia... atau pilih jadi dewa?”
Astraem tak menjawab. Tangannya mengepal.
> [Fragmen 2 dari 3 terkumpul.]
> [Sistem Bonus: Skill “Pemanggil Waktu – Lv 1” diperoleh.]
---
Saat mereka hendak meninggalkan menara, Navi menahan mereka.
“Aku hanya bisa ikut sampai di sini,” katanya.
“Terima kasih,” ucap Astraem. “Kalau bukan karena kamu, aku takkan tahu... bahwa rasa bersalah ini tak harus kuabaikan.”
Navi tersenyum. Tapi sebelum menghilang, ia berbisik:
“Berhati-hatilah di Lantai Enam Bagian Kedua. Tempat itu bukan milik siapa pun. Bahkan para dewa pun dikurung di sana.”
---
Di luar menara, langit Kota Tanpa Waktu mulai retak. Satu demi satu bayangan bergerak. Suara jam berdentang untuk pertama kalinya dalam ribuan tahun.
Ting!
> [Sistem: Jalur ke Lantai Enam Bagian Kedua terbuka.]
> [Zona Baru: “Kuburan Para Dewa”]
Astraem memandang ke arah cahaya yang membelah langit. Di sana, jawaban terakhir—dan bahaya yang paling gelap—menunggunya.
Dan ia tidak akan lari.