Hutan Para Bayangan

Langit di Lantai Kelima muram, penuh kabut tebal yang menggantung di antara pepohonan hitam menjulang seperti tiang-tiang dunia.

Daun-daun memendar cahaya ungu lembut, seolah mengandung listrik yang bisa meledak kapan saja. Angin tak berhembus, tapi suara-suara berbisik terus terdengar dari balik semak.

> [Selamat datang di Lantai Kelima: Hutan Para Bayangan.]

> [Efek Area: Setiap karakter akan bertemu bayangannya sendiri. Jika tidak mampu mengalahkannya dalam waktu 30 menit, karakter akan ditelan dan menjadi bagian dari hutan.]

“Lho… lho… ini serius? Lawan diri sendiri?” Astraem menatap Chibi yang terbang gelisah di bahunya.

Chibi mengangguk cepat. “Dari cerita-cerita yang kubaca, Lantai Lima ini termasuk yang paling bikin petualang trauma. Banyak yang gak pernah keluar lagi.”

Astraem mencabut tongkat cahaya miliknya. “Oke, kalau bayanganku nongol, kita hadapi bareng.”

“Eh…” Chibi mengangkat telapak mungilnya, “yang bisa bantuin cuma kamu sendiri. Lawan bayangan harus sendiri. Bahkan aku nggak bisa muncul di dalam ruangannya nanti.”

Belum sempat Astraem membalas, akar-akar pohon tiba-tiba menjulur dari bawah tanah dan menggulung tubuhnya, menyeretnya masuk ke lubang hitam yang terbentuk begitu saja di tanah.

---

[Lokasi Khusus: Labirin Bayangan Pribadi]

Astraem membuka matanya. Ia kini berdiri dalam ruangan seperti aula cermin tak berujung. Tapi cermin-cermin itu tidak memantulkan dirinya, melainkan... versi lain dirinya.

Satu dengan mata merah menyala, satu lagi memakai jubah hitam penuh darah, yang lain tertawa gila sambil menenteng tongkat patah.

Dan di tengah ruangan itu... berdiri satu sosok.

Tampak seperti dirinya, namun dengan wajah dingin, mata kelam, dan senyum sinis.

“Akhirnya kamu datang juga, Astraem si dewa gagal,” katanya dengan suara yang sama persis.

Astraem menggenggam tongkatnya erat. “Kamu… bayanganku?”

“Aku adalah kamu yang asli. Yang tak pernah membuang rasa takut. Yang menyimpan dendam. Yang masih ingat semuanya, termasuk tentang—”

“SHAILA!” Astraem tak sadar dirinya berteriak.

Bayangan itu tersenyum. “Akhirnya kamu sebut juga.”

> [Sistem: Bayanganmu mengetahui sesuatu yang kamu lupakan.]

> [Jika kamu berhasil mengalahkannya, kamu akan mendapat “Kenangan Terhapus.”]

---

Pertarungan pun dimulai.

Bayangan Astraem menciptakan dua tongkat cahaya merah—cerminan dari miliknya sendiri. Dengan kecepatan yang nyaris mustahil, ia menyerang, membuat Astraem hanya bisa bertahan. Tapi ada satu perbedaan…

Bayangan itu tidak punya Chibi.

“Bantu aku dengan mantra kilat, sekarang!” teriak Astraem meski tahu Chibi tak bisa masuk.

Namun tiba-tiba—seberkas cahaya kecil muncul dari saku bajunya.

Chibi?!

> [Sistem: Ikatanmu dengan Chibi telah melewati batas normal.]

> [Chibi bisa masuk sebentar dalam dunia bayangan.]

“KYAA!! Aku cuma punya waktu 10 detik!” jerit Chibi sambil muncul dengan api kecil di tangannya.

“Cukup! Bakar kakinya!”

Chibi melemparkan ledakan mini ke arah kaki bayangan itu, memberi celah cukup bagi Astraem untuk membalikkan keadaan. Ia melompat dan memutar tongkatnya dalam formasi khusus: Delapan Titik Terang – Putaran Ketiga.

“RAAAHH!!”

Tongkatnya menghantam dada bayangan itu, membuatnya terpental dan terjebak di antara dua cermin.

> [Sistem: Kamu menang.]

> [Hadiah: Kenangan Terhapus – Hari Terakhir Bersama Shaila]

---

[Kenangan Dimuat]

Astraem melihat dirinya—di taman surgawi, bersama seorang gadis muda berambut biru langit dan mata yang bersinar seperti kristal. Shaila. Mereka duduk berdua di bawah pohon cahaya.

“Aku harus pergi, Ast,” kata Shaila sambil menggenggam tangannya. “Dewa Agung bilang tugasku selesai. Aku akan dipindahkan ke dunia yang lebih rendah… disamarkan… mungkin aku takkan ingat kamu lagi.”

Astraem menggigit bibir. “Kenapa kamu yang harus disamarkan?! Aku bisa menggantikanmu. Aku bisa—”

Shaila menggeleng. “Kau terlalu penting. Kamu harus terus naik. Jangan biarkan apa pun membuatmu lupa…”

Dan kemudian—dia menghilang, lenyap dalam debu cahaya.

---

Astraem terhuyung ke luar ruangan bayangan.

Matanya berair.

“Shaila... aku pernah janji nggak akan lupa kamu.”

Ting!

> [Sistem: Kenangan berhasil dipulihkan sebagian.]

> [Skill Baru: “Jejak yang Hilang” – Kamu bisa melacak jejak keberadaan Shaila di lantai berikutnya.]

> [Efek Bonus: Imunitas terhadap manipulasi kenangan selama 48 jam.]

---

Di luar labirin, Chibi menyambutnya dengan cemas. “Kamu... kamu baik-baik aja?”

Astraem mengangguk. “Aku dapat setengah kenanganku tentang dia.”

Chibi terdiam sejenak. “Aku merasa... aku kenal dia juga.”

“Gimana maksudmu?”

“Aku belum yakin,” ucap Chibi, “tapi begitu kamu nyebut nama Shaila… bagian dari diriku kayak... terhubung.”

Astraem menatap bola cahaya mungil itu. “Chib… kamu pernah bareng aku dan dia?”

“Entahlah,” gumam Chibi pelan. “Mungkin jawabannya ada di Lantai Enam.”

---

Setelah keluar dari Hutan Para Bayangan, jalan menuju Lantai Enam terbuka. Tapi kali ini, bukan portal seperti biasa, melainkan kereta udara hitam yang berhenti tepat di depan mereka, seperti baru saja kembali dari dunia arwah.

Ting!

> [Undangan Khusus: “Naik Kereta Menuju Kota Tanpa Waktu”]

> [Catatan: Hanya yang memiliki Fragmen Kenyataan yang bisa masuk.]

“Lho? Ini undangan VIP gitu?” tanya Astraem.

“Kayaknya. Tapi... kok merinding ya,” balas Chibi sambil mendekap telinganya.

Astraem melangkah ke dalam kereta. Di dalamnya, semua kursi kosong. Hanya satu penumpang lain di ujung gerbong.

Seorang perempuan dengan topi bertepi lebar, menatap ke jendela.

Saat Astraem lewat, perempuan itu berbisik tanpa menoleh: “Kamu akhirnya mengingatnya. Tapi mengingat saja belum cukup, Astraem. Kamu harus tahu... siapa yang membuatmu lupa.”

Astraem berhenti di tengah langkah.

Perempuan itu berdiri dan berjalan menjauh. Saat hendak keluar ke gerbong lain, dia menoleh sebentar—dan untuk sesaat, wajahnya seperti pantulan Shaila.

Tapi lalu... dia lenyap.

Ting!

> [Petunjuk Baru: “Penghapus Kenangan” adalah entitas dari Lantai Tujuh.]

> [Kekuatan misterius yang memburu calon dewa dengan ingatan terlalu kuat.]

---

Kereta melaju, meninggalkan kabut hutan.

Dan Astraem menatap ke luar jendela, menggenggam tongkatnya.

Dia tak tahu apa yang menanti di Lantai Enam.

Tapi kali ini, dia tidak akan lupa.

Tidak lagi.